09 September 2025
19:43 WIB
Transfer Yang Melemahkan Daerah
Transfer ke Daerah (TKD) pada 2026 ini dipangkas sebesar 24,7%. Pemangkasan menjadi polemik dan membuka banyak masalah, serta dinilai minim manfaat.
Penulis: Gisesya Ranggawari, Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
Sejumlah warga sedang menunggu giliran untuk membayar pajak kendaraan bermotor di Samsat Ciledug, Kota Tangerang, Banten. Validnews/Hasta Adhistra.
JAKARTA – Saat keadaan sulit dan keuangan negara terbatas, Presiden Prabowo Subianto memutuskan rencana mengalokasikan dana transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp650 triliun. Transfer dana ini sungguh dinantikan. Namun, besarannya ternyata turun 24,7% dibandingkan dana transfer daerah tahun 2025 sebesar Rp864,1 triliun. Kebijakan itu juga dikemukakan Presiden Prabowo saat menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2026.
Besaran anggaran transfer ke daerah pada RAPBN 2026 ini adalah yang terendah dalam lima tahun terakhir. Pada 2021, realisasi transfer daerah dan dana desa mencapai Rp785,7 triliun. Kemudian, naik pada 2022 sebesar Rp816,2 triliun, lalu menjadi Rp881,4 triliun tahun 2023. Meningkat lagi menjadi tahun 2024 sebesar Rp863,5 triliun.
Pemangkasan dana ke dearah ini menuai polemik. Sejumlah pihak mengemukakan kekhawatiran akibat pemotongan, seperti anggota Komisi II DPR, Kamarudin Watubun. Kebijakan pemangkasan menurut dia berpotensi menekan kemampuan fiskal daerah. Selain itu, hal ini juga bisa memicu gejolak sosial hingga instabilitas politik di sejumlah wilayah, terutama daerah yang bergantung pada dana APBD.
“Akibat pemangkasan tahun lalu, sudah terjadi gejolak di beberapa kabupaten. Ada daerah sampai terjadi pembakaran. Kalau 2026 dipotong lagi sampai Rp650 triliun, bayangkan bagaimana peristiwa yang akan kita hadapi,” kata Komarudin dalam rapat bersama Kemendagri di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (3/9).
Dia juga mengingatkan, pemangkasan TKD berpotensi menimbulkan masalah hukum. Pasalnya, sentralisasi fiskal yang berlebihan bisa bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

Tinjau Ulang
Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Alwis Rustam menyebutkan telah bersurat ke Presiden Prabowo untuk meminta audiensi terkait pemangkasan TKD ini. Pasalnya, Apeksi menilai pemangkasan TKD ini berpotensi menimbulkan ancaman dari mentoknya jalan keluar gaji untuk Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang baru diangkat untuk sebagian besar kota kecil dan kota sedang.
“Kami berharap agar pemerintah pusat mau memberi ruang dialog dengan pemda yang memiliki persoalan beragam,” kata Alwis saat dikonfirmasi, Senin (8/9) di Jakarta.
Menanggapinya, Apeksi juga akan mengadakan rapat koordinasi dengan Komisi II dan Komisi XI DPR, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), beserta organisasi masyarakat sipil. Harapannya, pemerintah pusat bisa meninjau ulang ketentuan mengenai alokasi anggaran yang wajib dikeluarkan oleh pemda. Selama ini, pemerintah pusat masih menyamaratakan antara kota mandiri dengan ruang fiskal sehat dengan kota berkapasitas rendah.
Ketentuan itu diharapkan disesuaikan dengan kondisi fiskal tiap-tiap daerah. Apeksi, kata Alwis menyarankan agar pemerintah pusat membuat mekanisme pembagian DAU yang dapat memastikan keadilan antardaerah.
“Salah satu caranya adalah dengan membuat ukuran atau indikator untuk menentukan besaran DAU per daerah agar sesuai dengan kebutuhan daerah,” beber Alwis.
Di sisi lain, Alwis mengungkapkan, Apeksi sudah menerima sejumlah aduan dari sejumlah pemerintah kota (pemkot). Aduan terutama berasal dari pemkot yang tidak lagi masuk daftar prioritas untuk mendapatkan dana alokasi khusus (DAK). Mayoritas pengaduan ini meminta agar difasilitasi untuk berkonsultasi dengan kementerian yang memiliki wewenang dan mampu menjawab kesulitan di daerah saat ini.
“Perlu diperjelas bagaimana kinerja kementerian dalam melakukan pelayanan dan pendampingan daerah. (Daerah) jangan hanya ditekan dan dilepas dengan suatu kebijakan yang seragam bagi daerah,” papar dia.
Fenomena Flypaper-effect
Pemangkasan TKD 2026 juga dinilai aneh oleh Guru Besar dari Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) Fisipol UGM, Wahyudi Kumorotomo. Dia menilai, kebijakan pemangkasan TKD ini juga berisiko besar terhadap keberlanjutan pembangunan daerah. Lantaran, target belanja RAPBN justru meningkat 17,7%, tetapi TKD dipangkas 24,7%.
“Program MBG meningkat hingga lima kali lipat menjadi Rp335 triliun, tetapi subsidi ke daerah yang bisa mendorong keberlanjutan pembangunan dan menciptakan lapangan kerja justru dikurangi dalam jumlah signifikan,” papar Wahyudi, sebagaimana juga disampaikannya di laman resmi UGM, Senin (8/9).
Pemangkasan TKD yang mencakup Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) akan berdampak serius pada pembangunan di berbagai daerah. Di perhitungannya, ada banyak daerah yang tidak mungkin lagi bisa meneruskan pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, atau sarana telekomunikasi yang sudah dimulai.
“Program penanggulangan kemiskinan menjadi korban jika tidak banyak lagi yang bisa diharapkan dari TKD,” sambungnya.
Menurut Wahyudi, kebijakan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak 2001 masih gagal. Alih-alih memperkuat kemandirian, banyak pemerintah daerah justru semakin bergantung pada dana transfer pusat yang dia sebut sebagai fenomena flypaper-effect. Fenomena ini diibaratkan lalat yang tertarik pada kertas dengan umpan sekaligus lem perekat.
Dengan adanya dana perimbangan, banyak Pemda yang meningkatkan belanja, tetapi kurang berusaha menambah PAD atau sumber pendapatan mandiri lain. Karena, rata-rata PAD terhadap APBD masih 24,18%.
Dia melihat ada dampak jangka pendek yang ditimbulkan dari pemangkasan TKD. Daerah yang ingin terus melanjutkan program prioritasnya pasti akan berusaha menarik PAD sebanyak mungkin. Instrumen yang paling memungkinkan adalah menaikkan PBB dan pajak-pajak daerah lain. Kebijakan tersebut berisiko menimbulkan gejolak sosial jika tidak dikelola dengan baik. Contohnya, demonstrasi ricuh dan pembangkangan massal di Pati, Jawa Tengah.
Kondisi ini bisa berlanjut, apalagi, di daerah-daerah yang merencanakan kenaikan pajak besar-besaran seperti Banyuwangi, Cirebon, Semarang, Jeneponto, dan Bone.
“Dalam situasi ekonomi yang masih suram, semakin besarnya pungutan daerah, apalagi disertai pernyataan kepala daerah yang arogan dan kurang sensitif, bisa berakibat sangat eksplosif dari segi sosial,” pungkasnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman N Suparman berpandangan senada. Dia menilai ada satu cara berpikir yang salah dari pemerintah pusat dalam memutuskan pemangkasan TKD ini. Apalagi, pemangkasan ini untuk belanja-belanja pemerintah pusat dan lembaga itu agar tepat sasaran. Padahal, pemerintah daerah punya kewenangan dalam melaksanakan urusan pemerintahan.
“Kalau komitmen Astacita, seharusnya juga didukung dengan alokasi transfer ke daerah yang cukup,” kata Arman kepada Validnews, Minggu (7/9) di Jakarta.
Di sisi lain, dia menyoroti adanya risiko dari hal ini. Poin yang harus diingat, pertumbuhan ekonomi di daerah sangat bergantung pada APBD. Dengan kata lain, jika ada pemotongan TKD akan berpengaruh kepada APBD.
“Dan tentunya itu juga akan berpengaruh terhadap belanja pemerintah di daerah, Yang itu akan sangat mengganggu pertumbuhan ekonomi,” ungkap Arman.
Arman juga khawatir, pemangkasan TKD ini akan mengganggu pelayanan publik di daerah, karena harus menunggu/menunda dulu program-program yang sudah dirancang dalam RKPD daerah itu, demi efisiensi memenuhi kebutuhan belanja-belanja yang lain. Ia terang berharap agar kebijakan ini dikaji ulang, karena daerah akan jadi korban dan dikhawatirkan menimbulkan gejolak sosial serta ekonomi pada tahun depan.
Dia mengutip data Kemendagri per Agustus 2025, ada 90% daerah memiliki kapasitas fiskal rendah. Bahkan kalau lebih dirinci, di level kabupaten ada 98% kabupaten yang memiliki kapasitas fiskal rendah.
“Artinya, daerah itu sangat bersandar pada transfer ke daerah atau dana perimbangan,” ucap Arman.
Alasan Memangkas TKD
Sebaliknya, pemerintah melalui Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendagri, Tomsi Tohir menyampaikan bahwa pemangkasan TKD ini dikarenakan ada pergeseran untuk memperbesar alokasi belanja kementerian dan lembaga (K/L) yang diarahkan langsung untuk program-program prioritas nasional.
Untuk menyiasati dampak, Kemendagri telah menyiapkan sejumlah langkah. Pertama, Kemendagri akan menjalin koordinasi bersama Kementerian Keuangan terkait masalah proporsi, termasuk kemampuan fiskal daerah.
“Jumlahnya banyak 546, termasuk provinsi. Oleh sebab itu, kita selain berusaha, kita juga memberikan masukan,” kata Tomsi di Ruang Rapat Komisi II DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (3/9).
Kemendagri juga telah meminta seluruh layanan publik agar tidak terganggu. Khususnya untuk layanan yang berkaitan dengan kesehatan, pendidikan, perlu tetap dipertahankan seperti tidak ada pergeseran tersebut. Terkait dengan persoalan pergeseran anggaran ini, Tomsi mengatakan, saat ini detailnya masih dibahas bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR. Rencananya, pada tanggal 23 September 2025 akan ada rapat lanjutan terkait hal ini.
“Setelah itu, akan ada kementerian yang melakukan kegiatan di daerah, seperti pembangunan infrastruktur dan lainnya ini akan diundang Kemendagri, kita akan minta rencana detail mau berbuat apa di daerah itu, dengan nilai berapa, kapan mulai,” papar Tomsi.
Berdasarkan pendataan dari rencana pelaksanaan program-program tersebut, ke depannya Kemendagri berharap bisa membentuk Peta Indonesia. Peta ini sekaligus memberikan gambaran terait besaran anggaran yang tergeser dan besaran yang kembali ke daerah.
“Kami juga akan membentuk tim konsultasi sebanyak 15 tim. Tim ini akan menerima konsultasi dari daerah-daerah berkaitan dengan penganggaran tersebut,” ungkap dia.
Apa yang dikemukakan Tomsi dinilai ada benarnya. Namun, Peneliti Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri (PR-PDN) BRIN, Dian Martha Indarti menilai, selain ada dampak positifnya dari kebijakan pemangkasan TKD ini, ada pula dampak negatif yang tak terelakkan. Positifnya, kebijakan ini mampu mengurangi defisit anggaran sampai 32,5-33% dari PDB. Pemotongan TKD ini juga memungkinkan alokasi sumber daya lebih fokus ke sektor prioritas nasional, seperti kesehatan dan pendidikan

Namun, dampak negatifnya juga ada. Pemotongan berpotensi mengganggu pelayanan publik dan memperlambat pertumbuhan ekonomi regional, terutama daerah-daerah wilayah timur. Apalagi, PAD masih ada yang lima persen dan itu tidak cukup untuk membeli APBD keseluruhan bagi pembangunan.
Kemudian, berpotensi terjadi risiko memperparah kemandirian fiskal dari daerah-daerah yang belum mandiri secara fiskal. Semakin TKD dipotong, maka akan semakin kesulitan mendapatkan tambahan untuk PAD.
“Ini juga akan menyebabkan disparitas antar wilayah. Jadi efeknya apa? Pemerintah daerah mencari tambahan pendapatan dengan cara menaikkan PBB yang menyebabkan terjadi gesekan-gesekan,” papar Dian kepada Validnews, Senin (8/9) di Jakarta.
Pelajaran Dari Pati
Dia menyarankan, agar pemerintah daerah diberikan pelatihan untuk mengelola PAD agar lebih maksimal. Sementara untuk kondisi darurat jangka pendek, diperlukan langkah strategis untuk efisiensi pemerintah daerah. Selain itu, pemerintah daerah diharapkan sudah mulai mencoba cara pembiayaan dari BUMD-nya dan memetakan PAD-nya, sektor mana yang akan ditingkatkan untuk penambahan pendapatan.
“Untuk jangka menengah itu pemda harus inovatif untuk mengaktifkan ekonominya Misalkan di Banyuwangi pengadaan barang dan jasa itu diserap oleh pemda sendiri dari UMKM,” ungkapnya.
Menurut Dian, penurunan TKD ini juga semakin memperparah krisis fiskal di daerah karena mempersempit ruang fiskal daerah yang belum mandiri secara fiskal. Khususnya daerah-daerah otonomi baru yang PAD-nya lima persen.
“Data tahun 2020 itu masih 88% ada sekitar 443 daerah yang mengalami krisis fiskal,” imbuh Dian.
Kendati demikian, keputusan pemangkasan TKD ini menurut Dian juga berdampak positif buat daerah. Mau tak mau, Pemda dituntut mulai memikirkan bagaimana caranya untuk bisa mandiri secara fiskal. Pemda dituntut berinovasi mengembangkan pendapatan, karena menurutnya semua daerah memungkinkan untuk melakukan itu.
“Diharapkan pemerintah mulai memetakan sektor pajak mana saja yang berpotensi untuk ditingkatkan, dan memaksimalkan wajib pajak disesuaikan dengan potensi pajak,” kata dia.
Dan, apa yang terjadi di Pati, Cirebon, Jombang, dan Bone dimana terjadi aksi massa menolak pajak harusnya menjadi pengingat keras, bahwa menaikkan pajak bukan lah hal yang bijak. Bahkan, selayaknya keputusan seperti itu, harus dijauhkan. Sayangnya, memang harus disadari, masih sedikit kepala daerah yang kreatif untuk bisa mencari pendapatan.
Pemerintah pusat mencatat, baru beberapa daerah yang barkategori mandiri fiskal. Di tingkat provinsi ada Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Sedang di level kota ada Batam, Bekasi, Tangerang, dan Surabaya. Sedang di level kabupaten, hanya Kabupaten Badung (Bali) adalah satu-satunya kabupaten yang masuk daftar mandiri. Lainnya, ya tergantung kemurahan hati Pusat mengirimkan dana.