c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

OPINI

06 Januari 2020

13:00 WIB

"Commodity Apartheid" Dan Jalan Buntu "Pohon Politik" Sawit

Dengan berbagai alasan, sawit masih kerap dihakimi secara membabi buta sebagai perusak hutan. Padahal peran komoditas ini bagi negara tidak perlu dipertanyakan lagi.

Editor: Ratna Pratiwi

"Commodity Apartheid" Dan Jalan Buntu "Pohon Politik" Sawit
"Commodity Apartheid" Dan Jalan Buntu "Pohon Politik" Sawit
Pekerja memuat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, di Petajen, Batanghari, Jambi, Jumat (11/12/2020). Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) memperkirakan nilai ekspor kelapa sawit nasional tahun 2020 yang berada di tengah situasi pandemi COVID-19 tidak mengalami perbedaan signifikan dibanding tahun sebelumnya yang mencapai sekitar 20,5 miliar dolar AS atau dengan volume 29,11 juta ton. ANTARAFOTO/Wahdi Septiawan

Oleh Lukas Rumboko W*

Ada satu pohon yang selama satu dekade terakhir selalu viral dan menjadi bahan perbincangan publik, baik di tingkat nasional maupun global. Sawit, pohon yang secara fenotipe, anatomis, dan biologis tidak jauh berbeda dengan kelapa, karena memang dalam silsilahnya masih dalam famili yang sama, ini kini menjadi sebuah pohon ‘’politik” yang kontroversial. Mengapa demikian?

Bagi para aktivis lingkungan, sawit adalah “predator” keanekaragaman hayati dan “biang” deforestasi. Sementara itu, bagi pekebun, asosiasi petani sawit, dan pengusaha, sawit adalah oase kehidupan manakala  hampir semua komoditas, seperti karet, batu bara, dan lainnya, jatuh nyungsep.

Sawit adalah satu-satunya komoditas yang mampu membelah masyarakat (divided-communities); memunculkan kontestasi wacana ideologi pengetahuan antara konservasionis and developmentalis; sekaligus membelah dua kelompok intelektual menjadi dua kutub diametral, pro dan kontra.  Bahkan, sawit juga dalam beberapa kasus turut menentukan menang kalahnya kandidat dalam setiap perhelatan pemilihan kepala daerah. Dengan kata lain, sawit telah menjadi “ATM politik” yang signifikan bagi para politisi, tak hanya dalam proses pilkada, tetapi juga pascapilkada.

Tidak hanya itu, bagi negara-negara Uni Eropa, sawit telah dianggap semacam “virus corona” yang bisa mematikan pasar minyak canola dan bunga matahari. Untuk menyingkirkan dan mematikan sawit, mereka gencar melakukan kampanye hitam, bahkan mengeluarkan instrumen regulatif arahan (RED II) pengembangan bio-energi yang menetapkan sawit tidak akan menjadi bagian program mereka. Langkah-langkah restriktif-konfrontatif dari negara negara tersebut membuat negara-negara produsen, khususnya Indonesia, bereaksi keras dan mendorong mereka ke pinggir perang dagang.  

Perkebunan Sawit dalam Kawasan Hutan
Tidak bisa dimungkiri, minyak sawit beserta produk turunannya selama beberapa tahun terakhir, termasuk pada masa pendemi ini, menjadi salah satu socio-economics safety net yang signifikan. Bukan saja bagi 16 juta lebih masyarakat yang menggantungkan hidupnya secara langsung pada sawit, tetapi juga bagi tegaknya negara ini secara ekonomi-politik.

Berdasarkan laporan Harian Bisnis Indonesia (2020), di tengah melambatnya perekonomian global,  ekspor minyak sawit dan produk turunan mampu menyumbangkan pendapatan US$20 miliar. Jika dikalkulasi, Indonesia menguasai 62% pangsa pasar minyak sawit dunia atau 20% minyak nabati dunia.

Namun demikian, tidak juga bisa terbantahkan, bahwa sawit juga berkontribusi terhadap terjadinya deforestasi, serta mengkerutnya habitat satwa liar bernilai penting yang dilindungi, seperti orang utan, gajah, dan harimau. Ditambah lagi, luas kebun sawit saat ini udah mencapai 16,8 juta ha, sementara  3,47 juta ha lebih berada dalam kawasan hutan (Bakhtiar dkk, 2019). 

Dalam konteks ini, menghakimi sawit sebagai perusak hutan secara membabi buta tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, justru dapat menyinggung nasionalisme dan membuat kita terperangkap dalam skenario yang sedang dimainkan oleh negara-negara Uni Eropa dan negara maju lainnya.  

Sementara itu, memuji-muji sawit secara tidak proposional, di sisi lain juga dapat menumpulkan dan membutakan bahwa sawit juga berpotensi menyebabkan ledakan masalah besar. Dengan kata lain, kita juga tidak dapat serta-merta mengesampingkan dampak buruk sawit yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, eksklusi penduduk lokal, pelanggaran hak asasi manusia, dan konflik lahan.     

Verified Sourcing Area (VSA) dan Monster Ekonomi   
Sumber penghasil terverifikasi (VSA) merupakan sebuah pendekatan lanskap dalam pengembangan komoditas berkelanjutan yang basisnya satuan wilayah yurisdiksi. Konsep ini diinisiasi oleh Institut Dagang Hijau (IDH) yang basisnya di Utrecht, Belanda. Model pendekatan ini tengah dikembangkan di beberapa negara, seperti Brazil dan Indonesia.          

Untuk di Indonesia, VSA sedang diujicobakan pertama kali di Aceh Tamiang dan Aceh Timur sebagai bentuk tawaran solusi rusaknya Kawasan Ekosistem Leuser. Lokasi tersebut selama ini masih menjadi salah satu  episentrum  habitat hidupan liar mamalia paling penting di Indonesia, terutama gajah, harimau, badak, dan orang utan.

Bagi penulis, secara konsep, VSA yang menempatkan terbentuknya aliansi dan komitmen strategis dari semua aktor dan institusi dalam suatu wilayah yurisdiksi merupakan jalan terbaik. Langkah ini dapat  memberikan peluang paling efektif bagi pengembangan produksi komoditas sawit berkelanjutan. Bahkan, efektifitas pendekatan ini akan melampaui pendekatan sertifikasi berkelanjutan yang berbasis  individu pekebun, koperasi, maupun korporasi. 

Selain dapat mereduksi biaya transaksi dalam proses sertifikasi, pendekatan ini juga akan mengunci lanskap-lanskap yang tidak layak untuk pengembangan sawit, seperti kawasan hutan. Artinya, pendekatan ini akan menutup semua celah kemungkinan terjadinya “leakage” produksi sawit berkelanjutan berbasis individu.

Dengan pendekatan lanskap yang berbasis yurisdiksi ini, sawit bukan lagi sebagai “pohon politik” yang bisa berkuasa di atas semua lanskap atas dasar dominasi kepentingan satu sektor terhadap sektor lain dan satu aktor terhadap aktor lainnya. Sebab, pendekatan ini mempunyai kapasitas signifikan untuk mencairkan konflik antarsektor dan aktor secara sistemik.

Selain itu, pendekatan ini akan mengembalikan dan mendudukkan sawit sebagai komoditas yang sama dengan komoditas lain, sekaligus pohon kehidupan, baik bagi masyarakat, korporasi, maupun bagi gajah dan harimau.  Dengan pendekatan ini, Indonesia ke depannya akan tetap menjadi monster ekonomi, seperti diramalkan IMF dan Amerika, tanpa harus menjadi monster bagi para gajah dan harimau. Di samping itu, commodity apartheid yang menimpa sawit juga tidak akan terjadi lagi.  

 

*) Penulis, Peneliti Pusat Penelitian Sosial Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI)

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan kebijakan tempat penulis bekerja.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar