c

Selamat

Kamis, 25 April 2024

NASIONAL

12 Juni 2021

18:00 WIB

Timbang-timbang Akibat Bayar Nanti

Pengguna paylater harus diberi edukasi soal tanggung jawab dan risiko, bukan hanya promosi ketersediaan produk baru

Penulis: Gisesya Ranggawari,Wandha Nur Hidayat,Herry Supriyatna,

Editor: Nofanolo Zagoto

Timbang-timbang Akibat Bayar Nanti
Timbang-timbang Akibat Bayar Nanti
Ilustrasi layanan paylater. Shutterstock/dok

JAKARTA – Sebuah notifikasi muncul di layar ponsel pintar Rini pada suatu siang awal 2019. Isinya informasi singkat dari aplikasi Gojek. Dia diizinkan memakai fitur paylater sejak hari itu. Keinginan Rini untuk membeli beragam produk dengan sistem ‘bayar nanti’ pun tergenapi.

Rini sempat tak menyangka pengajuannya disetujui. Waktu prosesnya bahkan tak lebih dari dua hari sejak diajukannya. Padahal, dia sudah berkali mengajukan ke bank untuk memperoleh kartu kredit. Perlu waktu lama buat bank mempercayainya.

“Enggak ada survei seperti kartu kredit bank yang mungkin lebih ketat. Enggak ada survei penghasilan. Mereka juga mungkin enggak tahu penghasilan saya berapa. Mereka percaya saja kalau saya bisa melunasi (tagihan),” cerita Rini kepada Validnews, Kamis (10/6).

Rini mendapat limit paylater sebesar Rp500 ribu. Mulanya, ia memanfaatkan fitur ini hanya untuk kebutuhan-kebutuhan mendesak. Misalnya, ketika saldo Gopay-nya tak cukup saat bepergian. Atau, ketika bujet ongkosnya telah habis sebelum ‘hilal’ gajian tampak.

Namun, perilaku konsumsi Rini perlahan bergeser seiring waktu. Fitur itu kini beralih fungsi. Dari yang ditujukan sesuai kebutuhan, menjadi alat pemenuhan keinginan. Kemudahan bertransaksi dengan paylater membuatnya tak perlu berpikir dulu untuk membeli sesuatu.

Pada tahun yang sama, pengajuannya untuk menjadi pengguna aplikasi kredit digital Kredivo diterima. Disusul pengajuannya menggunakan paylater di Traveloka. Proses keduanya, menurut Rini, lagi-lagi tidak sesulit untuk memiliki kartu kredit perbankan.

“Saat pertengahan 2020, tiba-tiba, enggak ada persetujuan apa-apa, limit paylater Gojek saya naik jadi Rp1 juta. Tiba-tiba saja. Padahal gaji saya segitu-gitu saja. Maksudnya, gaji saya enggak naik,” ujar perempuan berusia 27 tahun itu.

Memiliki akses paylater pada ketiga platform, tak jarang membuat Rini kalap. Tentu, dia pernah hingga kewalahan membayar tagihan. Ia menyebut sistem transaksi ini memberi ilusi bisa membeli sesuatu tanpa mengurangi uang di rekeningnya.

“Jadi sama seperti gali lubang tutup lubang sih. Bulan ini saya merasa makmur, semua bisa ngutang, eh bulan depan sengsara. Tapi karena sudah ketergantungan, jadi saya ngelakuin itu terus,” imbuhnya.

Credit Scoring
 
Rini merupakan bagian dari gelombang tren penggunaan paylater dalam bertransaksi daring. Hasil survei dari Research Institute Of Socio-Economic Development (RISED) pada 2020 menemukan bahwa popularitas paylater sangat tinggi di masyarakat.

Dari 2.000 responden survei, sebanyak 95% atau 1.900 orang di antaranya mengaku tahu tentang paylater. Kemudian, sebanyak 71,68% responden atau 1.362 orang pernah menggunakannya.

Alasan terbesar menggunakan fitur pembayaran ini adalah untuk membeli kebutuhan mendadak saat keuangan terbatas (82,97%). Disusul alasan untuk membeli barang di luar pengeluaran bulanan (43,32%), dan untuk belanja dengan cicilan dalam jangka pendek (39,94%).

Sementara, alasan terbesar responden enggan menggunakannya karena tidak ingin membiasakan diri berutang dan menjadi konsumtif (65,61%). Ada pula alasan tak ingin punya banyak biaya tambahan, seperti biaya langganan dan cicilan (42,57%), lalu besaran bunga/biaya cicilan yang tak jelas (34,57%).



Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama (AFPI), Kusnaeryah mengatakan, persetujuan permohonan menjadi pengguna paylater bukan tanpa dasar. Dasarnya adalah profil belanja calon pengguna di platform belanja daring, antara lain mencakup perilaku pembayarannya.

“Jadi ini bukan suatu segmen yang datang dari hutan belantara. Tetapi user-nya sudah onboarding di e-commerce, perilakunya sudah terbaca, disiplinnya sudah terbaca di e-commerce, profilnya sudah terbaca,” ungkap Kusnaeryah kepada Validnews, Jumat (11/6).

Calon pengguna yang disetujui pengajuannya adalah yang memenuhi kriteria berdasarkan analisis credit scoring. Meski tak semua pengajuan akan diterima, diakuinya, kriteria profil calon penggunanya memang tak seketat dalam platform kartu kredit.

Perbedaan mitigasi profiling customer itu salah satunya disebabkan jumlah pinjaman melalui paylater tidak sebesar melalui kartu kredit. Jika jumlah peminjaman di kartu kredit dimulai dari Rp2,5 juta, misalnya, jumlahnya di paylater dimulai dari Rp250 ribu saja.

Keamanan Data
Tidak hanya soal tolok ukur persetujuan calon pengguna, Kusnaeryah pun berani menjamin keamanan data pribadi pengguna di tangan perusahaan fintech penyedia paylater bersangkutan. Syaratnya tentu sepanjang perusahaan tersebut adalah legal dan berizin OJK.

Perusahaan-perusahaan yang memenuhi dua kedudukan itu, lanjut dia, wajib untuk bersertifikat ISO 27001 tentang keamanan informasi. Perusahaan fintech bahkan diklaim sebagai platform yang paling dulu mengadopsi ISO 27001 sebagai standar manajemen keamanan informasi.

“Karena kewajiban untuk menjaga keamanan data dan informasi itu menjadi satu syarat yang terkait dengan perizinan dari usaha fintech itu sendiri. Kalau di platform lain, kan tidak ada syarat. Bahkan, kalau di paylater fintech, menurut saya, lebih terjamin,” tuturnya.

Masalah keamanan data, menjadi sorotan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Pengurus Harian YLKI, Agus Suyatno, menuturkan pengguna platform paylater punya risiko yang sama soal kebocoran data dengan platform lain e-commerce. YLKI menduga ada kebocoran data pribadi pengguna paylater. Hal ini dapat dilihat, salah satunya, dari aduan pengguna yang mengaku mendapat tagihan meski tidak melakukan transaksi dengan paylater.

Berdasarkan data YLKI sepanjang 2020, aduan terkait jasa keuangan menjadi yang terbesar, yakni 30,50% dari total 3.692 aduan. Termasuk di dalamnya adalah fintech penyedia paylater. Selanjutnya disusul jumlah aduan terkait e-commerce sebesar 22,70%.

“Ini yang memang saat ini disoroti. Kita itu kan belum ada regulasi yang mengatur tentang perlindungan data secara spesifik,” ucap Agus kepada Validnews, Senin (7/6).

YLKI, karenanya, meminta semua perusahaan penyedia layanan paylater berkomitmen selalu menjamin keamanan data pribadi penggunanya. Sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Pada Pasal 26 huruf a Peraturan OJK itu, contohnya, dinyatakan penyelenggara wajib menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga data tersebut dimusnahkan.

“Data pribadi yang diserahkan konsumen ke pelaku usaha atau penyedia platform itu kan untuk kebutuhan transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha. Tetapi tidak untuk pihak ketiga. Ini yang harus dipahami bahwa data tersebut hanya meminjam,” katanya.

 



Minim Edukasi
Perlindungan terhadap konsumen tidak hanya dalam penjaminan keamanan data pribadi. Melainkan, juga memberi kejelasan informasi dan pemahaman tentang suatu produk. Menurut YLKI, peran ini umumnya masih dipinggirkan para penyedia jasa paylater

Banyak masalah terkait e-commerce secara umum, ataupun paylater secara khusus, disebabkan kurangnya edukasi dari pelaku usaha atau penyedia jasa.

“Edukasi yang paling efektif adalah ketika terjadi transaksi. Jadi konsumen terpahami ketika akan membuat aplikasi atau mengajukan kredit, misalkan. Dia langsung diberi edukasi, apa yang menjadi hak, risiko, tanggung jawab, dan kewajibannya. Ini perlu diinformasikan lebih jelas dan detail kepada konsumen,” jelas Agus.

AFPI, melalui Kusnaeryah, sempat mengakui perlunya perbaikan untuk persoalan ini. Sebab informasi, misalnya, terkait produk, serta hak dan tanggung jawab pengguna umumnya memang masih disampaikan sambil lalu. Untuk memastikan bahwa pengguna benar-benar membaca, terlebih lagi memahaminya, jarang dilakukan.

Baik penilaian Agus maupun pengakuan Kusnaeryah diamini pengalaman Rini selama dua tahun menggunakan paylater. Tidak pernah satu kali pun Rini diberi konten edukasi lengkap soal jasa ini. Yang ada hanya konten promosi soal keuntungannya. Jelas tak bisa diandalkan.

Perencana Keuangan, Andreas Freddy Pieloor, menyebut ada kesalahpahaman tentang keunggulan paylater. Pengguna 'dikelabui' seolah dengan bayar nanti atau berutang hari ini tidak akan mengurangi jumlah uangnya. Alhasil, muncul risiko menyepelekan berutang.

“Yang namanya utang, pasti dikenakan bunga. Katakanlah kita lalai, kebutuhan hidupkan berubah-ubah, telat bayar kena denda. Makin naik utangnya,” urainya kepada Validnews, Rabu (9/6).

Belanja Konsumtif
Andreas menyarankan, penting untuk pengguna paylater bisa membedakan keinginan dan kebutuhan. Paylater seharusnya digunakan untuk membeli sesuatu yang benar-benar menjadi kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi, faktanya, banyak orang menggunakan sistem pembayaran ini untuk membeli barang-barang yang sifatnya konsumtif, semisal gadget.

Asumsi kalau paylater dapat menjaga cash flow pun tak sepenuhnya tepat. Hal ini berpulang pada pribadi masing-masing, sebab tak semua orang memiliki kemampuan ekonomi yang sama. Paylater, tegas dia, jelas sangat berisiko bagi orang-orang dengan pendapatan yang tidak stabil.

Ketua Komunitas Konsumen Indonesia, David Tobing menambahkan, pengguna jangan sampai tergiur dengan iklan promosi kemudahan membeli produk tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Sesungguhnya ada bunga, denda, tenor, atau ketentuan lain yang kerap kali tak disampaikan dalam iklan yang bertebaran di berbagai layar.

“Jangan hanya membaca ilustrasinya. Misalnya, anda bisa membayar sekian sudah mendapat barang, tapi tidak tahu kemudian bayarnya itu ditambah bunga, denda, atau sebagainya,” kata dia kepada Validnews, Rabu (9/6).
 
 Senada dengan David, Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot berharap sistem bayar nanti ini dapat digunakan dengan bijak oleh masyarakat. 

OJK pun akan terus mengawasi perkembangan jasa keuangan ini mengingat belum ada regulasi spesifik yang mengatur paylater di Indonesia.
 
Paylater belum diatur secara khusus di Indonesia karena ketentuannya merujuk pada regulasi masing-masing sektor lembaga jasa keuangan yang memberikan layanan paylater,” ucapnya kepada Validnews, Rabu (9/6).

Sekar juga berharap perusahaan-perusahaan fintech penyedia paylater dapat melakukan credit scoring yang lebih akurat terhadap calon peminjamnya. Tujuannya untuk memitigasi risiko terjadinya kredit macet atau gagal bayar.

“Di sinilah big data dan artificial intelligence sangat berperan untuk meningkatkan kualitas scoring system platform peer-to-peer lending,” ujarnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar