23 Juli 2019
15:46 WIB
Editor: Novelia
Oleh Novelia, M.Si*
“Gimana, ya, soalnya gurunya enak ngejelasinnya. Lebih fokus juga belajarnya kalau di bimbel dibanding di sekolah.”
Jawaban tersebut terlontar dari mulut seorang siswi SMA di Jakarta Barat ketika ditanyakan alasannya menyempatkan diri untuk mengikuti bimbingan belajar (bimbel) sepulang sekolah. Alasan senada juga disampaikan sebagian teman-temannya, terutama dalam rangka mempersiapkan diri menjelang ujian nasional dan berbagai tes masuk perguruan tinggi idaman.
Bimbingan belajar kini tak lagi jadi sekadar kebutuhan ekstra yang dianggap tak terlalu penting bagi para siswa sekolah. Hal ini terlihat dari semakin menjamurnya berbagai fasilitas bimbingan belajar, terutama di kawasan kompleks atau daerah dekat sekolah. Tak jarang, bahkan jarak lokasi bimbel satu dengan yang lain hanya terpisah beberapa rumah saja.
Pemandangan berbagai rumah bimbingan belajar yang terus bermunculan dan saling bersaing ini nyata adanya. Bimbingan belajar menjadi salah satu jenis kursus yang jumlahnya paling besar di Indonesia. Dalam publikasi yang diterbitkan Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan Kemendikbud (2018), bimbingan belajar berada di posisi kelima jenis kursus yang paling banyak keberadaannya. Dengan jumlah 1866 unit di seluruh Indonesia, bimbingan belajar hanya kalah jumlah dari kursus komputer, bahasa Inggris, menjahit, dan tata kecantikan rambut.
Tidak hanya bimbel-bimbel konvensional yang mengharuskan para siswa mendatangi lokasi tertentu untuk mengikuti jam belajar, seiring dengan berkembangnya teknologi, kini hadir pula berbagai platform bimbel online berbayar yang dapat diakses via ponsel pintar. Siswa cukup mengunduh aplikasinya, memilih guru yang mengajarkan, dan membayarkan biaya tertentu untuk mengakses topik yang ingin dipelajari.
Yang juga menarik adalah tak sedikit rupiah yang harus digelontorkan oleh para peserta bimbingan belajar. Di Nurul Fikri, misalnya, mengutip informasi dari situs resminya, lembaga bimbingan belajar ini membanderol harga Rp4.930.000,- untuk paket kelas X dan XI SMA. Sementara itu, untuk siswa kelas XII, paket belajar digelontorkan seharga Rp7.140.000 yang ditawarkan bersama dengan program persiapan seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN).
Jumlah ini terbilang besar apabila dibandingkan dengan pelajaran yang bisa didapatkan cuma-cuma di sekolah negeri yang telah menggratiskan siswa-siswanya. Ditambah lagi, materi yang diajarkan pun relatif sama.
Sekolah dan Problem Sumber Daya
Melihat kerelaan para orang tua mengeluarkan sejumlah uang demi anak mereka agar dapat mengikuti bimbingan belajar di luar waktu sekolah untuk materi yang sama dengan yang diajarkan guru-guru di sekolah, muncul pertanyaan, “Untuk apa?”
Apabila alasannya untuk menambah intensitas waktu belajar anak, pertanyaan selanjutnya adalah, “Apakah sejumlah waktu yang dijadwalkan di sekolah masih belum cukup efektif untuk membuat anak mengerti materi ajar? Apa yang masih kurang dari apa yang diberikan sekolah?”
Dalam rangka menghadapi tantangan pendidikan periode 2015–2019, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2015) sebenarnya telah mencatat beberapa permasalahan pendidikan di Indonesia dalam publikasi Rencana Strategis (Restra). Beberapa di antaranya terkait sumber daya pengajar di sekolah, misalnya saja distribusi guru yang masih butuh penataan yang lebih baik. Selain itu, kualitas, kompetensi, dan profesionalisme guru yang masih perlu ditingkatkan. Masih kurangnya kapasitas Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dalam hal menyediakan guru yang berkualitas pun menjadi tantangan tersendiri.
Dalam publikasi terkait, dijelaskan bahwa distribusi guru yang belum sempurna merupakan akibat dari terbatasnya kapasitas pemerintah kabupaten dan kota dalam mengelola sistem perekrutan, penempatan, dan peningkatan mutu guru. Ditambah lagi, komitmen dalam menegakkan peraturan pengangkatan tenaga pengajar sesuai kriteria dan kebutuhan juga masih minim. Kerja sama antara LPTK dan setiap tingkat pemerintahan dalam menjamin kelayakan guru yang merata juga masih belum maksimal, sehingga hal ini pun jadi salah satu pertimbangan lainnya.
Bicara soal kelayakan tenaga pengajar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebenarnya telah mencatat kenaikan persentase kelayakan guru di Indonesia setiap tahunnya. Khususnya dihubungkan dengan maraknya bimbingan belajar yang diikuti siswa-siswa SMA untuk mempersiapkan diri masuk perguruan tinggi, sebenarnya kuantitas guru di tingkatan ini yang dianggap layak telah cukup memadai.
Data yang dihimpun dari Statistik Persekolahan SMA 2018/2019 (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015) menunjukkan bahwa persentase guru layak terhadap kepala sekolah dan guru di Indonesia pada periode ajar 2015/2016 ada dalam angka yang cukup tinggi, yakni 95,5%. Angka itu bahkan terus naik hingga pada periode 2018/2019 mencapai 97,95%. Kriteria kelayakan tersebut mengacu pada tenaga pengajar yang berijazah S1/Diploma 4 dan yang lebih tinggi.
Tidak hanya itu, penilaian kinerja guru (PKG) terus dilakukan demi meningkatkan kualitas tenaga pengajar. PKG sendiri meliputi penilaian dari tiap butir aktivitas tugas utama guru terkait pembinaan karier kepangkatan serta jabatan. Perkembangannya pun dapat dikatakan menggembirakan. Sebut saja pada 2016, dari target capaian kinerja guru sebesar 67,7%, atau 1.978.753 orang, realisasinya melampaui ekspektasi, yakni sebesar 68,42% (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2018). Sementara pada 2017, pengukuran kinerja tidak dapat dilakukan terkait beberapa indikator yang perlu dirombak dalam PKG.
Meski pemerintah terus melakukan perbaikan dan peningkatan tenaga pengajar, nyatanya tawaran rumah bimbingan belajar masih jadi jualan yang menggiurkan bagi para peserta ajar. Suasana ruangan yang tidak kaku, metode pembelajaran yang lebih luwes, berbagai trik mengerjakan soal sulit, hingga usia pengajar yang kerap tidak terlalu jauh dengan siswa, membuat para pelanggannya betah menghabiskan waktu, meski untuk belajar. Bimbel hadir sebagai oase, baik bagi para siswa untuk mencari suasana yang lebih nyaman untuk belajar, atau pun bagi para pencari peluang bisnis di ranah pendidikan.
Sayang, meski memiliki tujuan membantu tugas sekolah dalam mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi berbagai ujian, bimbel punya potensi jadi buah simalakama. Gempuran perkembangan bisnis ini yang membuatnya bermunculan di mana-mana menciptakan kesan bahwa perlahan ia menjadi sebuah kebutuhan pokok, terutama bagi para siswa SMA tahun terakhir. Akibatnya, peran bapak dan ibu guru di sekolah tak jarang diposisikan seadanya karena sudah tergantikan para guru bimbel. Apabila di kepala siswa mulai muncul pandangan bahwa mereka akan mendapatkan ilmu yang lebih di rumah bimbel, lalu siapa yang akan peduli pada kualitas guru sekolah?
*) Peneliti Muda Visi Teliti Saksama
Referensi:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2018. Data dan Informasi: Kursus dan Pelatihan 2018. Jakarta: Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2018. Laporan Kinerja Kemendikbud 2017. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2015. Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2014-2019. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2019. Statistik Persekolahan Sekolah Menengah Atas (SMA) 2018/2019. Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2019. Statistik Persekolahan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2018/2019. Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan.