c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

NASIONAL

20 Januari 2023

17:38 WIB

YLKI Desak DPR Segera Bahas Amendemen UU Perlindungan Konsumen

UUPK saat ini sudah masuk dalam prolegnas. Oleh karena itu, DPR dinilai perlu segera melakukan pembahasan amandemen UUPK untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen

Penulis: Fitriana Monica Sari

YLKI Desak DPR Segera Bahas Amendemen UU Perlindungan Konsumen
YLKI Desak DPR Segera Bahas Amendemen UU Perlindungan Konsumen
Pekerja beraktivitas di kantor Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di Jalan Pancoran Barat, Jakarta, Rabu (18/1/2023). ValidNewsID/Fikhri Fathoni

JAKARTA- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak DPR segera membahas amendemen Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Hal ini diperlukan untuk mengakomodir pengaduan konsumen pada era digital termasuk aduan mengenai refund yang marak sepanjang 2022.

Menurut Ketua YLKI Tulus Abadi dalam Jumpa Pers Refleksi Pengaduan Konsumen secara daring, Jumat (20/1), jika melihat konstruksi permasalahan yang masuk ke YLKI dan sistem perlindungan yang lemah, maka perlu regulasi untuk memberi perlindungan terhadap konsumen.

Ia mengingatkan, UUPK saat ini sudah masuk dalam prolegnas. Oleh karena itu, DPR dinilai perlu segera melakukan pembahasan amandemen UUPK untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen. Tulus juga mengatakan bahwa pentingnya pelaku usaha untuk meningkatkan literasi terhadap konsumen, khususnya di sektor jasa keuangan.

“Saat ini UUPK sudah masuk prolegnas, sehingga DPR perlu segera melakukan pembahasan amendemen UUPK untuk melindungi masyarakat konsumen,” kata Tulus Abadi.

YLKI mencatat pengaduan seputar refund berada pada nomor urut pertama pada aduan terkait permasalahan belanja online. Sebanyak 32% dari konsumen terkait belanja online mengeluhkan proses refund yang lama dan melebih tenggat waktu yang dijanjikan.

Persoalan terkait refund juga mendominasi aduan pada permasalahan perumahan dengan persentase 27%. Konsumen kerap kali mengadukan agen perumahan yang tidak mengembalikan Down Payment (DP) karena gagal melewati BI checking. Padahal sebelumnya dijanjikan DP akan kembali jika tidak lolos BI checking.

“Permasalahan refund dalam bertransaksi masih menjadi soal di berbagai sektor seperti uang tidak dikembalikan, uang dipotong, refund tidak jelas. Padahal secara regulasi refund merupakan hak konsumen yang dijamin oleh UUPK,” ujar Tulus.

Selain mengenai refund, YLKI juga menilai UUPK yang akan diamendemen harus memberikan perlindungan pada produk adiktif karena pada UUPK saat ini belum ada aturan yang mengatur terkait iklan, marketing dan hal lainnya.

“Sehingga produk adiktif konsumen pendekatannya berbeda sehingga harus ada pasal-pasal khusus yang dimasukkan dalam amandemen UUPK tersebut,” ujarnya.

Tulus juga mendorong kepatuhan pelaku usaha terhadap implementasi UU (Perlindungan Data Pribadi) dan mencegah kebocoran data konsumen. Termasuk memaksimalkan UU PDP sebagai payung hukum saat bertransaksi digital, mengingat pengetahuan konsumen mengenai bisnis proses terutama e-commerce masih rendah yang kemudian memunculkan konflik saat proses Cash on Delivery terjadi.

Belum lagi masih banyak konsumen yang terjebak dengan iklan produk dengan iming-iming harga murah. Karena itu, pelaku usaha juga perlu meningkatkan literasi konsumen terhadap transaksi secara online termasuk mengenai jasa keuangan.



Baca Juga:

YLKI: Jasa Keuangan Masih Dominasi Pengaduan Konsumen 2022

Mengelola Komplain, Strategi Jitu Gaet Konsumen

Medsos dan Panggung Perjuangan Konsumen

Jasa Keuangan
Sementara itu, Ketua Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Rio Priambodo mengungkapkan, pada tahun 2022, pengaduan terhadap sektor jasa keuangan masih mendominasi.

"Sektor jasa keuangan mendominasi sebesar 32,9% pada 2022," kata Rio dalam jumpa pers YLKI yang dipantau secara daring, Jumat (20/1).

Kemudian, lanjut dia, diiikuti oleh sektor transportasi 19%, belanja online 8,5%, perumahan 7,3%, minyak goreng 7,1%, telekomunikasi 6,9%, otomotif 3,2%, paket 2,7%, PDAM 2,4%, dan listrik 2%.  Lebih spesifik, Rio menguraikan pengaduan pada sektor jasa keuangan paling banyak datang dari pinjaman online alias pinjol sebesar 44%. Disusul dengan bank 25%, uang elektronik 12%, leasing 11%, asuransi 7%, dan investasi 1%.

Adapun, permasalahan pinjol terdiri dari banyak hal. Di antaranya, cara penagihan, permohonan keringanan, informasi tidak sesuai, penyebaran data pribadi, tidak meminjam namun ditagih.  Lalu, tagihan berulang, gagal bayar, aplikasi bermasalah, indikasi penipuan, tidak meminjam namun ditransfer. Ada juga permasalahan terkait bunga, pelayanan, penawaran, penggelapan dana oleh DC, penyalahgunaan data pribadi, serta permohonan informasi.

"Pelaku usaha pinjol terdiri dari legal dan ilegal. Pinjol legal tercatat sebesar 26% dan ilegal sebesar 74%," ungkapnya.

Begitu pula dengan permasalah bank, juga terdiri dari berbagai pengaduan. Yakni, permohonan keringanan, cara penagihan, pembobolan, dokumen, lelang, sistem transaksi, informasi, lain-lain. Selanjutnya, pendebetan dua kali, BI Cheking, biaya administrasi, layanan pengaduan, indikasi penipuan, pembayaran asuransi, penarikan dana, penawaran, pengajuan KPR, penghapusan iuran tahunan.

Berikutnya, permohonan penghapusan denda, permohonan penutupan CC, refund, saldo tidak masuk, suku bunga, tagihan berulang, tidak meminjam namun ditagih, dan tunggakan utang.

Sementara untuk permasalah leasing, kebanyakan seputar klaim asuransi, permohonan keringanan, BPKB belum diserahkan, Slik BI/BI Cheking, take over kendaraan, unit hilang, cara penagihan, penarikan kendaraan, biaya penarikan, dan gagal bayar.

Fungsi Pengawasan
YLKI menilai fungsi pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sangat lemah terkait pengelolaan dana nasabah oleh perusahaan asuransi yang tidak transparan dan akuntabel. Konsumen sendiri mudah terjebak dengan penawaran produk asuransi yang menjanjikan manfaat yang tinggi. Oleh karena itu, YLKI meminta adanya lembaga penjamin asuransi bagi konsumen.

Di sisi lain, YLKI juga menganalisis soal robot trading. YLKI mengatakan, Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Nasabah di Bidang Perdagangan Berjangka Komoditi tidak secara khusus mengatur aturan mengenai robot trading.

Padahal, YLKI berpendapat, perlu adanya penyelesaian sengketa konsumen yang lebih lengkap dan berkepastian hukum di dalam penyelesaian sengketa konsumen robot trading. Selain itu, perlu adanya pengaturan hak, kewajiban, tanggung jawab bagi pedagang, pengelola, dan konsumen aset kripto yang menggunakan robot trading. 

Tak sampai disitu, perlu juga adanya aturan atau regulasi yang jelas di dalam standar sebuah perjanjian elektronik dalam jual beli asset kripto menggunakan robot trading.  Lalu, perlu adanya mekanisme pemetaan bagi pelaku usaha penyelenggara robot trading untuk dapat dijadikan rujukan bagi konsumen turut dinilai penting.

“Hal ini agar dapat meminimalisir kerugian atau resiko saat bertransaksi. OJK pun harus mengawasi investasi robot trading,” serunya.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar