c

Selamat

Senin, 17 Juni 2024

OPINI

11 Juni 2019

16:31 WIB

Saatnya Peduli Terhadap Limbah Elektronik

Masyarakat perlu mengetahui apa yang harus dilakukan terhadap barang-banang elektroniknya yang sudah tidak terpakai agar tidak berujung menjadi barang bekas saja

Editor:

Saatnya Peduli Terhadap Limbah Elektronik
Saatnya Peduli Terhadap Limbah Elektronik
Ilustrasi sampah elektronik. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Oleh: Mohammad Widyar Rahman*

Hasil riset GfK Temax Indonesia menyatakan bahwa sepanjang kuartal I 2019 penjualan barang konsumsi berteknologi di Indonesia mencapai Rp37.661 triliun. Angka penjualan tersebut masih didominasi oleh telekomunikasi (TC) sebesar Rp23,375 triliun.

Selanjutnya, barang-barang teknologi informasi (IT) Rp.6,092 triliun, peralatan besar rumah tangga (major domestik appliances) Rp3,801 triliun, dan barang konsumsi elektronik Rp2,885 triliun. Selain itu, dengan nilai yang lebih kecil, penjualan barang terdiri dari peralatan kecil rumah tangga (small domestic appliances) Rp988 miliar dan fotografi Rp520 miliar.      

Apabila dibandingkan dengan kuartal yang sama pada tahun 2018, menunjukkan bahwa hanya peralatan besar dan kecil rumah tangga, serta barang teknologi informasi yang mengalami peningkatan masing-masing sebesar 4,6%, 2,6% dan 5,2%. Sementara untuk barang konsumsi rumah tangga, fotografi dan telekomunikasi mengalami penurunan masing-masing sebesar 6,8%, 15,1% dan 6,8%.

Dengan pesatnya perkembangan teknologi dan pertumbuhan penggunaan barang elektronik di Indonesia yang terus mengalami peningkatan setiap tahun. Indonesia menjadi pasar potensial dari berbagai peralatan elektronik, seperti peralatan rumah tangga, ponsel, komputer, dan lain-lain.

Tidak dapat dimungkiri, meskipun banyak faktor yang memengaruhinya, cepatnya perkembangan teknologi membuat masa pakai alat elektronik menjadi relatif semakin pendek. Di sisi lain, tingkat penjualan dan masa pakai tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi sebagai penghasil limbah elektronik yang cukup besar. Menurut The Global E-Waste Monitor 2017, limbah elektronik Indonesia pada tahun 2016 mencapai 1,274 juta ton atau setara 4,9 kg per kapita.    

Dilihat secara global, menurut data perkiraan jumlah sampah elektronik tahun 2016 yang bersumber dari UN University dan International Telecommunication Union (ITU) diperkirakan dari 44,7 juta ton limbah elektronik, hanya 20% (8,9 juta ton) yang terdokumentasikan dan didaur ulang, sedangkan sejumlah 80% (35,8 juta ton) tidak terdokumentasikan.

Dari 80% tersebut, 4% (1,7 juta ton) sampah elektronik dari negara-negara industri dibuang sebagai sampah residu setelah diproses sedangkan 76% (34,1 juta ton) sampah elektronik tidak diketahui yang kemungkinan dibuang atau diperdagangkan (Baldé, 2017).

Bahaya Limbah Elektronik
Limbah elektronik atau e-waste menurut Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) merupakan peralatan listrik dan elektronik, baik secara keseluruhan ataupun sebagiannya dibuang sebagai limbah oleh konsumen atau produk reject dari pabrik, refurbishment dan proses perbaikan.

Menurut Konvensi Basel, e-waste yang dibuang menunjukkan karakteristik bahan berbahaya dan beracun (B3). Hal ini disebabkan limbah elektronik mengandung komponen atau bagian yang memiliki sifat berbahaya dan beracun misalnya merkuri, timbal, kadmium, khromium, arsenik, polychlorinated biphenyls, dan sebagainya yang tentunya berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Indonesia pun telah meratifikasi Konvensi Basel pada tanggal 12 Juli 1993 melalui Keppres No 61/1993 dalam rangka mencegah masuknya limbah B3. Kemudian, regulasi terkait dengan pengelolaan limbah B3 sebagaimana tertuang dalam PP No 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah B3.

Sebagaimana limbah B3 lainnya, limbah elektronik ini dapat menimbulkan masalah baik ketika dibuang, ataupun diproses melalui pembakaran atau didaur ulang. Ketika dibuang di TPA, limbah elektronik ini menghasilkan lindi yang mengandung bahan berbahaya.

Misalnya logam merkuri, menurut Landis & Ming-Ho (2005), logam ini meracuni manusia melalui produk ikan yang telah terpapar bahan berbahaya tersebut. Gejala yang dialami seperti gangguan air liur ekstrem, kehilangan nafsu makan, mual, iritasi jaringan hingga kerusakan ginjal.

Sedangkan timbal, sebagai racun sistemis dapat terserap dalam sirkulasi darah, mual, anoreksia, kerusakan ginjal hingga menyerang sistem saraf pusat. Sementara itu, kromium dapat dengan mudah terabsorpsi ke dalam sel sehingga mengakibatkan berbagai efek racun, alergi, dan kerusakan DNA.

Menurut Brenniman & Hallenbeck dalam Tchobanoglous & Kreith (2002), kadmium merupakan logam beracun yang efeknya tidak dapat balik bagi kesehatan manusia. Kadmium dapat masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan dan makanan hingga kemudian merusak ginjal.

Sementara itu, senyawa PBDE merupakan salah satu jenis brominated flame-retardants, suatu senyawa yang digunakan untuk mengurangi tingkat panas (flammability) pada bagian produk elektronik seperti PCB, komponen konektor, kabel, dan plastik penutup TV atau komputer.

Paparan terhadap PBDE diduga dapat merusak sistem endokrin dan mereduksi level hormon tiroksin di hewan mamalia dan manusia sehingga perkembangan tubuhnya menjadi terganggu. Tiroksin adalah hormon esensial yang diperlukan untuk mengatur perkembangan normal semua spesies hewan, termasuk manusia.

Jenis lain dari brominated flame-retardants adalah polybrominated biphennyls (PBB). Paparan terhadap PBB dapat menyebabkan peningkatan risiko kanker pada sistem pencernaan dan getah bening.

Upaya pengelolaan
Potensi besar limbah elektronik tentunya membutuhkan upaya pengelolaan agar tidak menjadi permasalahan ke depannya. Sejak konsep EPR (Extended Producer Responsibility) diperkenalkan secara global, banyak negara telah mengadopsi konsep ini dalam regulasinya.

Konsep EPR pada dasarnya telah tertuang dalam UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dimana produsen bertanggungjawab atas kemasan yang dihasilkan dari produknya. Sayangnya, peraturan ini tidak mengatur secara spesifik definisi, kriteria maupun alur pengelolaan terkait limbah elektronik, bahkan hingga saat ini penerapan EPR tersebut masih bersifat sukarela.

Apabila belajar dari Jepang, negara ini telah menerapkan EPR melalui 2 kebijakannya sejak tahun 2000. Kebijakan pertama terkait dengan peraturan untuk mempromosikan pemanfaatan sumber daya yang efektif. Peraturan ini berfokus pada peningkatan langkah-langkah untuk mendaur ulang barang dan mengurangi timbulan limbah.

Peraturan kedua terkait dengan kebijakan untuk mendaur ulang jenis peralatan rumah tangga tertentu, yang kemudian membebankan tanggung jawab tertentu terkait dengan daur ulang peralatan rumah tangga tersebut pada produsen dan konsumen. Perbedaan signifikan antara keduanya adalah bahwa yang pertama mendorong upaya sukarela produsen sementara yang kedua memberlakukan kewajiban pada produsen (Sung-Woo & Murakami-Suzuki, 2008).

Menurut Itoh (2014), tren terbaru daur ulang logam dalam limbah elektronik dan limbah industri di Jepang ditinjau berfokus pada kerangka hukum saat ini untuk mendaur ulang peralatan rumah tangga besar dan peralatan listrik rumah tangga kecil (SHEA).

Sistem pengumpulan baru SHEA yang telah diundangkan untuk mengembangkan daur ulang limbah elektronik domestik melalui perlakuan secara mekanis dan fisik dengan cara menyortir, menghancurkan dan meningkatkan kandungan logam tersebut di perusahaan yang disetujui oleh pemerintah. Kemudian, peleburan dan perlakukan secara kimiawi diperlukan agar diperoleh logam dengan tingkat kemurnian yang tinggi.

Melihat dari upaya Jepang untuk menangani permasalahan limbah elektroniknya, rasanya Indonesia perlu segera menerapkan EPR ini secara spesifik terhadap limbah elektronik. Apalagi ada nilai ekonomi dibalik limbah ini yang dapat berperan menjadi urban mining. Upaya ini memang memerlukan dukungan semua pihak untuk dapat menetapkan mekanisme EPR yang tepat.

Akhirnya, upaya penerapan pengelolaan limbah elektronik yang optimal juga dipengaruhi oleh budaya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam menerapkan sistem daur ulang limbah elektronik yang efektif di Indonesia.       

*) Peneliti Junior Visi Teliti Saksama

Referensi:
Baldé, C.P., Forti V., Gray, V., Kuehr, R., Stegmann,P.: The Global E-waste Monitor – 2017, United Nations University (UNU), International Telecommunication Union (ITU) & International Solid Waste Association (ISWA), Bonn/Geneva/Vienna.

Brenniman, G R & W H Hallenbeck. 2002. Other Special Wastes Part 11e Computer and Other Electronic Solid Waste dalam G. Tchobanoglous & F. Kreith (Ed.), Handbook of Waste and Solid Management. 2nd Ed. McGraw-Hill.

Itoh, H. 2014. The recent trend of e-waste recycling and rare metal recovery in Japan. WIT Transactions on Ecology and The Environment, 180: 3-14. WIT Press.

Landis, W G & Ming-Ho Y. 2005. Introduction to Environmental Toxicology: Impacts of Chemicals upon Ecological Systems. 3rd Ed. Lewis Publishers, Boca Raton. 

Sung-Woo Chung & R Murakami-Suzuki. 2008. A Comparative Study of E-waste Recycling Systems in Japan, South Korea and Taiwan from the EPR Perspective: Implications for Developing Countries. 125-145.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar