31 Maret 2023
20:30 WIB
Editor: Rikando Somba
JAKARTA –Tata kelola pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) saat ini menjadi tidak efisien. Ini disebabkan data kesehatan pribadi yang tidak terintegrasi, tidak akurat dan memiliki interoperabilitas yang rendah akibat administrasi kesehatan yang tidak efisien. Karenanya, hal ini harus dibenahi. Sistem informasi kesehatan ini sedianya diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Tujuannya, untuk efisiensi biaya hingga keamanan pengguna.
"Sistem informasi kesehatan penting diatur dalam RUU Kesehatan. Dalam undang-undang sebelumnya, memang sudah diatur, tapi belum secara spesifik terkait integrasi, standarisasi, termasuk perlindungan data pribadi," kata Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan Kemenkes (Kemenkes) RI Setiaji dalam agenda Sosialisasi RUU Kesehatan di Jakarta, Jumat (31/3).
Menurutnya, substansi transformasi sistem kesehatan dalam RUU Kesehatan adalah mendorong pemanfaatan teknologi dan sistem informasi kesehatan untuk mewujudkan efisiensi pelayanan kesehatan. Yang menjadi pihak penyelenggara sistem informasi kesehatan, menurut dia, adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, fasyankes, dan masyarakat.
Setiaji mengemukakan, tata kelola data secara digital untuk efisiensi pelayanan kesehatan amat diperlukan. Apalagi, jumlah kunjungan pasien di seluruh fasyankes selama 2014-2021 meningkat sekitar 152%. Peningkatannya setara 233,1 juta orang.
Selain itu pengelolaan rekam medis pasien secara manual memerlukan biaya mencapai Rp2 miliar per tahun untuk pengadaan kertas yang dikeluarkan rumah sakit tipe C. "Biaya tersebut belum termasuk beban tidak efisien pada tenaga kesehatan," katanya, dikutip dari Antara.
Dari peningkatan itu, petugas puskesmas atau rumah sakit perlu memasukkan informasi kesehatan ke dalam 60 hingga 70 sistem informasi per hari.
"Tata kelola pelayanan kesehatan di fasyankes saat ini menjadi tidak efisien. Data kesehatan pribadi yang tidak terintegrasi, tidak akurat dan memiliki interoperabilitas yang rendah akibat administrasi kesehatan yang tidak efisien," katanya.

Data Terpencar
Dia juga menyebutkan alasan lain perlunya data kesehatan diatur. Karena riwayat kesehatan pribadi warga biasanya terpencar di berbagai pelayanan kesehatan yang pernah diakses.
Setiaji mengatakan RUU Kesehatan mengatur sumber informasi sistem kesehatan berasal dari fasyankes, pemerintah, BPJS, instansi kesehatan, kegiatan masyarakat, hingga pelaporan mandiri. "Bagaimana kami menjamin hak subjek data pribadi, kapan waktu disimpan, apakah boleh dihapus, bagaimana kondisi data itu bisa dihapus, dan bagaimana data itu tersedia setiap saat, dan dijamin keamanannya," kata Setiaji.
Hal sama dikemukakan Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kemenkes RI Syarifah Liza Munira. Dia menguraikan, lewat UU itu, pemerintah Indonesia ingin mewujudkan digitalisasi sistem kesehatan dan inovasi teknologi.
Liza mengatakan rendahnya inovasi kesehatan berdampak pada tingginya angka importasi hasil teknologi kesehatan, diantaranya impor bahan mentah obat yang mencapai 90% per tahun 2019. Selain itu, lanjutnya, 88% transaksi alat kesehatan di katalog elektronik masih berupa impor, serta Produk Domestik Bruto (PDB) untuk riset dan pengembangan pada 2020 baru berkisar 0,3 %.
Ia mengatakan substansi pembahasan dalam RUU Kesehatan meliputi penyelenggaraan dan mengintegrasikan sistem informasi kesehatan, menyajikan dan menjamin perlindungan data kesehatan individu yang berkualitas dan terstandar. Substansi lainnya adalah membangun kerja sama antara klinis, peneliti, dan industri, untuk menciptakan inovasi kesehatan, serta mendorong pemanfaatan teknologi kesehatan, termasuk teknologi biomedis yang terintegrasi.
Liza mengatakan pemanfaatan teknologi kesehatan untuk menyelesaikan permasalahan seperti skrining pencegahan penyakit, diagnosis yang akurat, hingga pengobatan yang tepat.