20 Agustus 2025
16:43 WIB
Uang Suap Hakim Kasus CPO Sebesar Rp40 Miliar
Uang suap dari korporasi terdakwa korupsi CPO membuat majelis hakim memutuskan ontslag.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi Korupsi. Shutterstock/Pixel-Shot.
JAKARTA - Penuntut umum Kejaksaan Agung (Kejagung) Syamsul Bahri Siregar mengungkapkan, total uang yang diterima dalam kasus dugaan suap terhadap putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada tahun 2023-2025 sebesar US$2,5 juta atau Rp40 miliar.
Penuntut umum menguraikan, uang suap diduga diterima Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan, beserta tiga hakim yang menyidangkan kasus tersebut, yakni Ketua Majelis Hakim Djumyanto dan anggota majelis hakim Ali Muhtarom dan Agam Syarief Baharudin.
"Uang tersebut diterima dari Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Syafei selaku advokat atau pihak yang mewakili kepentingan terdakwa korporasi pada kasus CPO, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group," kata penuntut umum dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (20/8).
Uang suap yang diterima Arif, Wahyu, serta ketiga hakim lainnya diterima sebanyak dua kali. Pertama berupa uang tunai US$500 ribu setara Rp8 miliar. Arif menerima Rp3,3 miliar; Wahyu Rp800 juta; Djuyamto Rp1,7 miliar; serta Agam dan Ali masing-masing Rp1,1 miliar.
Kali kedua juga berupa uang tunai dua juta dolar AS atau senilai Rp32 miliar. Lalu, Arif menerima Rp12,4 miliar; Wahyu Rp1,6 miliar; Djuyamto Rp7,8 miliar; serta Agam dan Ali masing-masing Rp5,1 miliar.
Penuntut umum menguraika, kasus bermula pada Juni 2023, saat Kejagung melakukan penyidikan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya pada industri kelapa sawit, dengan tersangka korporasi dari Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
Akhir Januari 2024, Ariyanto menemui Wahyu di rumahnya untuk pengurusan perkara korupsi korporasi minyak goreng tersebut yang akan dilimpahkan ke PN Jakarta Pusat. Ariyanto bertanya kepada Wahyu apakah memiliki kenalan pejabat di PN Jakarta Pusat, yang dijawab Wahyu dengan mengenal Arif, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Baca juga: Kasus Suap Hakim, Kejagung Telusuri Aliran Uang Rp60 Miliar
Selanjutnya, Ariyanto meminta Wahyu untuk menanyakan perihal hakim yang akan menyidangkan perkara korupsi korporasi minyak goreng tersebut.
Wahyu lalu menghubungi Arif dan mendapatkan informasi, hakim yang akan menyidangkan perkara korupsi korporasi minyak goreng tersebut, yakni Djuyamto, Ali, dan Agam.
Pada Mei 2024 Ariyanto mendatangi rumah Wahyu dengan membawa uang tunai pecahan US$100 sejumlah US$500 ribu atau senilai delapan miliar rupiah dan menyerahkannya kepada Wahyu sebagai uang "baca berkas". Kemudian dibagikan Wahyu kepada Arif dan tiga hakim yang menyidangkan perkara korupsi CPO.
Ariyanto menghubungi Marcella, lalu Marcella menghubungi Syafei untuk menyiapkan uang sebesar Rp60 miliar dalam pengurusan perkara korporasi minyak goreng untuk putusan ontslag.
Setelah Ariyanto menerima penyerahan uang senilai Rp60 miliar dari Syafei, Ariyanto menyerahkan uang tunai pecahan US$100 sebanyak dua juta dolar AS. Uang diserahkan kepada Wahyu dan dibagi-bagikan kepada Arif dan ketiga hakim.
Namun setelah dibagi, Arif berkomentar uang tersebut tidak sesuai permintaan sebesar US$30 juta, yang kemudian ditanggapi dengan Ariyanto bahwa uang tersebut sudah cukup.
Setelah rangkaian proses persidangan selesai pada 19 Maret 2025, majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara korupsi korporasi minyak goreng tersebut menjatuhkan putusan ontslag, yang telah sesuai dengan permintaan pihak terdakwa korporasi.