c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

NASIONAL

02 Februari 2024

17:49 WIB

Tiga Capres Belum Terlihat Berkomitmen Benahi Pendidikan

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengamati tidak ada satu pun capres yang mampu mengurai solusi atas problem yang dihadapi guru hari ini

Penulis: Gisesya Ranggawari

Editor: Nofanolo Zagoto

Tiga Capres Belum Terlihat Berkomitmen Benahi Pendidikan
Tiga Capres Belum Terlihat Berkomitmen Benahi Pendidikan
Ilustrasi pendidikan. Shutterstock/dok

JAKARTA - Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji mengatakan, ketiga calon presiden (capres) belum terlihat berkomitmen memperbaiki pendidikan di Tanah Air, khususnya terkait persoalan yang dihadapi para guru.

Dia mengingatkan, berdasarkan skor Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2023, skor literasi, numerasi dan sains anak Indonesia masih rendah. Maka, guru sebagai aktor yang dominan di sekolah penting diperhatikan.

"Nah dari capres nomor urut satu, dua dan tiga, tidak ada satu pun yang bisa mengurai apa yang harus dilakukan terkait dengan problem yang dihadapi guru hari ini," kata Ubaid dalam diskusi bersama ICW di Rumah Belajar ICW, Jakarta, Jumat (2/2).

Padahal, kata dia, ketiga capres dan cawapres sejatinya bukan orang baru di pemerintahan. Sebagian bahkan pernah memimpin suatu daerah, seperti Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI Jakarta, Gibran Rakabuming Raka menjadi Wali Kota Solo dan Ganjar Pranowo menjadi Gubernur Jawa Tengah.

Ubaid membeberkan, ketiga daerah tersebut masih memiliki permasalahan pendidikan yang sangat besar. Misalnya DKI Jakarta menjadi provinsi yang memiliki jumlah putus sekolah terbesar se-Indonesia, padahal anggaran pendidikannya paling besar.

Begitupun dengan Solo dan Jawa Tengah yang angka putus sekolahnya masih tinggi, ditambah dengan tingkat literasi yang masih rendah. Selain itu, sejak diluncurkan program wajib belajar 12 tahun pada 2012, Jawa Tengah termasuk Solo tidak memiliki progres yang baik, terutama pada pendidikan bebas biaya.

"Jadi yang ada diskriminasi. Hanya memberikan kesempatan sebagian kecil saja yang dapat bebas biaya, tapi 60-70% masih harus masuk ke swasta dan biaya mahal," beber Ubaid.

Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) pada tahun 2022, DKI Jakarta memiliki angka putus sekolah murid SD terbanyak di Indonesia, yakni mencapai 0,69%. Sementara di Jawa Tengah dan Solo berada di bawah 0,2%.

"Biaya mahal di sekolah swasta tadi yang membuat angka putus sekolah tinggi khususnya di jenjang menengah," tutur Ubaid.  


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar