14 Januari 2020
13:05 WIB
Oleh Novelia*
Pagi itu suasana teduh terasa di sekitar Asrama Polri Kelurahan Larangan Indah, Ciledug. Di halaman aula serbaguna perumahan tersebut, Pak Ade terlihat sibuk. Lelaki penjabat Sekretaris RW itu tengah mengurusi ikan-ikan yang dibudidayakannya. Kesibukan itu seolah selaras dengan tulisan “Taman Ketahanan Pangan” pada banner yang tertempel di pagar bangunan pusat perumahan tersebut.
Area Taman Ketahanan Pangan ini asri nian. Berbagai tanaman buah dan sayur berjejer rapi, baik yang ditanam tanah maupun hidroponik. Serasi dengan rangkaian flora, tampak dua buah kolam ikan sederhana yang terbuat dari terpal dan pipa yang sedang dijaga oleh seorang warga perumahan.
Pak Ade belakangan banyak menghabiskan waktunya untuk mengurus ikan-ikan di halaman aula. Sementara Ibu Lily, sang istri sekaligus penggiat PKK, kebagian merawat tanaman-tanaman. Sesekali keduanya juga saling membantu peranan masing-masing di taman bersama warga kompleks tersebut.
Di sana, pasangan ini tak sendirian berkegiatan. Beberapa warga melakukan hal sama. Mereka memelihara ikan di halaman rumah masing-masing. Kira-kira delapan rumah kini dilengkapi kolam di halamannya, termasuk kediaman Pak Ade dan Bu Lily. Jenisnya beragam, ada nila, lele, mujair, hingga patin. Bahkan, ada juga yang mencoba beternak lobster dari benihnya.
Diceritakan oleh Bu Lily, aktivitas perawatan taman dan kolam yang akhirnya jadi rutinitas ini bermula dari kemenangan kompleks perumahan mereka dalam kompetisi ketahanan pangan yang digelar pemerintah. Awalnya, mereka hanya ingin sekadar mendapat titel juara. Usai meraihnya, aktivitas ini beralih jadi kebiasaan. Apalagi, tak sedikit warga yang sudah pensiun dan menjadikannya kesenangan mengisi waktu.
Kini, menanam dan memelihara ikan tak sekadar jadi hobi. Kolam ikan lele dan patin sudah dipanen beberapa waktu lalu. Karena statusnya sebagai budi daya bersama, ikan-ikan tersebut dibagi-bagikan kepada warga perumahan. Lumayan, untuk memenuhi asupan protein. Apalagi, tahu dan tempe sedang mahal-mahalnya.
Mengganti Sumber Protein yang Hilang
Bicara protein, kita tidak bisa main-main lagi. Terutama jika dikaitkan dengan stunting yang sudah menjadi prioritas untuk terus diturunkan oleh pemerintah. Data yang didapat dari integrasi Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) 2019 dan SUSENAS Maret 2019 menunjukkan, prevalensi masalah kesehatan ini masih berkisar pada angka 27,67% (Kementerian Kesehatan, 2020). Meski sudah turun 3,1% dari data Riskesdas 2018, tentu saja angka ini masih cukup tinggi.
Lalu, apa hubungannya dengan protein? Stunting adalah kondisi gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan anak memiliki tubuh kerdil. Penyebabnya adalah kurangnya asupan gizi. Menjadi zat yang sangat dibutuhkan pada masa pertumbuhan, protein tentunya punya andil. Dengan kata lain, memenuhi kebutuhan protein anak bisa dibilang membantu mengerem kasus stunting.
Protein sebenarnya bisa kita dapatkan dari berbagai jenis makanan, mulai dari susu, telur, daging, hingga kacang-kacangan. Namun, bukan rahasia lagi kalau sumber protein yang paling akrab dengan lidah orang Indonesia adalah tahu dan tempe. Hal ini terlihat dari data Direktori Perkembangan Industri Pangan yang membeberkan bahwa setiap tahunnya konsumsi protein nabati selalu mendominasi dibandingkan protein hewani. Pada tahun 2018 saja, konsumsi protein nabati mencapai 67,82%, sementara konsumsi protein hewani hanya sekitar 32,11% (Kementerian Pertanian, 2019).
Tidak cuma menang rasa yang tak asing, tahu dan tempe juga punya keunggulan dalam hal harga dan kepraktisan. Dibandingkan sumber protein lainnya, harga tahu dan tempe bisa dikatakan paling terjangkau buat ibu-ibu yang ingin berhemat.
Masalah kepraktisan, primadona protein ini juga jadi juaranya. Tinggal goreng dan cocol sambal, tahu dan tempe sudah nikmat disantap dengan nasi panas. Berbeda dengan berbagai daging-dagingan yang dalam memasaknya membutuhkan ide.
Nah, masalahnya belakangan tahu dan tempe sempat menghilang dari peredaran. Usut punya usut ternyata kacang kedelai yang jadi bahan baku keduanya melangka.
BACA JUGA: Pasokan Kedelai Macet, Tahu Tempe Langka di Pasaran
Meskipun perlahan primadona protein ini mulai muncul lagi di banyak gelaran tukang sayur, harganya meningkat beberapa kali lipat. Namun apa daya, walau kocek yang dirogoh harus lebih dalam, kebutuhan asupan mesti tetap terpenuhi. Ditambah, lidah pun rindu mengecap rasanya.
Terlebih, jika mengingat beban penurunan prevalensi stunting yang masih diemban pemerintah. Kalau memang harga tahu tempe kian meningkat, tentunya harus ada pengganti yang jadi sumber protein keluarga. Kebetulan, beririsan dengan kelangkaan akan tahu tempe ini, budi daya ikan belakangan mulai digemari.
Menyiasati Pengeluaran Makanan
Budi daya ikan, seperti yang dilakukan warga Asrama Polri Larangan Indah, tak gubahnya solusi penjawab kebuntuan akan krisis kedelai. Apalagi, ternyata ikan merupakan panganan yang mempunyai kadar protein paling tinggi dibandingkan sumber lainnya.
Bayangkan, dalam 100 gr masakan atau dendeng ikan mujair, ada kandungan protein sebesar 74,3 gr. Sementara itu, dalam jumlah yang sama, kembang tahu hanya mengandung 48,9 gr protein dan tempe goreng hanya punya 24,5 gr protein (Kementerian Kesehatan, 2018).
Bagaimanapun, sebelum adanya krisis kedelai, tahu dan tempe memang selalu jadi pilihan dibandingkan ikan. Akan tetapi, jika keduanya menghilang, budi daya ikan secara mandiri bisa jadi alternatif menggoda. Pasalnya, jika berhasil merawatnya, masyarakat tinggal memanen. Tak perlu lagi pergi ke pasar dan merogoh isi kantung.
Memang, tak mudah mengubah pemikiran sebagian besar masyarakat awam yang menyangka proses budi daya ikan akan sulit dijalani. Padahal, sebenarnya tidak juga. Berkaca pada fenomena urban farming, sebelumnya orang-orang menyangka merawat tanaman dengan memanfaatkan lahan sendiri akan sulit. Nyatanya, kini banyak yang berhasil. Nah, agaknya budi daya ikan juga punya potensi yang sama jika dimanfaatkan dengan baik.
Untuk pembuatan kolam budi daya iklan misalnya, menurut Pak Ade, bahan-bahan yang dibutuhkan mudah ditemukan di berbagai tempat. “Ini kerangka dari besi. Terus (penampung kolam berbahan) terpal kan ada di mana-mana.” Selanjutnya tinggal mengaliri kolam dengan air menggunakan selang dan pipa, lalu menebar benihnya.
Untuk perawatan, pembudi daya cukup memberikan pakan yang sesuai dengan jenis ikan setiap pagi dan malam. Air juga perlu diganti secara rutin untuk menjaga kebersihan kolam.
Nah, jika proses ini dijalani secara telaten, hanya butuh waktu sekitar 2,5 bulan sejak tebar benih, kita sudah bisa panen ikan. Tidak terlalu sulit, kan?
Rawat Ikan Datangkan Cuan
Diakui oleh Pak Ade, hingga saat ini tidak ada niat warga untuk mengomersialkan hasil panen dari kegiatan budi daya ikan di lingkungannya. Selain untuk konsumsi sendiri dan berbagi antarwarga, penjualan ikan memang rencananya dilakukan. Namun, hasilnya hanya untuk biaya perawatan budi daya semata.
Keputusan menggunakan hasil panen ikan untuk sebatas biaya perawatan memang jadi pilihan warga Asrama Polri Larangan Indah. Namun, seandainya pun dijadikan bisnis, sebenarnya tidak ada yang salah. Soalnya, pasar sudah terbuka lebar untuk dimasuki.
Lalu, jika pengembangan bersedia dilakukan, pembudi daya juga bisa merambah bisnis pengolahan. Bukan apa-apa, selama ini kebanyakan masyarakat memilih tahu dan tempe dibandingkan ikan sebagai primadona sumber protein bukan hanya karena harganya yang murah, tetapi juga karena kurang praktisnya pengolahan ikan.
Dibandingkan dengan tahu dan tempe yang bisa langsung iris dan goreng, ikan harus dicuci bersih dan dihilangkan dulu bau amisnya. Belum lagi, kita perlu mengoleskan atau merebus dengan bumbu tertentu untuk mendapat rasa yang diinginkan sebelum menggoreng atau memasaknya. Ribet? Bisa jadi.
Mudah terbuainya masyarakat pada kepraktisan tentu menjadi celah untuk pemasaran ikan. Pembudi daya bisa melakukan pengolahan untuk menjualnya dalam bentuk siap goreng sebelum dijual. Pilihan lainnya, pembudi daya bisa menjalankan konsep pemasaran B to B, alias business to business, dengan menjadi pemasok bagi penjual ikan siap masak.
Peluang B to B hasil budi daya ikan cukup menjanjikan, mengingat kian banyak toko online yang menjual berbagai bahan makanan siap masak. Mulai dari di-fillet, diberi bumbu kuning, dan banyak lagi ragamnya. Lebih lanjut, selain kelompok usaha pengolahan ikan semacam ini, penjual pecel lele dan masakan ikan lainnya juga bisa jadi pasar yang potensial.
Benar adanya jika persiapan untuk mengomersialkan hasil budi daya ikan memang bukan hal mudah. Lagi pula, meski terbukti punya potensi berkembang, idealnya kegiatan ini mendapat perhatian dari pemerintah. Dengan demikian, selain dapat menjadi bagian pendukung pemenuhan asupan protein nasional, aktivitas budi daya ikan di berbagai lingkungan tempat tinggal juga dapat mendukung pemberdayaan warga.
Misalnya, bagi para pensiunan pegawai seperti Pak Ade dan sebagian warga lingkungannya, aktivitas budi daya ikan ini jadi aktivitas pengisi waktu yang menyenangkan. Rasa puas pun diraih karena sukses memanen sendiri hasil perawatan.
Lalu, jika ada kesempatan untuk memberikan apresiasi berupa tambahan pemasukan atas produktivitas semacam ini, tunggu apa lagi? Jawabannya, ya tunggu dilirik pemerintah saja.
*) Peneliti Visi Teliti Saksama
Referensi:
Kementerian Kesehatan. (2018). Tabel Komposisi Pangan 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Kementerian Kesehatan. (2020). Studi Status Gizi Balita Terintegrasi SUSENAS 2019. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Kementerian Pertanian. (2019). Direktori Perkembangan Industri Pangan. Jakarta: Kementerian Pertanian.
Sudrajat, A., & Rani, L. (2021, Januari 10). Budidaya Ikan Asrama Polri Larangan Indah. (Novelia, Interviewer)