c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

04 Juli 2025

18:45 WIB

UU KSDAHE Belum Akomodir Hak Masyarakat Adat, Kawasan Hutan Terancam

Kepunahan beberapa jenis makhluk hidup di Indonesia diamati Walhi justru mulai terjadi sejak pemerintah memisahkan masyarakat adat dengan wilayahnya

Penulis: Aldiansyah Nurrahman

Editor: Nofanolo Zagoto

<p>UU KSDAHE Belum Akomodir Hak Masyarakat Adat, Kawasan Hutan Terancam</p>
<p>UU KSDAHE Belum Akomodir Hak Masyarakat Adat, Kawasan Hutan Terancam</p>

Dua masyarakat adat menyiapkan persembahan pada tradisi Ngertakeun Bumi Lamba di Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Parahu, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Minggu (23/6/2024).Antara Foto/Raisan Al Farisi/


JAKARTA - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menjelaskan UU Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) belum mengakomodir pengakuan hukum terhadap keberadaan dan hak masyarakat adat di kawasan konservasi. Hal ini bisa mengancam kawasan hutan Indonesia.

Direktur Eksekutif Walhi Zenzi Suhadi menyampaikan UU KSDAHE seharusnya tidak hanya memastikan konservasi satuan tumbuhan dan komponen abiotik dalam suatu wilayah, tetapi juga konservasi hak dan peradaban manusia, termasuk masyarakat adat, yang terhubung, terikat, dan menjaga ekosistem tersebut.

Dia mengungkapkan, kepunahan beberapa jenis makhluk hidup di Indonesia justru mulai terjadi sejak pemerintah memisahkan masyarakat adat dengan wilayahnya. Pasalnya, kapasitas pemerintah tidak akan sanggup menjaga kawasan hutan Indonesia.

“Tahun 2013 kami mencatat, dari 17 juta hektare (ha) hutan Indonesia yang rusak dalam kurun waktu lima tahun, negara itu cuma bisa menegakkan hukum itu di 17 ribu ha. Artinya, kapasitas negara menjaga hutan Indonesia itu hanya 0,1% dari wilayah yang diklaimnya,” jelasnya, dalam diskusi di kawasan Mampang, Jakarta, Jumat (4/7).

Berangkat dari hal ini, menurutnya, seharusnya UU KSDAHE itu seharusnya mengakui hak mengembangkan kebudayaan masyarakat adat dalam suatu wilayah ekosistem.

Zenzi mengatakan, seharusnya dalam konsiderans UU KSDAHE, tidak dimasukkan Pasal 21 UUD, tetapi Pasal 18B Ayat 2 UUD.

Adapun bunyi Pasal 18B Ayat 2 yakni, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam UU.

“Menurut saya cacat ideologis dan konstitusional perubahan UU KSDAHE ini dalam pertimbangan perubahannya. Pertimbangan perubahan dalam UU KSDAHE ini hanya ditambahkan soal kewenangan DPR,” jelasnya.

Di kesempatan lain, Knowledge Management Working Group ICCA Indonesia, Lasti Fardilla Noor, mengatakan, UU Nomor 32 Tahun 2024 KSDAHE tidak terlepas dari UU KSDAHE sebelumnya, UU Nomor 5 Tahun 1990 yang belum mengakui peran masyarakat adat sebagai aktor utama konservasi. 

Padahal secara empiris praktik konservasi yang dilakukan masyarakat adat dan komunitas lokal secara turun temurun sangat mencerminkan praktik konservasi yang holistik, adil, dan lestari. Karena itu, perubahan terhadap UU ini menjadi fokus advokasinya sejak 2016.

“UU Nomor 32 Tahun 2024, alih-alih menjadi payung hukum konservasi yang lebih inklusif dan mengakomodasi hak-hak masyarakat adat serta komunitas lokal, justru mengandung substansi yang membuka celah lebih besar bagi perampasan ruang hidup dan hak-hak mereka,” ujarnya, Rabu (7/5).

Hal itu, kata Lasti, tercermin dalam sejumlah pasal bermasalah, salah satunya terkait pemanfaatan jasa lingkungan untuk kepentingan geothermal  dan karbon.

Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga mengatakan, terdapat banyak pasal-pasal bermasalah dalam UU Nomor 32 Tahun 2024. Ini berpotensi besar mengeksklusi masyarakat adat dari wilayahnya.

Menurutnya, antara lain pasal 8 ayat 4 dan 5 yang mengatur pembagian areal preservasi. Areal preservasi bisa dari kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi, dan areal penggunaan lain (APL).

“Pada pasal 9 ayat 2 menyatakan bahwa setiap orang pemegang hak atas tanah di areal preservasi tidak bersedia melakukan kegiatan KSDAHE harus melepaskan hak atas tanah dengan mendapatkan ganti rugi,” pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar