16 Januari 2025
11:44 WIB
Wacana Sekolah Rakyat, JPPI Nilai Kembali Ke Era Kolonial
Sekolah Rakyat diterapkan di era kolonial sebagai sarana kebijakan pembedaan kelas masyarakat.
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi anak-anak di sekolah. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso.
JAKARTA - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengatakan, rencana kebijakan sekolah unggulan dan sekolah rakyat mirip dengan kebijakan pendidikan di era kolonial, ketika sekolah terbagi menjadi sekolah khusus anak penjajah, sekolah khusus pribumi, sekolah untuk ningrat, dan sekolah untuk rakyat.
Kini, sekolah unggulan dan sekolah rakyat, yang menurut JPPI, sekolah menjadi institusi yang eksklusif dan hanya bisa dihuni berdasarkan kelas sosial ekonomi tertentu.
"Kita ini sudah merdeka, mengapa sistem kasta dan segregasi era kolonial kita praktikkan dan tanamkan kembali di sekolah-sekolah," papar Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, melalui keterangan yang diterima, Kamis (16/1).
Dia menjelaskan, ada beberapa masalah yang akan muncul jika kebijakan ini dipaksakan. Pertama, sekolah unggulan berpotensi melanggar konstitusi. Pasalnya, pada 2013 Mahkamah Konstitusi (MK) pernah membubarkan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang merupakan sekolah unggulan. MK menyebut RSBI bertentangan dengan semangat UUD 1945, yakni layanan pendidikan harus berkeadilan dan dapat diakses semua anak.
Kedua, sekolah unggulan dan sekolah rakyat akan melanggengkan ketimpangan kelas. Sebab, anak dari keluarga miskin terus terperangkap dalam siklus ketidaksetaraan, sedangkan anak dari keluarga mampu mendapat keuntungan besar dari sekolah unggulan. Hal ini turut memperparah kesenjangan kualitas pendidikan.
Ketiga, diskriminasi dalam layanan pendidikan akan muncul karena ada pemisahan siswa berdasarkan latar belakang sosial ekonomi. Ubaid menyebut, saat ini pun dengan model sekolah dan madrasah sudah ada pembedaan layanan pendidikan, baik bagi murid maupun guru.
"Apalagi ada model sekolah baru lagi, pasti menambah daftar masalah diskriminasi dalam pelayanan pendidikan," tambah dia.
Keempat, lanjut Ubaid, penamaan sekolah rakyat untuk anak miskin memunculkan stigma negatif terhadap siswa sekolah itu. Stigma ini berpengaruh pada kepercayaan diri, prestasi siswa, dan persepsi teman sebaya. Stigma ini juga memperkuat stereotipe yang semakin memarjinalkan anak miskin.
Oleh karena itu, terkait kebijakan ini dia meminta pemerintah melakukan pemerataan mutu sekolah berbasis data. Dengan begitu, gagasan sekolah unggulan bisa diterapkan merata untuk seluruh rakyat.
"Semua rakyat adalah berprestasi dan tugas pemerintah adalah menyediakan sekolah yang inklusif dan berkualitas unggulan untuk semuanya," tutup Ubaid.