22 Februari 2018
19:00 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
Oleh: Natanael Waraney Gerald Massie*
Proteksi dalam usaha adalah salah satu kasus paling umum ditemui dalam koridor perdagangan suatu negara. Setelah berabad-abad berkecimpung dalam perdebatan proteksi antarnegara, seiring dengan perkembangan teknologi, pemerintah semakin sering dihadapkan dengan permohonan kasus perlindungan usaha dengan ruang lingkup yang semakin kecil, namun tetap relevan.
Salah satu contoh konkret yang menjadi polemik dan belakangan sempat menjadi perhatian publik adalah usaha pemerintah untuk meregulasi usaha transportasi online. Per 1 Februari 2018, para pengemudi dari penyedia jasa ride-hailing, seperti Gojek, Uber, dan Grab, diwajibkan untuk mengikuti peraturan baru dari Kementerian Perhubungan, yaitu Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 108 tahun 2017 tentang Angkutan Tidak dalam Trayek.
Meskipun telah diresmikan sejak bulan November 2017 silam, masa transisi yang diberikan oleh pemerintah akan berakhir tepatnya pada minggu ketiga bulan Februari. Artinya, tindakan tegas akan mulai diambil oleh aparat jika pengemudi taksi online ditemukan melanggar pada periode setelah masa transisi, seperti penertiban dan sanksi tindak pidana ringan.
Secara sederhana, isi dari peraturan menteri tersebut mewajibkan para pengemudi taksi online untuk lulus uji KIR kendaraan, memiliki SIM A Umum yang valid, dan memasang stiker pada kendaraannya. Para pengendara (driver) menunjukkan penolakan yang keras. Tidak sedikit juga segmen masyarakat yang merasa dirugikan oleh peraturan tersebut. Melihat fenomena ini, mungkin tidak sedikit dari kita yang bertanya – apakah peraturan seperti itu memang diperlukan?
Terkait polemik tersebut, artikel ini akan membahas tiga aspek yang membedakan kasus transportasi online (serta kasus sharing economy secara umumnya) dengan kasus proteksi industri-industri terdahulu. Tanpa membahas benar dan salahnya kebijakan yang diambil, tulisan ini akan menawarkan tambahan sudut pandang yang perlu diperhatikan oleh para pengambil kebijakan, serta masyarakat secara umumnya.
Tiga Hal Pembeda
Pertama, dalam hal asal barang dan jasa. Secara umum, kasus-kasus proteksi terdahulu dapat dikatakan sebagai masalah ‘kita vs mereka’ yang lebih pasti sebagai ‘dalam negeri vs luar negeri’. Untuk produk unggas, misalnya, Indonesia telah melakukan proteksi terhadap impor unggas dari luar negeri sejak tahun 2000. Dalam kasus ini, dengan mudah dapat dikatakan bahwa kebijakan ini, secara populis, ‘melindungi kepentingan Indonesia (kita) dari penetrasi produk unggas asing (mereka)’.
Dalam kasus yang sedang dihadapi oleh penyedia jasa transportasi online, sulit untuk mengatakan hal yang sama. Pasalnya, garis batasan antara ‘kita’ dan ‘mereka’ semakin sulit untuk ditarik, mengingat kedua pihak yang berpolemik pada dasarnya adalah sesama pelaku ekonomi setempat. Dalam praktiknya, menentukan keberpihakan akan lebih sulit karena baik para pengemudi ojek online dan pihak taksi konvensional serta Organda adalah sesama masyarakat setempat.
Sebagai contoh, pemerintah setempat di Inggris, tepatnya kota London memutuskan untuk melarang operasi Uber per September 2017. Kebijakan tersebut disambut oleh penolakan yang keras, mengingat Uber telah menjadi sumber penghidupan bagi 40,000 pengemudi serta sarana transportasi utama bagi 3,5 juta pengguna di kota tersebut. Padahal, dalam pernyataan resminya, pemerintah setempat mengatakan bahwa mereka bermaksud untuk ‘melindungi kepentingan dan keselamatan masyarakat dan pengemudi’ (The Telegraph, 2017).
Kedua, dalam hal perpindahan tenaga kerja (labor mobility). Salah satu aspek yang paling membedakan kasus proteksi transportasi online dengan industri-industri lainnya adalah kemungkinan terjadinya ‘perpindahan tenaga kerja’ dalam kasus transportasi online, sesuatu yang sangat jarang terjadi dalam kasus lainnya.
Sebagai contoh, ketika pemerintah Indonesia melakukan proteksi terhadap masuknya garam dari Selandia Baru, hampir tidak mungkin produsen garam di Selandia Baru akhirnya berpindah dan menjadi produsen garam di Indonesia. Sebaliknya, dalam kasus transportasi online, sangat mungkin seorang pengemudi angkot hari ini akan berpindah haluan menjadi pengemudi Gojek esok harinya.
Mengapa hal ini relevan? Alasannya, adalah karena efek yang didapat dari labor mobility ini sangat mungkin positif. Menurut data terakhir, pendapatan seorang pengemudi Gojek adalah pada kisaran Rp4 Juta perbulan, melebihi UMP DKI Jakarta yaitu Rp3,3 Juta. Bahkan, jika sehari bekerja 10 hingga 12 jam, pendapatan dapat mencapai tingkatan kelas menengah yaitu Rp 6—8 Juta perbulannya (Detik, 2017).
Ketiga, dalam hal penegakan regulasi. Berbeda dengan kasus-kasus proteksi lainnya, penegakan regulasi dalam regulasi transportasi online memiliki berbagai kendala yang lebih sulit dikontrol. Kendala utama adalah pengawasan. Dalam penegakan regulasi transportasi online, akan sangat sulit bagi aparat untuk mengawasi pengemudi-pengemudi mana saja yang patuh serta melanggar, mengingat jumlah pengemudi yang begitu banyak.
Selain jumlah pengemudi yang banyak, arus peredaran barang dan jasa yang ditawarkan masing-masing pengemudi juga tidak terpusat seperti industri lainnya. Dalam kasus-kasus proteksi yang terkait dengan ekspor impor, aparat dapat mengawasi secara jelas keluar masuknya barang, karena secara umum harus melalui satu pintu bea. Hal yang sama sulit dikatakan tentang transportasi online, karena peran Gojek dkk yang hanya sebagai ‘broker’ antara pengemudi dengan penumpang.
Jika aparat menginginkan pengawasan serta penegakan yang baik, maka tentu diperlukan investasi pada infrastruktur serta sarana yang sangat masif. Sisi konsumen juga lebih sulit untuk disentuh oleh regulasi. Pada akhirnya, siapa jugakah yang mampu mengatur orang lain akan apa yang boleh ia akses melalui internet?
Tantangan bagi Pemangku Kebijakan
Melihat betapa vitalnya peran Gojek, Grab, dan Uber bagi kehidupan masyarakat dan pelaku usaha, kebijakan yang mencoba mengatur pasti akan dihadapkan dengan tekanan yang kuat. Gojek, misalkan, memiliki 15 juta pengguna unik mingguan yang dilayani oleh 900.000 pengemudi mitra. Lebih dari 125,000 merchant telah bergabung dalam berbagai jasa yang ditawarkan.
Aspek-aspek di atas tentu menjadi tantangan yang wajib dipertimbangkan bagi pemangku-pemangku kebijakan di dalam era ini, terutama mereka yang terlibat dalam regulasi transportasi online. Perbandingan antara proteksi transportasi online dengan proteksi industri-industri lainnya yang ternyata tidak begitu apple to apple, justru menjadi penekanan utama akan mengapa pertimbangan lebih begitu diperlukan oleh pemangku kebijakan.
Argumentasi serta pola pikir yang sama dengan sebelumnya mungkin sudah tidak bisa digunakan lagi. Alasannya? Asal dari barang dan jasa kita kini berasal dari orang kita sendiri, adanya kemungkinan sang pelapor mendapat penghidupan yang lebih baik dengan berpindah pihak menjadi yang terlapor dalam hitungan hari, serta regulasi yang pada akhirnya akan sangat sulit untuk ditegakkan.
Keputusan akhirnya ada pada pemerintah – apakah mereka akhirnya akan membuat regulasi yang bersifat progresif, relevan, serta fokus untuk membangun kompetisi usaha yang sehat antar pemain, atau terus membuat keputusan dengan kacamata yang sama dengan yang telah digunakan berabad-abad.
*Asisten Dosen di FEB UI
Referensi
The Telegraph (2017). Uber ban divides opinion - how Telegraph readers, Londoners and black cab drivers reacted. The Telegraph. [Online] Accessible in: www.telegraph.co.uk/news/2017/09/22/can-london-21st-century-city-londoners-react-uber-losing-licence/