c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

11 Agustus 2025

08:47 WIB

Wamenkum Pastikan RKUHAP Melindungi Hak Setiap Orang

RKUHAP memuat aturan yang melindungi setiap orang dalam proses pidana.

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>Wamenkum Pastikan RKUHAP Melindungi Hak Setiap Orang</p>
<p>Wamenkum Pastikan RKUHAP Melindungi Hak Setiap Orang</p>

Ilustrasi-Dewi keadilan. Shutterstock/dok.

JAKARTA - Filosofi hukum acara pidana bukanlah untuk memroses tersangka, melainkan untuk melindungi hak asasi manusia (HAM) dari kesewenang-wenangan negara.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang sedang dibahas ini diformulasikan dengan sedemikian rupa agar tidak mengutamakan satu pihak dan meninggalkan pihak yang lain.

“Ketika berbicara mengenai hak korban, tersangka, perempuan, saksi, disabilitas, itu semua akan kita tampung karena pengarusutamaan dari filosofis hukum pidana tidak lain dan tidak bukan adalah untuk melindungi hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan individu,” urai Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej dikutip dari Antara di Jakarta, Minggu (10/8).

Hal tersebut disampaikannya saat menghadiri diskusi dan debat terbuka bersama advokat dan aktivis HAM Haris Azhar di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Sabtu (9/8).

Eddy mengungkapkan, dalam hukum acara pidana ada dua kepentingan yang bertentangan, yaitu pihak pelapor dan pihak terlapor. Namun, hukum acara pidana harus netral, dalam pengertian satu sisi ada kewenangan aparat penegak hukum, namun harus dikontrol supaya tak melanggar hak-hak asasi manusia.

Baca juga: Revisi KUHAP Memuat 10 Poin Perubahan

Usulan pemerintah, lanjut Wamenkum, untuk menyeimbang antara kewenangan polisi dan jaksa yang begitu besar, maka harus memperkuat dan memosisikan advokat sederajat dengan polisi dan jaksa.

Dalam RUU KUHAP, kata Eddy, advokat memainkan peran yang penting dan bersifat imperatif. Artinya, setiap orang yang diproses secara hukum wajib didampingi oleh advokat, mulai tahap penyelidikan. Advokat berhak mengajukan keberatan dan dicatatkan dalam berita acara pemeriksaan.

Peran advokat, lanjut dia, begitu sentral untuk mendampingi seseorang ketika dipanggil untuk dimintai klarifikasi atau keterangan pada tahap penyelidikan, wajib didampingi advokat. 

Advokat tidak hanya duduk diam di situ. Dia berhak mengajukan keberatan. Kedua, keberatan itu dicatatkan dalam berita acara sehingga penyelidikan itu akan terlihat oleh umum.

Sementara itu, Haris Azhar menyoroti judicial scrutiny atau yang ia sebut sebagai pengawasan terhadap kinerja aktor penegak hukum.

Menurut dia, sudah puluhan tahun hukum acara pidana Indonesia tidak digunakan secara profesional dan proporsional. KUHAP yang saat ini digunakan tidak ‘up to date’, baik dari sisi peristilahannya, konsep pidananya, hingga kurang kuatnya restorative justice. Maka momentum akan berlakunya KUHP yang baru, perlu diimbangi juga dengan KUHAP yang baru.

Ia juga mengusulkan pengungkapan kebenaran dimulai dari tahap penyelidikan. Maksudnya, sebuah laporan mengenai apakah suatu perkara dilanjutkan atau dihentikan, entah itu karena ketiadaan barang bukti atau karena termasuk restorative justice. Dan jika perkara itu telah selesai, maka laporan fakta atau kebenaran itu dapat menjadi pembelajaran.

“Harus berbasis kebenaran, ada truth yang diungkap, meskipun dia masih di penyelidikan, karena penyelidikan pun sudah makan duit negara,” usul Haris.

Menanggapi diskusi tersebut, Wamenkum mengakui bahwa KUHAP yang sementara berlaku lebih fokus pada kewenangan aparat penegak hukum, bukan pada pelindungan HAM.

Oleh sebab itu, RUU KUHAP disusun dengan prinsip due process of law yang menjamin dan melindungi hak-hak individu, serta memastikan aparat penegak hukum menjalankan aturan yang termuat di dalam KUHAP.

Eddy juga setuju akan perlunya pengungkapan kebenaran, sebagaimana yang disampaikan oleh Haris Azhar.

Menurut Eddy, pengungkapan kebenaran diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak. Dengan adanya laporan fakta, jika seseorang kedapatan melakukan tindakan pidana yang kedua kalinya, maka ia tidak bisa mendapatkan restorative justice lagi.

“Ada pembatasan pemberlakuan suatu perkara untuk dilakukan restorasi. Jadi tidak bisa seenaknya,” urai Eddy.

Wamenkum menyatakan, RKUHAP masih terbuka untuk diperdebatkan. Bahkan DPR berencana untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum untuk menerima aspirasi masyarakat. Kementerian Hukum pun melakukan inventarisasi masukan yang rinci dan jelas, mencakup pihak siapa yang memberikan masukan apa di tanggal berapa.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar