19 Desember 2024
20:13 WIB
UU PPMI Belum Lindungi Perempuan Pekerja Migran
Implementasi UU PPMI belum melindungi perempuan pekerja migran karena masih menjadi korban eksploitasi.
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi perempuan calon pekerja migran sedang menerima pembekalan dari pemerintah. kemenpppa.go.id.
JAKARTA Anggota Komnas Perempuan Tiasri Wiandani mengatakan implementasi Undang-Undang (UU) Nomor. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI), belum melindungi perempuan pekerja migran.
“Jika dicermati, implementasi UU PPMI masih belum optimal dan mengalami banyak tantangan, khususnya bagi perempuan PMI sebagai kelompok pekerja dengan tingkat kerentanan yang sangat tinggi,” ungkap Tiasri dalam keterangan yang diterima, Kamis (19/12).
Tiasri menjelaskan, hingga saat ini PMI masih mengalami berbagai bentuk eksploitasi, kekerasan, dan menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan ancaman hukuman mati di luar negeri. Pernyataan itu menurut dia berkaca pada data Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) hingga Juni 2024, ada 165 orang Warga Negara Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri.
PMI juga saat ini kerap menjadi korban kerja paksa dan perekrutan ilegal serta berbagai eksploitasi dan kekerasan yang dihasilkan dari kerentanan termasuk akibat berstatus PMI non prosedural. CATAHU 2023 juga mencatatkan total jumlah pengaduan kasus Perempuan PMI sebanyak 391 pengaduan ke Focal Point for Labour (FPL), Komnas Perempuan, dan 217 dari lembaga lainnya.
Sementara itu, kasus-kasus yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan juga lebih banyak adalah perempuan yang berstatus PMI non prosedural di wilayah Timur Tengah. Dalam laporan pemantauan penampungan perempuan Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI), juga masih ditemukan kekerasan berbasis gender (KBG) pada perempuan PMI serta kekerasan seksual misalnya pemaksaan kontrasepsi.
“Kerentanan ini tampaknya memiliki keterkaitan dengan kebijakan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 yang telah mendorong lonjakan PMI non prosedural,” ujar Tiasri.
Dia mengharapkan agar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengeluarkan klaster ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja dengan membuat ketentuan ketenagakerjaan baru mengenai pekerja migran Indonesia. Mengingat pengaturan ketenagakerjaan baru mengenai pekerja migran Indonesia harus menguatkan pelindungan, mencegah impunitas pelaku yang meningkatkan kerentanan perempuan PMI mengalami eksploitasi dan kekerasan.
“Mengingat UU Cipta Kerja memuat pasal yang berpotensi melonggarkan pengawasan dan perizinan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang sej menjadi salah satu aktor yang turut berkontribusi signifikan dalam sengkarut eksploitasi dan kekerasan terhadap pekerja migran,” sebut Tiasri.