17 Juni 2025
19:45 WIB
Was-Was Melaksanakan Pendidikan Gratis
Pendidikan gratis di tingkat dasar jadi amanat konstitusi saat pemerintah mengalokasikan anggaran besar untuk program ambisius.
Penulis: Gisesya Ranggawari, Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi Pendidikan. Shutterstock/EduLife Photos.
JAKARTA – Sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan pemerintah menggratiskan pendidikan dasar pada 27 Mei 2025, tak banyak terekam oleh masyarakat. Masyarakat terkesan lebih terpaku pada isu lain, seperti penambangan mineral di Raja Ampat. Istana juga menghelat rapat terbatas (ratas) tentang pertambangan di Geopark Raja Ampat yang menelurkan keputusan penghentian operasi empat pertambangan di kawasan itu.
Di tengah kondisi riuh akan isu Raja Ampat dan perebutan pulau antara provinsi istimewa Aceh dengan Sumatra Utara, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menyatakan, dalam proses menindaklanjuti putusan MK tersebut pihaknya melakukan koordinasi kepada kementerian-kementerian terkait. Termasuk Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sembari menunggu arahan dari Presiden Prabowo Subianto.
“Kami mulai mengadakan pembicaraan dengan Menteri Keuangan dan kementerian lain yang terkait, dan bagaimana nanti langkah selanjutnya tentu kami mengikuti arah dari Bapak Presiden,” kata Mu'ti usai kegiatan Penganugerahan Penghargaan Mendikdasmen di Jakarta pada Selasa (3/6) sore.
Sidang pada Selasa (27/5) di MK memang menjadi hal istimewa buat dunia pendidikan kita. Delapan hakim MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan pemohon terkait Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Majelis memutuskan pemerintah pusat dan daerah, harus menggratiskan pendidikan dasar yang diselenggarakan pada satuan pendidikan SD, SMP, dan madrasah atau sederajat, baik di sekolah negeri maupun swasta.
Dalam pertimbangan MK untuk Putusan Nomor: 3/PUU-XXII/2024 itu, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menilai negara memiliki kewajiban konstitusional untuk membiayai pendidikan dasar secara penuh sesuai dengan Pasal 31 ayat 2 UUD 1945. MK juga mengkritisi, selama ini pembiayaan wajib belajar hanya difokuskan pada sekolah negeri, padahal secara aktual banyak anak mengikuti pendidikan dasar di sekolah swasta.
MK juga menegaskan sekolah/madrasah swasta tidak dilarang sepenuhnya membiayai sendiri penyelenggaraan pendidikan dari peserta didik atau sumber lain selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Bantuan pendidikan bagi peserta didik yang bersekolah di sekolah swasta, tetap hanya dapat diberikan kepada sekolah/madrasah swasta yang memenuhi persyaratan atau kriteria tertentu berdasarkan peraturan yang berlaku.
Pembedaan Sekolah
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menyampaikan tujuan uji materi UU Sisdiknas itu karen layanan pendidikan di Indonesia masih belum berkeadilan. Terutama dengan adanya pembedaan hak anak sekolah negeri dengan sekolah swasta. Ini juga disebabkan angka anak putus sekolah yang tinggi akibat daya tempung sekolah negeri yang terbatas, juga mahalnya biaya sekolah swasta.
"Padahal sama-sama anak Indonesia, hak mereka dilindungi konstitusi, apalagi ada program Wajib Belajar 12 Tahun," ujar Ubaid kepada Validnews, Senin (16/6) di Jakarta.
Data yang dihimpun Validnews juga menyimpulkan hal sama. Pada 2024, ada sekitar 7.352 siswa SD di Bekasi yang tidak tertampung sekolah negeri dan mendaftar ke sekolah swasta. Sementara sekitar 4.000 siswa di Cimahi pada tahun 2023 pun tidak mampu ditampung di SMP negeri.
Ubaid meyakini sekolah swasta tidak akan mendapat kerugian atas putusan MK ini. Biaya sekolah tidak lagi ditanggung oleh orang tua siswa, melainkan pemerintah. Bahkan, problem siswa menunggak SPP dan biaya lain di sekolah swasta, bisa teratasi.
JPPI yakin, anggaran pendidikan pemerintah lebih dari cukup untuk melaksanakan putusan MK ini. Ubaid menyebut, alokasi anggaran pendidikan mencapai Rp724 triliun. Sedangkan, menurut dia untuk melaksanakan keputusan MK hanya dibutuhkan Rp375 triliun. “Bisa diterapkan untuk tahun ajaran baru 2025 tanpa pula menunggu revisi UU Sisdiknas yang masih disusun DPR,” ungkapnya.
Baca juga: Pemerintah Ungkap Sekolah Swasta Gratis Sulit Diterapkan Tahun Ini
JPPI berharap ada political will menjalankan putusan MK. Dia juga mendorong Presiden turun tangan dan tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada Kemendikdasmen.
Sebaliknya, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen), Atip Latipulhayat menyatakan tak sependapat dengan Ubaid. Namun, dia optimistis putusan MK diterapkan pada 2026.
"Cukup berat jika diterapkan tahun ini, karena tahun anggaran sudah berjalan setengah jalan," kata Atip.
Dia mengingatkan, putusan MK tidak sekadar soal menggratiskan tanpa mempertimbangkan aspek pembiayaan, mengingat semuanya sangat terkait dengan fokus anggaran yang dilakukan. Apalagi, lanjut Atip, hingga saat ini peraturan teknis menjalankan kebijakan tersebut, belum ada.
Soal besaran biaya, DPR punya perhitungan berbeda. Wakil Ketua Komisi X DPR, My Esti Wijayati memperkirakan kebijakan ini nantinya akan membutuhkan anggaran sekitar Rp132 triliun. Anggaran tersebut mencakup 20 juta siswa sekolah dasar (SD) dan 10 juta siswa sekolah menengah pertama (SMP).
Anggaran pendidikan berdasarkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2025 sebesar Rp724 triliun. Alokasi untuk Kemendikdasmen hanya Rp33,5 triliun sisanya transfer ke daerah.
"Begitu memungkinkan memberikan ruang supaya eksekusi terhadap putusan MK yang bersifat final dan mengikat ini bisa kita laksanakan," ujar Esti dalam keterangan tertulis, dikutip di Jakarta pada Senin (16/6) .
Oleh karena itu, lanjut dia, sekolah gratis untuk menindaklanjuti putusan MK belum dapat diterapkan pada 2025 tapi mulai tahun berikutnya. Politikus PDIP ini menjelaskan, pemerintah perlu menindaklanjuti putusan itu dengan menyusun implementasi kebijakan. Termasuk, soal standar dan kualitas pendidikan.

Soal biaya pendidikan, dikutip dari laman jendela.kemdikbud.go.id, Pasal 9 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyebut, pendidikan menjadi urusan pemerintahan pemerintah pusat dan daerah. Kewenangan urusan pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah.
Kewenangan urusan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah meliputi pendidikan anak usia dini, pendidikan nonformal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam lampiran UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah ini ada enam hal yang terbagi kewenangannya di bidang pendidikan. Keenam hal itu adalah manajemen pendidikan, kurikulum, akreditasi, pendidik dan tenaga kependidikan, perizinan pendidikan, serta bahasa dan sastra. Khusus untuk akreditasi, kewenangan hanya ada di pemerintah pusat.
Masalah perizinan izin pendirian satuan pendidikan juga diberikan kepada pemerintah daerah berdasarkan kewenangannya.
Untuk izin pendidikan menengah dan pendidikan khusus yang diselenggarakan oleh masyarakat, izin diberikan oleh pemerintah provinsi. Sementara untuk pendidikan izin pendidikan sekolah dasar, PAUD, dan nonformal, izin diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Setiap tahun, lebih dari 60% anggaran fungsi pendidikan yang mencapai 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dialokasikan untuk transfer daerah. Anggaran fungsi pendidikan itu disalurkan ke pemerintah daerah di seluruh Indonesia yang digunakan untuk kemajuan kualitas pendidikan di daerahnya.
Mengurangi Beban
Dewan Penasihat Forum Komunikasi Komite Sekolah dan Madrasah Nasional (FKKSMN), Herdianto Eko Putro menyampaikan madrasah swasta akan mendukung putusan MK. Menurut dia, kebijakan pendidikan dasar gratis akan membantu orang tua murid dalam situasi ekonomi saat ini.
Ia menyambut baik rencana pemerintah untuk menerapkan putusan MK terkait pendidikan dasar gratis. Menurut Eko, hal ini sejalan dengan tujuan UUD 1945 mencerdaskan kehidupan bangsa. Kendati demikian, di persepsinya, urusan kecerdasan kehidupan bangsa ini tidak cukup hanya dengan memberikan sekolah gratis. Diperlukan juga fasilitas sekolah yang berkualitas, termasuk kualitas guru.
Eko berharap, putusan MK ini akan memicu perbaikan sistem pendidikan di Tanah Air. Ada peningkatan kualitas pengajar dengan upah layak dan jam kerja yang sesuai. Keberhasilan pengajar atau pendidik itu bukan dilihat dari durasi jam kerja, tapi terletak pada seberapa banyak siswa-siswa memahami dan mampu menyerap ilmunya.
“Sehingga masyarakat bisa menerima siswa dengan baik saat mereka terjun ke masyarakat," ucap Eko.
Meski belum mendalami lebih jauh, Eko meyakini pemerintah akan lebih dulu memperhitungkan kebijakan ini agar tidak merugikan sekolah swasta. Apalagi, selama ini beberapa murid tidak mampu bisa dicover oleh KJP dan operasional sekolah dari dana BOS
"Saya belum konfirmasi secara mendalam. Tapi, angka-angka tidak merugikan sekolah swasta," papar Eko kepada Validnews, Senin (16/6) di Jakarta.
Hal senada diungkap Founder Sekolah Nol Rupiah dari Yayasan Sirojut Taqwa, Agus Suharyadi berharap ada kajian mendalam terlebih dulu agar para sekolah swasta tidak mengalami kerugian. Dia berharap, pemerintah akan memberikan bantuan. Dalam hitungannya, Rp100 ribu per murid dalam setiap bulan pun sudah sangat membantu biaya operasional sekolah, khususnya di sekolah-sekolah kabupaten.
"Baik sekali untuk meningkatkan gaji guru juga, fasilitas sekolah juga mungkin akan bertambah. Bagi kami ini kabar bahagia. Kebijakan sekolah gratis akan membuat sekolah swasta mendapat subsidi dari pemerintah," papar Agus kepada Validnews, Senin (16/6).
Baca juga: Banyak Kecamatan Tidak Punya SMA Negeri, Legislator Harap Pemda Gandeng Swasta
Sedang Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti menilai putusan MK ini akan berdampak pada sekolah sekolah swasta dalam skala menengah ke bawah. Dia memproyeksikan ini kecil dampaknya bagi sekolah swasta kelas menengah ke atas.
"Kalau dana BOS ditambah (ke sekolah swasta) besarannya mungkin tidak (rugi) ya. Harus dihitung dulu oleh perencana," ujar Retno kepada Validnews, di Jakarta, Senin (16/6)
FSGI lanjut dia, mencatat beberapa rekomendasi dalam penerapan pendidikan dasar gratis ini. Pertama, FSGI mendorong pemerintah kabupaten/kota di seluruh Indonesia untuk mulai menganggarkan pendidikan gratis SD dan SMP swasta dan negeri.
"Melalui mekanisme APBD secara bertahap setiap tahun anggarannya ditingkatkan sedikit demi sedikit," urai Retno.
Kedua, FSGI mendorong pemerintah pusat melalui (Kemenkeu) segera menyusun formulasi untuk mulai menganggarkan pendidikan gratis SD dan SMP swasta dan negeri melalui peningkatan besaran dana BOS dari APBN. Ketiga, mendesak pemerintah pusat mengevaluasi program MBG agar tepat sasaran di daerah-daerah tertentu yang memang membutuhkan makanan bergizi dari pemerintah.
Tujuannya agar dana program MBG yang besar dapat dialihkan untuk menambah dana BOS agar bisa mengratiskan pendidikan untuk jenjang SD dan SMP, baik di sekolah negeri maupun swasta.
Keempat, pemerintah daerah melakukan pemetaan dan pengkategorian sekolah swasta yang memang realistis digratiskan pemerintah. Dan, yang kelima, FSGI meminta pemerintah daerah menghitung biaya pendidikan per anak/tahun di sekolah swasta.
FSGI juga mendorong pemerintah pusat dan Pemda belajar dari kebijakan SPMB Bersama Sekolah Swasta yang diselenggarakan oleh Pemprov DKI Jakarta sejak tiga tahun lalu.
"Dimana anak-anak dari keluarga tidak mampu dibiaya masuk sekolah swsata, setiap sekolah swsta yang ikut SPMB bersama mendapatkan jatah 47-50 siswa yang dibiayai oleh APBD DKI Jakarta," kata Retno.