c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

14 Februari 2025

10:30 WIB

Walhi Urai Sebab Bencana Berulang di Sulsel

Bencana berulang di Sulsel menurut Walhi karena ada beragam sebab,

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>Walhi Urai Sebab Bencana Berulang di Sulsel</p>
<p>Walhi Urai Sebab Bencana Berulang di Sulsel</p>

Ilustrasi banjir di Soppeng, Sulawesi Selatan pada 2024. ANTARA FOTO/Hasrul Said/

MAKASSAR - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan (Sulsel) menguraikan penyebab bencana banjir dan longsor yang berulang di daerah itu karena kualitas lingkungan berkurang serta perusakan hutan secara masif.

"Hilangnya tutupan hutan di wilayah ini dipengaruhi beberapa faktor seperti masifnya izin pertambangan di wilayah hulu atau kawasan hutan, alih fungsi lahan, penebangan liar, serta pembangunan," ungkap Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik Walhi Sulsel Slamet di Makassar, Kamis (13/2) dikutip dari Antara.

Dia melanjutkan, catatan akhir tahun Walhi Sulsel, ada sekitar 362 kejadian bencana di seluruh kabupaten/kota se-Sulsel. Dari hasil kajian, Provinsi Sulsel sudah mengalami penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungannya.

Dalam 10 tahun terakhir, setidaknya angka kejadian bencana di Sulsel meningkat enam kali lipat. Pada 2014, tercatat hanya ada 54 kejadian angka bencana dan 2024 angkanya mencapai 362 kejadian.

Akibatnya, kerugian yang dialami oleh masyarakat Sulsel dari bencana tahun lalu mencapai lebih dari Rp1,95 triliun.

Beberapa penyebab dari kritisnya kondisi lingkungan yang ada di Sulsel, kata dia, karena tutupan hutan terus berkurang. Di Sulsel hanya memiliki luas tutupan hutan pada tahun 2023 sekitar 1.359.039 hektare atau hanya tersisa 29,70% dari luas provinsi.

Dengan luasan tutupan hutan yang hanya tersisa di bawah 30%, Sulsel dapat menjadi salah satu provinsi yang masuk dalam kategori kritis.

Hilangnya tutupan hutan di Sulsel dalam jumlah yang masif tiap tahunnya berbanding lurus dengan kritisnya Daerah Aliran Sungai (DAS) yang tersebar di berbagai daerah.

Tercatat, dari 139 DAS yang ada di Sulsel, hanya sekitar 38 DAS yang masuk dalam kategori sehat karena memiliki tutupan hutan di atas 30 persen. Sedangkan sisanya, sebanyak 101 DAS atau 72,6 persen DAS mengalami kritis.

Bila dihubungkan dengan kejadian banjir dan longsor yang terjadi sejak kemarin di tiga daerah di Kabupaten Maros, Gowa dan Kota Makassar tercatat dari data BPBD sebanyak ribuan keluarga terdampak pada belasan kecamatan, itu adalah akumulasi kerentanan ekologi yang setiap tahun semakin meningkat.

"Selain intensitas hujan dan air pasang yang membuat aliran air di sungai tidak langsung menuju ke lepas pantai. Secara hidrologi hal ini berakibat pada meluapnya sungai-sungai di dua DAS yakni Maros dan Tallo," urai dia.

Masalah lainnya adalah wilayah resapan air yang semakin terbatas, drainase yang buruk, dan tutupan hutan di dua DAS ini semakin berkurang. Bahkan DAS Maros saja menunjukkan bahwa dalam 30 tahun terakhir luas hutannya mengalami penurunan sebesar 1.057,90 ha.

Dengan kejadian bencana terus berulang tiap tahun, Walhi Sulsel mengimbau agar pencegahan dan penanganan bencana sudah harus dilakukan secara holistik dan pendekatannya berbasis bentang alam.

"Sudah seharusnya pemerintah memikirkan ulang serta merumuskan konsep pencegahan dan penanganan yang tidak dibatasi wilayah administratif melainkan sudah harus berbasis bentang alam. Pemerintah diminta monitoring, evaluasi, dan menindak tegas para pelaku usaha yang merusak dan memperparah kondisi lingkungan," tutur dia.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar