16 Juni 2025
17:30 WIB
Anomali Kepemimpinan Daerah Dan Teori Baru Kebijakan Publik
Tidak dapat dimungkiri bahwa berbagai langkah kebijakan KDM, selain menimbulkan sedikit goncangan di ranah publik, juga memanaskan mesin birokrasi yang selama ini bekerja secara konvensional.
Penulis: Lukas Rumboko Wibowo
Editor: Rikando Somba
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berbincang dengan keluarga korban ledakan di RSUD Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Selasa (13/5/2025). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Munculnya Kang Dedi Mulyadi (KDM) sebagai ikon baru gubernur populis tidak saja menghentak jagad perpolitikan Jawa Barat. Resonansinya menggaung di level nasional. Tak pelak, kalau kemudian berbagai media, baik mainstream maupun sosial, hampir tiap hari memusatkan lensanya ke aktivitas harian Gubernur Jawa Barat yang popular ini.
Barang kali, KDM satu-satunya pemimpin daerah saat ini, yang memiliki mobilitas paling tinggi dalam menjalankan tata kelola pemerintahannya. KDM sekaligus juga satu-satunya pejabat yang jarang duduk di kantor.
Langkah-langkah politik pemerintahannya tentu mematik sorotan publik luas. Banyak pihak, baik rekan politisi maupun rival politiknya, terkaget-kaget dan tidak mampu membaca langkah-langkah "zik-zak’" politiknya. Sejatinya, berbagai kebijakan yang dikeluarkan penuh risiko dan rentan serangan balik dari masyarakat yang terdampak negatif dari berbagai kebijakanya.
Penggusuran bangunan liar di sempadan sungai, pasar, dan penutupan destinasi wisata berinvestasi besar di puncak, serta penutupan tambang-tambang illegal, adalah berbagai kebijakan yang tidak populis. 'Barakisasi' anak-anak yang dicap "nakal" pun tak luput kritikan pedas dari berbagai elemen masyarakat.
Berbagai kebijakan ini, tentunya rentan menimbulkan gejolak politik basis yang bisa meluas dan memunculkan serangan balik para rival politik yang bisa menggerus legitimasi politiknya. Cap "one man show"; cacat prosedur pengambilan kebijakan; militerisasi anak-anak demi agenda Pilpres 2029; dan cap "Mulyono Jilid Dua" pun disematkan pada KDM.
Tampaknya, aksi "walk out" anggota fraksi PDIP menjadi puncak hujan kritik ke pada KDM.
Runtuhnya Teori Kebijakan Publik
Bacaan publik terhadap langkah politik KDM dianggap meruntuhkan teori-teori kebijakan publik yang telah mapan. Bagi Iriawan (2024), kebijakan publik merupakan instrumen penting dalam menjalankan pemerintahan dan mencapai tujuan. Secara teoretis, proses pengambilan kebijakan bersifat mekanis dan terstruktur, seperti diteorikan oleh Dunn (2018) dimulai dengan agenda setting; formulasi kebijakan dan pelaksanaan; serta monitoring dan evaluasi kebijakan.
Konsep dan teori pengambilan kebijakan tersebut telah diadopsi, dilembagakan, dan menjadi norma dan prosedur dalam struktur birokrasi pemerintahan. Oleh sebab itu, langkah KDM untuk menyelesaikan masalah di kantong-kantong masalah dianggap telah menabrak norma dan prosedur pengambilan keputusan kebijakan publik, tidak melalui agenda setting dan perumusan kebijakan.
Tidak itu saja, KDM juga dianggap telah melanggar fatsun politik proses pengambilan kebijakan yang tidak inklusif dan tidak melibatkan aktor-aktor yang duduk di lembaga politik sebagai mitranya.
Benarkah demikian?
Bagi KDM, agenda setting dan formulasi kebijakan dapat dilakukan langsung bersama-sama masyarakat yang ada di kantong-kantong masalah. Dialog langsung untuk mengatasi masalah-masalah riil dianggap lebih efektif dan efisien.
Baginya, agenda setting dan formulasi kebijakan bukan di meja rapat politik yang syarat dengan pertarungan kepentingan antar aktor politik. Meja politik biarlah menjadi tempat produksi teks dan dokumen politik kebijakan.
Sementara itu, kantong masalah menjadi forum produksi dan reproduksi solusi untuk keadilan sosial dan ekologis bagi publik luas. Baginya, saat ini yang diperlukan publik adalah eksekusi kebijakan yang nyata tanpa menanggalkan sisi humanisme.
Dalam acara ‘’Helmy Yahya Bicara’’ yang ditayangkan di Youtube 2 Juni 2025 , Sekda Provinsi Jabar pun membantah bila langkah-langkah politik kebijakan KDM melanggar norma, etik, dan prosedur pengambilan kebijakan birokrasi pemerintahan.
KDM, menurut Sekda itu, adalah pribadi gubernur yang taat asas dalam pengambilan kebijakan publik. KDM merupakan pemimpin daerah yang respek terhadap regulasi dan selalu mengomunikasikan langkah-langkahnya dengan jajaran stafnya di birokrasi.
Menurutnya, birokrasi justru dituntut untuk lebih cepat bekerja dan menjadi penopang di belakang layar langkah-langkah gubernur yang cepat, dengan menyediakan kajian-kajian cepat untuk mendukung kebijakan gubernur.
Upgrading Kapasitas Kelembagaan Birokrasi
Tidak dapat dimungkiri, berbagai langkah kebijakan KDM, selain menimbulkan sedikit goncangan di ranah publik, juga memanaskan mesin birokrasi yang selama ini bekerja secara konvensional, penuh dengan prosedur, norma baku, dan standar operasi yang kaku dan rigid. Bagi KDM, visi Jawa Barat Istimewa dan Indonesia Emas 2045 tidak bisa dicapai tanpa upgrading kelembagaan birokrasi konvensional, tradisional, dan feodal menjadi lebih lentur, fleksibel, cepat, dan modern, tanpa menanggalkan akuntabilitas publik.
Bagi KDM, upgrading struktur kelembagaan birokrasi hanya bisa didorong melalui langkah-langkah kebijakan pimpinan atau diistilahkan Gidden (1984;1991) sebagai agen yang inovatif, futuristis, dan transformer. Tata cara pengambilan kebijakan yang cenderung "bertele-tele" sudah dianggap usang dan tidak responsif terhadap tuntutan publik yang menginginkan perubahan cepat.
Praktik-praktik diskursif pengambilan kebijakan ala KDM inilah yang sesungguhnya dalam teori kebijakan kontemporer disebut sebagai "evidence-based policy making".
Tindakan-tindakan KDM itulah yang kemudian justru berhasil menggerakkan struktur birokrasi pemerintahan Jawa Barat untuk bergerak lebih cepat dan dinamis. Struktur kelambagaan birokrasi dan agen-agen dalam birokrasi menjadi saling menopang untuk mendukung kepemimpinan KDM yang mobilitasnya tinggi dan cair.
KDM tampaknya paham betul bahwa salah satu tugas utama pemerintah adalah meningkatkan kemampuan lembaga birokrasi dan agen-agen penggerak birokrasi dalam memecahkan masalah sosial dan memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Mantan Bupati Purwakarta ini juga amat paham bahwa kebijakan publik bukanlah proses mekanis dan linier.
Banyak pihak melihat, kebijakan publik adalah seni memecahkan masalah seperti dipostulatkan Akdogan (2015) dalam Furat and Uzun (2022).
Pertanyaan selanjutnya, mampukah perubahan mekanisme kerja kelembagaan birokasi Jawa Barat yang dirintis KDM menggerakkan perubahan sosial dan kelembagaan birokrasi di wilayah-wilayah lainnya?
Seperti biasa, para pimpinan daerah, khususnya di Jawa Barat, saat ini mulai meniru KDM dalam membangun personal branding dan publisitas politik kebijakan mereka dengan memanfaatkan sosial media.
Publik tentunya menyambut baik bila para pemimpin daerah mulai berlomba-lomba meniru cara kerja KDM dengan langkah kebijakan populis yang aspiratif dan efektif serta efisien. Pasalnya, ke depan, pertarungan politik di tingkat nasional niscaya disesaki oleh pilihan-pilihan calon pemimpin nasional yang akuntabel, kredibel, dan merakyat. Bila terjadi, ini sekaligus akan menyingkirkan elitisme politik dan dinasti politik.
Sebaliknya, personal branding tentunya akan sia-sia tanpa diikuti perubahan struktur kelembagaan birokrasi dan transformasi kesejahteraan masyarakatnya. Bila ini terjadi, personal branding tersebut justru akan berpotensi mendelegitimasi politik aktor politik tersebut dan kebijakan-kebijakannya. Tidak salah kalau pun akhirnya publik mencibir sebagai hanya pencitraan.
*) Lukas R Wibowo merupakan peneliti BRIN.
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja.
Referensi: