c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

OPINI

23 Desember 2019

18:41 WIB

Perilaku Pro-Lingkungan dan Upaya Mencegah Banjir

Perilaku pro-lingkungan didefiniskan sebagai perilaku yang menjaga lingkungan; kalaupun aktifitasnya menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan, kerusakan tersebut di usahakan minimum.

Perilaku Pro-Lingkungan dan Upaya Mencegah Banjir
Perilaku Pro-Lingkungan dan Upaya Mencegah Banjir
Sejumlah kendaraan melintas bergantian di depan Air Terjun Lembah Anai yang meluap, di Kab.Tanah Datar, Sumatra Barat, Minggu (22/12/2019). Air terjun di kawasan Objek Wisata Lembah Anai itu meluap dan sempat membuat jalur Padang - Bukittinggi lumpuh selama sejam lebih akibat tingginya curah hujan di wilayah tersebut. ANTARAFOTO/Iggoy el Fitra

*Sita Wardhani S., SE, MSc

Jika negara 4 musim mengalami white Christmas, maka penduduk Indonesia mengalami wet Christmas, perayan natal di musim hujan. Sebagai negara yang berada di garis khatulistiwa, maka Indonesia hanya mengalami dua musim, musim kemarau dan musim hujan. Dan Desember, bulan dimana umat kristiani merayakan natal, merupakan bulan dimana musim hujan terjadi.

Untuk tahun 2019 ini, musim hujan mulai telat. Biasanya musim hujan sudah mulai di bulan oktober, namun tahun ini sebagian besar daerah, termasuk Jakarta belum mengalami hujan. Bahkan bulan oktober dan November, Jakarta sempat mengalami hawa panas yang ekstrim. Hal ini telah diramalkan BMKG pada prakiraan musim hujan 2019/2020 yang dirilis di bulan agustus 2019. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa sebanyak 253 daerah dari 342 daerah mengawali musim hujan lebih lama dari biasanya.

Berbicara mengenai musim hujan, maka yang patut diwaspadai adalah banjir. Terutama bagi penduduk Jakarta, genangan air setinggi 10 cm saja sudah dapat menyebabkan kemacetan serta kerisauan bagi penduduknya. Sebagai contoh, hujan yang terjadi pada hari selasa, 17 Desember. Beberapa daerah mengalami hujan secara terus menerus, lebih dari 3 jam. Hujan tidak terlalu lebat, namun terus menerus tanpa berhenti telah menyebabkan beberapa daerah di pusat bisnis Jakarta tergenang. Meski genangan hanya berlangsing selama beberapa jam, namun sudah cukup untuk membuat warga Jakarta meributkan hal tersebut. Apalagi genangan ada yang mencapai hampir setengah meter. Dan tentu saja pada hari itu, kemacetan parah melanda beberapa daerah,terutama di pusat bisnis.

Faktor Penyebab Banjir

Terdapat dua faktor utama yang dapat menyebabkan banjir, faktor alam dan faktor manusia (Hapsari & Zenurianto, 2016). Faktor alam dipengaruhi oleh intesnitas hujan yang tinggi. Indonesia merupakan salah satu negara dengan curah hujan yang tinggi, dan berpotensi menimbulkan banjir, terutama jika penyerapan air hujan serta aliran air sungai terganggu.

Di Indonesia terdapat 5590 sungai, besar dan kecil, dan 30% dari sungai tersebut melewati daerah padat penduduk. Sungai-sungai tersebut pun mengalami permasalahan penyempitan aliran sungai, yang berakibat pada berkurangnya kemampuan menampung dan mengalirkan air. Faktor alam lain yang dapat mendorong kejadian banjir adalah lokasi dearah yang rendah, efek gelombang pasang, faktor morfologis sungai, dan perubahan iklim, seperti suhu tinggi mempercepat penguapan, serta kenaikan permukaan air (Hapsari & Zenurianto, 2016) (Margai, Sekaranom, & Ward, 2015).

Permasalahan banjir yang dihadapi khususnya kota Jakarta, disebabkan oleh permukaan kota Jakarta yang sebagian besar lebih rendah dari permukaan air laut. Jakarta juga diliri oleh 13 sungai , dimana 9 diantaranya dikategorisasikan sebagai sungai besar yang juga berkontribusi pada banjir. Ditambah lagi letak kota Jakarta yang berada di pinggir laut, menyebabkan Jakarta juga terancam banir yang diakibatkan oleh gelombang pasang tinggi dari laut, terutama daerah Jakarta utara yang berbatasan langsung dengan laut (Margai, Sekaranom, & Ward, 2015).

Disisi lain, pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan meningkatkan kebutuhan akan lahan, baik untuk kawasan pemukiman maupun perindustrian. Pertumbuhan populasi serta urbanisasi menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Deforestrasi, maupun lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan baik untuk pemukiman maupun aktifitas ekonomi. Hal ini menyebabkan kemampuan tanah untuk menyerap air berkurang. Ancaman banjir akan menjadi lebih parah, ketika lahan yang memang berperan sebagai daerah penyerapan air pun ikut dialihfungsikan.

Dampak tidak langsung lainnya dari alih fungsi lahan adalah penyempitan aliran sungai. Ketika pohon ditebang,  kemampuan tanah menyimpan air berkurang. Kemudian, pada musim hujan, aliran air ini dapat membawa tanah ke sungai, yang pada akhirnya menyebabkan endapan di sungai. Pada akhirnya daya tampung air di sungai pun berkurang. Selain alih fungsi lahan, penyempitan lebar sungai juga disebabkan oleh penggunaan bantaran kali sungai sebagai tempat tinggal atau tempat beraktifitas. Ketika aliran sungai tidak lagi dapat ditampung oleh sungai, maka air akan meluap, dan menyebabkan genangan di daerah sekitarnya. Faktor lain yang juga mengganggu daya tampung air pada sungai adalah kebiasaan masyarakat kota yang membuang sampah di sungai.

Perilaku Individu yang Pro-Lingkungan

Sebuah studi yang dilakukan oleh Asian Development Bank di tahun 2006, seperti di kutip pada studi (Hermawan & Kijmi, 2009) menunjukkan bagaimana pencemaran air sungai citarum tidak hanya disebabkan oleh aktifitas industri, tetapi juga akibat disebabkan oleh masyarakat disekitar. Permasalahannya, jika pencemaran atau kerusakan lingkungan dilakukan oleh industri, maka pemerintah memiliki mekanisme dalam bentuk regulasi, untuk membatasi perilaku industri yang merusak lingkungan. Namun tidak demikian dengan aktifitas rumah tangga. Belum ada mekanisme peraturan yang mengikat, sehingga dapat mempengaruhi perilaku masyarakat, terutama untuk menjaga lingkungan atau perilaku yang pro-lingkungan (Pro Environmental Behavior/PEB).

Perilaku pro-lingkungan didefiniskan sebagai perilaku yang menjaga lingkungan; kalaupun aktifitasnya menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan, kerusakan tersebut di usahakan minimum. Teori yang seringkali digunakan untuk menjelaskan bagaimana perilaku pro-lingkungan seseorang individu terbentuk, adalah teori Norm Activation Model (NAM). Teori ini mencoba menjelaskan landasan utama seseorang memiliki perilaku altruistic, atau perilaku yang mementingkan kepentingan bersama diatas kepentingannya sendiri.

Menurut teori NAM terdapat tiga variable utama yang membentuk perilaku altruistic tersebut. Ketiga faktor tersebut adalah (1) norma individu (personal norm/PN), (2) anggapan tanggung jawab (ascription of responsibility/AR); dan (3) kepedulian terhadap konsekuensi (awareness of consequences/AC). Lebih jauh lagi norma individu (PN) mengacu pada konsep individu atau aturan yang dianut dimana seseorang memiliki kewajiban moral terhadap sebuah perilaku spesifik dalam hal ini perilaku menjaga lingkungan. Berbagai studi menemukan bahwa norma individu merupakan faktor penting yang mempengaruhi perilaku yang pro-lingkungan (Fang, Chiang, Ng, & Lo, 2019). Lalu variabel kepedulian akan konsekuensi (AC) mengacu pada bagaimana seseorang mempersepsikan bagaimana perilakunya berdampak terhadap orang lain, apakah menimbulkan kerugian atau tidak, dan seberapa besar dampaknya itu. Ketika seseorang memahami konsekuensi perilaku, serta dampaknya terhadap lingkungan dan orang lain, maka ia akan memiliki perilaku yang pro-lingkungan. Kemudian variabel anggapan terhadap tanggung jawab (AR) mengacu pada bagaimana rasa tanggung jawab seseorang terhadap dampak dari perilakunya. Individu yang menerapkan rasa tanggung jawab pada dirinya terhadap isu terkait lingkungan cenderung memiliki perilaku yang lebih peduli lingkungan .

Upaya Mengubah Perilaku

Sejauh ini belum ada studi yang secara khusus melihat bagaimana perilaku pro-lingkungan masyarakat Indonesia mengacu pada ketiga variabel tersebut. Namun jika kita mencoba melihat perilaku warga Jakarta khususnya, mungkin saja setiap orang memiliki norma untuk menjaga lingkungan, sebab dalam setiap agama pasti diajarkan kewajiban untuk hidup bersih dan menjaga lingkungan. Tetapi pengejawantahan dari norma tersebut tampaknya belum terlihat secara nyata. Hal ini terbukti dari perilaku membuang sampah yang masih semena-mena, tidak perduli apakah kosekuensi dari perilakunya tersebut dapat merugikan orang lain, seperti menyebabkan sakit, atau dapat menimbulkan penyumbatan terhadap saluran air.

Sebuah studi yang pernah dilakukan Visi Teliti Saksama terhadap warga Jakarta dan sekitarnya menunjukkan bahwa mereka merasa perlu untuk menjaga lingkungan, dan mengetahui konsekuensi perilaku mereka jika tidak menjaga lingkungan. Namun pengejawantahan norma, konsekuensi, dan tanggung jawab untuk menjaga lingkungan ini tidak tergambar dalam perilakunya untuk menjaga lingkungan, dalam hal ini, adalah pemilahan sampah.

Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku pro-lingkungan ini. Mungkin secara sadar seseorang mengetahui kewajiban dan konsekuensinya dalam menjaga lingkungan. Namun kemudian tidak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Penyebabnya diantaranya adalah seperti sistem yang berlaku. Sebagai contoh, sistem pembuangan sampah di indoensia yang masih menggunakan sistem kumpul-angkut-buang, tanpa ada pemilahan. Akibatnya masyarakat belum memiliki kewajiban untuk melakukan pemilahan sampah. Atau infrastruktur yang belum memadai. Akses terhadap tempat pembuangan sampah sementara yang terbatas mengakibatkan beberapa orang kemudian membuang sampah sembarangan, seperti di lahan kosong, bahkan di beberapa tempat, di pinggir jalan.

Khususnya di kota Jakarta, upaya pemerintah untuk mencegah banjir sudah dilakukan. Diantaranya seperti memperlebar sungai (dengan memperbaiki Banjir Kanal Timur dan Barat), memperbaiki gorong-gorong, dan berbagai upaya lainnya.  Namun yang juga penting dilakukan adalah memperbaiki perilaku masyarakat Jakarta untuk lebih menjaga lingkungan serta infrastruktur kota, yang dapat mencegah banjir terjadi. Sehingga keriaan mempersiapkan natal bagi penduduk Jakarta dan penduduk kota lainnya tetap dapat dilakukan tanpa terganggu macet akibat genangan air, ataupun banjir besar, sehingga natal tetap dapat dirayakan secara syahdu.

*Peneliti Utama dan Pengajar FEBUI

Referensi

Fang, W.-T., Chiang, Y.-T., Ng, E., & Lo, J.-C. (2019). Using the Norm Activation Model to Predict the Pro-Environmental Behaviors of Public Servants at the Central and Local Governments in Taiwan. Sustainability.

Hapsari, R. I., & Zenurianto, M. (2016). View of Flood Disaster Management in Indonesia and the Key Solution. American Journal of Engineering Research , 140-151.

Hermawan, P., & Kijmi, K. (2009). Conflict Analysis Of Citarum River Basin Pollution In Indonesia: A Drama-Theoretic Model. Journal of Systems Science and Systems Engineering, 16-37.

Margai, M. A., Sekaranom, A. B., & Ward, P. (2015). Community responses and adaptation strategies toward flood hazards in Jakarta, Indonesia. Natural Hazard, 1127-1144.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar