08 Mei 2025
15:50 WIB
UU BUMN Diprediksi Buat Korupsi Di BUMN Makin Menjamur
Berdasarkan catatan ICW, dari 2016-2023, setidaknya terdapat 212 kasus korupsi yang terjadi di lingkungan BUMN dan telah ditindak oleh aparat penegak hukum
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Nofanolo Zagoto
Ilustrasi korupsi. Shutterstock/Pixel-Shot
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) memprediksi UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membuat korupsi di BUMN makin menjamur.
Peneliti ICW, Yassar Aulia mengatakan, UU ini tidak hanya akan membuat korupsi di lingkungan BUMN semakin marak, tetapi juga berpotensi untuk tidak dapat ditindak lagi oleh aparat penegak hukum.
Hal itu didasari Pasal 4B yang menyatakan kerugian BUMN bukan lagi merupakan kerugian negara, serta Pasal 9G yang mengatur bahwa anggota direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan lagi masuk dalam kategori penyelenggara negara.
Dia mengungkapkan, kasus korupsi yang terjadi di dalam BUMN tercatat sangat banyak jumlahnya setiap tahun. Berdasarkan catatan ICW, dari 2016-2023, setidaknya terdapat 212 kasus korupsi yang terjadi di lingkungan BUMN dan telah ditindak oleh aparat penegak hukum.
Dari 212 kasus korupsi tersebut, negara telah merugi setidaknya sekitar Rp64 triliun. Secara latar belakang, terdapat 349 pejabat BUMN yang pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.
Secara lebih spesifik, ada 84 tersangka yang dapat dikategorikan sebagai “direktur,” 124 tersangka yang dapat dikategorikan sebagai “pimpinan menengah atau middle management”, dan 129 tersangka yang dapat dikategorikan sebagai “pegawai/karyawan” di BUMN.
Hampir seluruh kasus korupsi di lingkungan BUMN tersebut, kata Yassar, berhasil terungkap berkat keberadaan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Salah satu unsur pembuktian dari dua pasal tersebut adalah adanya kalkulasi kerugian keuangan negara untuk mengidentifikasi keberadaan peristiwa korupsi.
Pasca-revisi UU BUMN, lanjut Yassar, kerugian keuangan yang muncul dari BUMN tidak lagi dianggap sebagai kerugian keuangan negara.
“Dengan demikian, akan semakin sulit ke depan bagi aparat penegak hukum untuk dapat menindaklanjuti dugaan-dugaan korupsi yang terjadi di BUMN akibat kehilangan salah satu acuan hukum untuk membuktikan salah satu unsur tindak pidana korupsi,” ujarnya, dalam keterangan tertulis, Kamis (8/5).
Di UU Tipikor, jenis-jenis tindak pidana korupsi lainnya memerlukan adanya keterlibatan penyelenggara negara atau pegawai negeri, sehingga apabila di kemudian hari terdapat korupsi yang melibatkan jajaran direksi atau komisaris semata, UU Tipikor menjadi tidak dapat digunakan sama sekali untuk mengusut dugaan tindak pidana korupsi.
“Pemerintah bersama dengan DPR seakan memberikan karpet merah untuk mengundang hadirnya kejahatan sempurna korupsi di tubuh BUMN. Sebab, jangankan untuk menyelidiki kasus korupsi, rasanya menjadi hampir mustahil untuk bahkan mendeteksi dugaan kasus korupsi yang terjadi di internal BUMN pasca diberlakukannya Pasal 4B dan 9G dari UU BUMN terbaru,” ujar Yassar.
Ketidakpastian Hukum
Peneliti ICW, Erma Nuzulia mengatakan, UU BUMN juga mereduksi definisi “penyelenggara negara” yang ada dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Dalam Pasal 2 angka 7 UU itu disebutkan bahwa penyelenggara negara meliputi pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara.
Kemudian, Penjelasan Pasal 2 angka 7 menyebutkan bahwa direksi, komisaris, dan pejabat struktural lain pada BUMN dan BUMD merupakan penyelenggara negara, sehingga, UU BUMN seolah-olah melompati UU yang sudah ada sebelumnya.
Selain itu, UU BUMN juga yang menyebutkan bahwa keuntungan atau kerugian BUMN bukan keuntungan atau kerugian negara merupakan hal yang kontradiktif dengan definisi dan lingkup keuangan negara dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Erma menyebut kontradiksi semacam ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, UU BUMN tidak mencabut pasal-pasal yang sudah ada sebelumnya, yakni UU Keuangan Negara dan UU Penyelenggara Negara Bebas KKN.
“Kendati demikian, Mahkamah Konstitusi (MK) seharusnya dapat secara tegas untuk menyatakan bahwa UU BUMN dibuat tidak dalam koridor pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai amanat konstitusi tentang partisipasi publik. Oleh sebab itu, MK memiliki dasar yang kuat untuk membatalkan UU BUMN secara keseluruhan,” pungkas Erma.