14 Agustus 2025
19:29 WIB
Upaya Menghijaukan Mal Di Kota Besar
Mal atau pusat perbelanjaan tak lagi dilirik sekadar untuk belanja. Kebutuhan untuk bersosialisasi dan hiburan jadi alasan warga untuk mengunjungi mal.
Penulis: Gisesya Ranggawari, Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
Sekelompok ibu-ibu sedang berpose di taman yang ada di mal Ashta District 8, Jakarta Selatan, Selasa (12/08). Validnews.ID/Hasta Adhistra.
JAKARTA – Magnet Taman Ria Senayan pada era 1990-an begitu kuat bagi warga Jakarta. Banyak warga ibu kota sengaja mengunjunginya untuk menikmati waktu luang mereka di pusat rekreasi keluarga itu. Namun pamornya kian meredup karena persoalan internal dan diguncang rencana pembangunan mal.
Kemudian, Taman Ria Senayan yang ada di lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) tinggal riwayat dan tutup pada 2010.
Rencana pengelolaan kelanjutan Taman Ria Senayan pun sempat diwarnai sengketa antara pengembang dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Belakangan Taman Ria Senayan berubah wajah menjadi pusat perbelanjaan.
Ya, pada 2021, pusat perbelanjaan Senayan Park mulai berdiri gagah di lahan yang dulunya dikenal sebagai Taman Ria Senayan. Di sisi lain, pengembang tidak mengubah area danau dan pohon-pohon di sekitar area mal bekas taman itu.
Tak jauh dati sana, Mal Taman Anggrek (MTA) juga dibangun di atas RTH yang beralih fungsi. Pembangunannya jauh sebelum Senayan Park berdiri.
Sebelumnya, lahan itu merupakan Hutan Kota Tomang yang merupakan RTH historis dalam rencana induk lama Jakarta, kemudian beralih menjadi kompleks komersial, termasuk MTA dan apartemen di sekitarnya.
Polemik dan kontroversi pembangunan MTA di atas RTH ini pum mencuat lagi saat banjir 2020. Banyak yang menuding pembangunan mal di atas RTH menimbulkan dampak ekologis yang cukup besar.
Antara menjaga fungsi RTH dan pembangunan mal menjadi buah simalakama. Sebab, pemerintah tetap mesti menjaga RTH untuk publik, namun di sisi lain juga memerlukan pemasukan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pembangunan, termasuk mal.
Padahal, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur tentang RTH (Ruang Terbuka Hijau) telah mengamanatkan ketentuan paling sedikit 30% dari luas wilayah kota harus merupakan RTH yang terdiri dari RTH publik 20% dan RTH privat 10%.
Peraturan tersebut diperkuat dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Evolusi Fungsi
Saat banyak mal sudah berdiri tegak, kini muncul fenomena mal kosong di Jakarta dan daerah penyangganya. Head of Research Colliers Indonesia Ferry Salanto mengutarakan, survei kuartal II 2025 menunjukkan di Jakarta, tingkat hunian mal hanya 73,4%. Sementara, dari total pasok ruang pusat perbelanjaan seluas 4,95 juta meter persegi (m2), sekitar 131,67 hektare (ha) ruang mal yang kosong. Luasannya setara dengan ratusan lapangan sepak bola.
Kondisi mal di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) menurut survei itu malah dengan tingkat hunian 68,3%. Dari total pasok ritel 3,27 juta m2, luas mal kosong di Bodetabek mencapai 103,6 ha.
“Pasok ritel di Jakarta dan Bodetabek hanya tumbuh sekitar dua persen dibandingkan 2024, tanpa ada tambahan mal baru hingga akhir 2025,” urai Ferry awal Juli 2025.
Dia menilai, fenomena mal kosong itu tak lepas dari dari pergeseran fundamental pola belanja konsumen.
"Masyarakat kini cenderung mengunjungi mal bukan hanya untuk berbelanja kebutuhan pokok, tetapi lebih untuk memenuhi hobi dan gaya hidup," cetus Ferry pada Rabu (9/7/2025).
Beberapa peritel F&B bahkan menjadi pendorong utama peningkatan tingkat hunian di mal-mal tertentu. Ini menunjukkan bahwa pengalaman bersantap dan berkumpul menjadi daya tarik utama.
