05 Maret 2019
19:07 WIB
Editor: Novelia
Oleh: Novelia, M.Si *
“Dear Indonesia, I gave u the wholesome hits ‘Nothin On You,’ ‘Just The Way You Are,’ & ‘Treasure.’ Don’t lump me in with that sexual deviant.”
Keluhan tersebut dituangkan oleh penyanyi pop Bruno Mars pada tanggal 27 Februari 2019 di akun Twitternya, menyusul maraknya komentar di dunia maya terkait dikeluarkannya surat edaran dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Jawa Barat untuk membatasi pemutaran 17 lagu berbahasa Inggris, baik berupa lagu maupun video klip, termasuk dua lagu milik Bruno yang dapat dikatakan cukup menjadi favorit penggemarnya di Indonesia. Lagu-lagu tersebut hanya diperkenankan diputar di waktu dewasa, yakni dari jam 10 malam hingga jam 3 dini hari.
Mengapa dibatasi? Diungkapkan oleh Ketua KPID Dedeh Fardiah (dalam Nurcahyani 2019), berdasarkan hasil pemantauan dan audiensi, lagu-lagu tersebut memiliki lirik yang menjurus pada tema kehidupan dewasa dan secara vulgar menayangkan muatan seks. Menurutnya lagi, karena pembatasan ini merujuk pada pedoman siaran dan program siaran yang menampilkan lagu bermuatan cabul atau yang mengesankan aktivitas seksual, tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukannya penambahan lagu lain ke dalam daftar lagu yang dibatasi pemutarannya tersebut.
Begitu meruak di internet, kabar pembatasan lagu-lagu ini sontak mendapat respons yang berbeda-beda dari berbagai pihak, yang tentu saja, mengandung pro maupun kontra. Komentar kurang sepakat terhadap KPID diungkapkan oleh pengamat musik Idhar Resmadi, dengan mengatakan bahwa keputusan pembatasan ini tidak masuk akal dan aneh (Nurcahyani, 2019). Dikatakan Idhar, lirik lagu berbeda dengan sinetron maupun film, yang punya bentuk visual. Lirik lagu bersifat multitafsir sehingga pemahaman orang yang mendengar tentu akan berbeda. Idhar juga menyesalkan pembatasan yang terkesan dilakukan secara sepihak, karena menurutnya akan lebih baik bila keputusan dilakukan setelah melakukan kajian mendalam dengan melibatkan pelaku di industri musik agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Bukan Yang Pertama
Seteru antara seni dan norma-norma yang berlaku, sebetulnya bukan kali ini saja terjadi. Kebebasan berekspresi dalam berbagai hal, seperti pendapat, sains, hingga seni sendiri, tak jarang harus terkungkung karena berhadapan dengan nilai dan etika dalam masyarakat yang harus dipatuhi. Di sektor kesenian, sudah ada beberapa kasus yang tercatat, misalnya yang telah terpaut waktu cukup jauh adalah bagaimana karya-karya Gerakan Seni Rupa Baru di tahun 1970-an dianggap kurang ajar dan berlawanan dengan norma dalam masyarakat (Abadi, 2016).
Kasus bagaimana beberapa lagu Inggris yang dianggap KPID bertentangan dengan norma-norma dalam masyarakat ini rasanya masih kalah heboh bila dibandingkan dengan apa yang terjadi pada awal tahun 2017 lalu. Masih ingat? Bekerja sama dengan Footurama, seorang seniman muda Natasha Gabriella Tontey menggelar acara yang diberinya nama ‘Makan Mayit.’ Berarti kanibalisme, dong?
Ilustrasi menu makanan sesi perjamuan "Makan Mayit" di Jakarta, beberapa waktu lalu. elianurvista.com
Judulnya memang ‘makan mayit’, tetapi makanan yang disediakan adalah makanan vegetarian, hanya saja disajikan di dalam piring berbentuk boneka bayi yang dibelah. Selain itu ada juga beberapa cemilan yang juga berbentuk bayi. Kegiatan ini pada akhirnya menghadirkan banyak pertentangan karena dianggap kurang sensitif dan beretika pada pasangan yang masih mengharapkan kehadiran bayi di keluarganya. Namun ada juga beberapa seniman yang mendukung dengan alasan kegiatan tersebut hanya merupakan bentuk ekspresi seni.
Batas Yang Baik dan Buruk
Sedari tadi telah dibahas bagaimana beberapa cara berekspresi, terutama seni, kerap terbentur dengan nilai dan etika yang ada di masyarakat. Lalu apa dan bagaimana sebenarnya nilai dan etika itu sendiri? Suseno (dalam Abadi, 2016) menjelaskan bahwa nilai akan merujuk pada sistem, seperti sosial, politik, hingga agama. Sistem sendiri memiliki rancangan bagaimana tatanan dan aturan digunakan sebagai salah satu bentuk kontrol dapat terwujud.
Sementara etika dan moral dapat didefinisikan sebagai teori mengenai perilaku individu, baik dan buruk yang masih terjangkau oleh akal. Moral hadir sebagai ide tentang baik dan buruknya perilaku manusia, sementara etika berfungsi mencari ukuran akan perilaku (baik atau buruk) tersebut. Pada praktiknya fungsi etika mengalami kesulitan. Bagaimana tidak? Setiap individu memiliki pengalaman yang berbeda-beda selama hidupnya, yang mengakibatkan penilaian mereka tentang suatu hal tentunya akan berbeda pula. Akan sangat sulit menakar baik dan buruk tingkah laku manusia karena sifatnya relatif (Abadi, 2016).
Sebagai respons dari konsep etika, pada abad ke-20, hadir kajian analitis terhadapnya yang kini dikenal dengan nama metaetika. Metaetika ini khususnya menyelidiki dan menetapkan makna berbagai istilah normatif yang diungkapkan melalui pernyataan-pernyataan etis, baik yang membenarkan maupun menyalahkan suatu tindak laku individu (Rapar, 1995). Teori subjektif kemudian hadir sebagai salah satu teori yang ditawarkan metaetika.
Dalam teori subjektif, ditekankan bahwa berbagai pertimbangan moral yang ada sebenarnya hanya dapat menjelaskan fakta-fakta subjektif terkait sikap dan perilaku manusia. Dengan kata lain, ia tidak mampu mengungkapkan fakta-fakta objektif. Jadi, saat seseorang berkata bahwa sesuatu itu benar, ia sebetulnya hanya mengatakan bahwa ia setuju bahwa hal tersebut memang benar. Begitu pula ketika ia berkata bahwa sesuatu itu salah, ia sebenarnya hanya menyatakan ketidaksetujuannya akan hal tersebut.
Permasalahannya, meski mengandung sesuatu yang relatif dan subjektif, nyatanya nilai, etika, dan moral kerap digunakan sebagai standar-standar tertentu pada perilaku masyarakat. Sebagai contohnya, bagaimana perempuan yang berada di luar rumah saat larut malam selalu dianggap tidak baik. Awalnya mungkin hal-hal seperti ini hanya diganjar tekanan sosial dari masyarakat kebanyakan karena dianggap menyalahi norma. Namun, kini beberapa aparat yang seharusnya bertindak objektif, tak jarang menjadikan etika dan moral ini senjata untuk mengeksekusi pelanggarnya. Perlahan, kedua konsep bahkan mulai dijadikan modal dan dasar penyusun regulasi tertentu, seperti yang terjadi pada aturan-aturan yang membatasi seni. Jadi apakah regulasi-regulasi terkait etika dan moral ini jadi sesuatu yang tepat untuk dilakukan?
Pergerakan Norma Dalam Masyarakat
Pada sektor seni, terdapat ketakutan tertentu karena adanya anggapan bagaimana seniman umumnya jauh lebih bebas. Untuk sebagian orang bahkan tidak hanya bebas, tetapi dapat disebut liar (Basyaib, 2006). Sebut saja karya-karya seni, dalam berbagai bentuk (dapat berupa lagu, puisi, atau karya seni rupa), yang dianggap melanggar norma-norma sosial dan kesusilaan karena bersentuhan dengan isu pornografi. Akhirnya dilakukan pelarangan ataupun pembatasan publikasi atas karya tersebut.
Padahal tanpa disadari pembatasan atau pelarangan tersebut justru memungkinkan untuk memberikan dampak negatif bagi konsumennya. Sebagai contoh, bagaimana beberapa stasiun televisi melakukan sensor pada adegan-adegan yang menurut mereka tidak pantas dan mengandung pornografi. Meski bermaksud baik, hal ini justru malah berpotensi membuat penonton, terutama anak-anak yang belum mengerti, menjadi penasaran dengan bagian yang disensor. Rasa penasaran ini bisa saja kemudian ditindaklanjuti sang anak dengan mencari tahu sendiri secara sembunyi-sembunyi, tanpa pengawasan orangtua atau wali di sekitarnya. Berbahaya? Tentu.
Ketakutan akibat terbatasinya cara berekspresi dengan berbagai batasan norma dan etika akhirnya membingungkan para pelakunya. Tak terkecuali para seniman yang harus dihadapkan dengan masalah etika dan estetika yang saling bertabrakan. Pasalnya, dalam buku berjudul ‘Membela Kebebasan: Percakapan Tentang Demokrasi Liberal’ yang disunting oleh Hamid Basyaib (2006), dikatakan bahwa norma sosial bukanlah sesuatu yang statis dalam perjalanan sejarah. Ia akan bergerak bersama apa yang terjadi pada peradaban.
Telah tercatat dalam sejarah bagaimana beberapa karya seni berbagai masa dilarang maupun dibatasi dengan alasan tertentu. Namun ukuran-ukuran terlarang tersebut bisa jadi hanya ukuran yang ditetapkan oleh kuasa politik tertentu pada masa tersebut (Basyaib, 2006). Alhasil, keputusan penentuan nilai dan norma pun berada di bawah kuasa pihak tertentu. Kalau sudah begitu, apakah pantas apabila suatu nilai dikatakan diciptakan demi kepentingan sosial?
Dari kacamata yang lebih positif, kebebasan, termasuk kebebasan dalam berekspresi, tetap dibutuhkan karena ia dapat menjadi sarana penguji, apakah sebenarnya terjalin hubungan yang baik dan sehat antara individu dengan masyarakat atau tidak. Bagaimanapun keseimbangan antara keduanya tetap dibutuhkan untuk meminimalkan konflik yang mungkin terjadi. Perlu diketahui apakah level kebebasan dapat diterima oleh masyarakat atau tidak. Lalu, bila kebebasan berekspresi tersebut tak dapat diterima, pihak mana yang harus mengubah standarnya? Jawabannya masih jadi dilema.
*) Peneliti Muda Visi Teliti Saksama
Referensi:
Abadi, Totok Wahyu. 2016. "Aksiologi: Antara Etika, Moral, dan Estetika." Kanal: Jurnal Ilmu Komunikasi 4 (2) 187-204.
Basyaib, Hamid. (Ed). 2006. Membela Kebebasan: Percakapan Tentang Demokrasi Liberal. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Nurcahyani, Ida. 2019. Antaranews. Februari 27. https://sumbar.antaranews.com/nasional/berita/803262/pengamat-keluhkan-pembatasan-tayang-lagu-barat?utm_source=antaranews&utm_medium=nasional&utm_campaign=antaranews.
Rapar, Jan Hendrik. 1995. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.