Ferry menyarankan, agar tetap kompetitif, mal didorong untuk terus memperbaiki bauran penyewa.
"Pemilik mal harus mencari peritel dan merek yang benar-benar mampu menarik pengunjung, bukan hanya sekadar mengisi ruang," tambah Ferry.
Mal juga perlu menghadirkan tenant yang menawarkan pengalaman unik, bukan sekadar produk. Selain itu, pengembang saat ini harus lebih cenderung untuk merenovasi atau meremajakan mal yang sudah ada ketimbang membangun mal baru. Ini adalah upaya adaptasi terhadap perubahan preferensi pasar yang lebih menyukai inovasi pada properti eksisting daripada penambahan pasok baru.
Hasil survei itu diamini Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja. Dia menyebutkan pengembang mal menyadari fungsi utama pusat perbelanjaan bukan lagi hanya sekadar sebagai tempat berbelanja saja, terutama bagi pusat perbelanjaan yang berlokasi di kota-kota besar.
Setelah masa covid-19 usai, masyarakat mencari interaksi sosial secara langsung. Menurut Alphonzus, salah satu fasilitas publik untuk tempat masyarakat melakukan interaksi sosial tersebut adalah pusat perbelanjaan atau mal.
“Jadi taman atau RTH yang ada di mal bisa saja menjadi magnet pengunjung sekarang, tapi bukan merupakan jaminan karena sangat tergantung juga dengan konsepnya seperti apa,” kata Alphonzus kepada Validnews, Rabu (13/8) di Jakarta.
Dia menjelaskan, salah satu program pengembangan industri usaha pusat perbelanjaan Indonesia adalah menuju Sustainable Shopping Mall (pusat perbelanjaan yang berkelanjutan).
Program Sustainable Shopping Mall menurut Alphonzus bisa dicapai melalui lima pokok kegiatan, yaitu model bangunan mal yang mengusung konsep green architecture. Kemudian, yang mengedepankan efisiensi dan daur ulang energi. Lalu, digitalisasi operator, eco-friendly bagi para pengunjung dan menggerakan inisiatif hijau yang berkaitan dengan lingkungan.
“Perihal RTH, semua sudah ada peraturannya, setiap wilayah memiliki ketentuan masing-masing yang belum tentu sama satu dengan lainnya. Pusat perbelanjaan tidak bisa menentukan secara sepihak perihal semua yang terkait dengan RTH,” beber dia.
Pemenuhan RTH
Direktur Jenderal Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Suyus Windayana menegaskan, setiap pembangunan mal juga mesti mengacu pada persentase Koefisien Dasar Hijau (KDH). Akronim ini mengacu pada perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dengan luas persil/kavling.
Dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) daerah, pembangunan mal biasanya masuk dalam pola ruang Zona Perdagangan Jasa atau Zona Campuran.
Dalam RDTR tersebut, KDH pada Zona Perdagangan dan Jasa ditetapkan sebesar minimal 20%. Artinya, jika ingin membangun mal di atas lahan itu, maka master plan mal harus memuat rencana KDH dengan luas minimal 20% dari total area mal tersebut.
Sedangkan, untuk daerah yang belum memiliki RDTR, pengaturan terkait KDH dan intensitas pemanfaatan ruang lainnya mengacu pada Ketentuan Umum Zonasi/Ketentuan Umum Peraturan Zonasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
“Pertimbangan penentuan besaran KDH minimum pada umumnya memperhatikan tingkat pengisian atau peresapan air dan kapasitas drainase masing-masng daerah,” kata Suyus kepada Validnews, Selasa (12/8) di Jakarta.
Suyus melanjutkan, selain melihat luasan RTH yang dipersyaratkan dalam master plan, Permen ATR/Kepala BPN Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau juga memberikan kemudahan bagi semua pihak dalam memberikan kontribusi penyediaan RTH.
Rencana penyediaan RTH dilakukan berdasarkan pendekatan Indeks Hijau Biru Indonesia (IHBI). Yaitu, perhitungan RTH berdasarkan pembobotan, faktor hijau-biru Indonesia, dan bonus elemen. Bonus elemen adalah elemen lanskap yang diperhitungkan sebagai angka penambah RTH atau memberikan tambahan luas terhadap RTH.
“Bonus elemen tersebut seperti perkerasan tidak berpori seperti beton dan aspal, aspal berpori, paving block, beton berpori dan lain-lain,” ungkap Suyus.
Dalam pendekatan IHBI ini terdapat beberapa tipologi RTH yang tidak hanya mempertimbangkan tutupan hijau konvensional. Tetapi juga mempertimbangkan keberadaan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH), badan air, hingga objek ruang berfungsi RTH. Seperti, taman atap hingga taman dalam kontainer (pot) sebagai bagian dari perhitungan pemenuhan RTH.
Pengaturan pemenuhan RTH di lingkungan mal juga tertuang dalam dokumen Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) dan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagai persyaratan dasar perizinan berusaha.
Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Pengawasan Penataan Ruang, disebutkan bahwa Pengendalian Pemanfaatan Ruang dilakukan melalui salah satunya penilaian KKPR. Penilaian pelaksanaan KKPR dilaksanakan untuk memastikan kepatuhan pelaksanaan ketentuan KKPR dengan menilai kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang pada lokasi kegiatan dengan ketentuan yang termuat dalam dokumen KKPR.
Bila hasil penilaian pasca pembangunan ditemukan ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang termuat dalam dokumen KKPR, Suyus memastikan akan ada sanksi administratif.
RTH Makin Kecil
KLHK dan Bappenas mencatat, rata-rata kota besar belum memenuhi target RTH minimal 30% sesuai dengan amanat UU Nomor 26 Tahun 2007. Di DKI Jakarta misalnya, pada tahun 2023 RTH yang tersisa hanya sekitar 9–10%, padahal tahun 2014 masih sekitar 13%.
Di Surabaya, RTH publik pernah mencapai 21% pada 2018, tapi beberapa titik berkurang akibat alih fungsi untuk proyek komersial dan infrastruktur.
Menurut data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2019, hanya 13 dari 174 kota di Indonesia yang telah mengikuti Program Kota Hijau dan memiliki porsi RTH sebesar 30% atau lebih. Hal ini berarti, hanya sekitar 6% kota yang memenuhi standar RTH yang ditetapkan.
Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur WALHI, Dwi Sawung menilai tren pembangunan mal turut berkontribusi mengurangi luasan wilayah RTH. Mayoritas, hal ini terjadi karena adanya alih fungsi lahan, dari RTH ke bangunan komersial seperti mal.
“Contohnya di Kabupaten Bekasi, mal dibangun di zona hijau, kemudian Taman Anggrek, Kelapa Gading, Lippo Mall. Itu kan harusnya enggak boleh, makanya enggak aneh kalau daerahnya banjir. Sayangnya, contoh buruk ini ditiru di daerah lain,” kata Sawung kepada Validnews, Rabu (13/8) di Jakarta.
Dia menjelaskan, RTH berfungsi untuk menyerap air dan menghambat laju air. Dengan meningkatnya pembangunan yang mengesampingkan RTH, maka laju air tidak terserap yang kemudian menyebabkan banjir.
“Kalau semuanya dibangun kan jadi enggak ada kolam retensinya. Jadi kalau hujan sebentar langsung banjir gitu,” cetus Sawung.
Menurut pengamatan Sawung, luasan RTH di kota-kota semakin menipis karena pembangunan. Bahkan, RTH yang tadinya full taman dibetonisasi yang membuat fungsi RTH berkurang.
Ia berharap, sisa RTH yang ada saat ini tidak diganggu lagi oleh pembangunan. Menurut dia, pembangunan mesti difokuskan pada grey atau brown area, jangan di green area yang merupakan kawasan hijau.
Sawung mencontohkan, pembangunan yang baik seperti M-Bloc Space yang memanfaatkan bekas gedung Peruri dan disulap jadi public space. Menurutnya, tidak lah susah bagi pemilik mal dan pemerintah membuatnya.
“Harusnya modelnya kayak begitu. Jadi dia enggak mengurangi RTH yang ada. Tapi menghidupkan yang sudah mati,” ucap Sawung.