06 Juli 2024
17:41 WIB
Tersungkur Dipukul Impor Tekstil Ilegal
Pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap produk tekstil ilegal dinilai masih sangat lemah. Perbaikan komprehensif pada industri tekstil mutlak diperlukan.
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy
Editor: Nofanolo Zagoto
Pekerja menyelesaikan pembuatan mukena di pabrik busana muslim Siti Khadijah di kawasan Limo, Depok, Jawa Barat, Senin (3/4/2023) ValidNewsID/Fikhri Fathoni
JAKARTA – Serbuan produk tekstil impor, terutama tekstil impor ilegal, perlahan membuat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Tanah Air terpuruk. Belakangan banyak pabrik tekstil bertumbangan gegara kalah bersaing untuk urusan harga. Penyelundupan tekstil ini disinyalir kuat sebagai salah satu penyebab utama.
Jumlah tekstil impor ilegal masuk ke Indonesia tidak terekam baik angka pastinya tiap tahun. Namun, jika merujuk data dari Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), terdapat sekitar 28.480 kontainer tekstil ilegal yang masuk ke Indonesia setiap tahun.
Efeknya sungguh besar pada industri tekstil Tanah Air. Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), David Leonardi mengatakan, hingga 2024 ini ada 20 hingga 30 pabrik tekstil yang mengalami kebangkrutan. Akibatnya, ribuan buruh yang bekerja di Industri TPT terpaksa mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sampai bulan Mei 2024, total PHK di industri TPT kurang lebih 10.800 tenaga kerja. David mengingatkan, di luar angka tersebut ada juga tenaga kerja kontrak yang tidak tercatat, sehingga angka PHK yang sebenarnya bisa jauh lebih besar lagi.
“Dengan kata lain, impor produk ilegal ini akan merusak seluruh tatanan di industri tekstil yang tentunya akan berdampak pada bangkrutnya sejumlah perusahaan tekstil dan PHK massal,” kata David, Kamis (4/7).
David juga mengatakan, relaksasi impor yang dilakukan oleh pemerintah membuat industri tekstil di Indonesia malah makin kewalahan. Sebab, kebijakan ini justru membuat produk tekstil hasil impor ilegal justru merajalela, dan akan lebih sulit untuk mengantisipasinya.
“Jika relaksasi impor tetap diberikan, maka kondisi ini akan meruntuhkan ketahanan industri dan daya serap tenaga kerja akan berkurang, pengawasan untuk produk selundupan juga harus lebih ketat agar persaingan yang dihadapi oleh industri TPT tidak berat,” katanya.
Produk tekstil impor ilegal banyak berkutat pada produk pakaian jadi, termasuk pakaian bekas. Kalau hal ini terus dibiarkan, David khawatir akan berdampak pada industri hilir TPT dalam negeri. Misalnya, jika permintaan pakaian jadi semakin menurun karena adanya produk impor ilegal, permintaan benang dan serat juga akan menurun.
Di sisi lain, kondisi ekonomi global yang sedang tidak baik juga ikut memperburuk kondisi Industri TPT di Indonesia.
Banyak negara tujuan ekspor menerapkan kebijakan non-tariff barriers (perlindungan non-tarif/NTB) untuk melindungi market mereka dari gempuran impor. Hal ini membuat ekspor Indonesia terhambat dan mengakibatkan penurunan pada ekspor.
“Hal ini menyebabkan, produsen TPT di Indonesia mengalami masalah yang cukup serius, apalagi kebijakan yang ada juga belum bisa membantu kami bisa bangkit dari kondisi kritis ini,” kata David.
Tak kalah pelik, kondisi ekonomi global ini juga membuat produsen besar TPT dunia seperti China mengalami over-stocked. Kondisi ini membuat China harus mengekspor produk tersebut ke negara yang perlindungan pasar dalam negerinya lemah seperti Indonesia.
Produk-produk over-stocked pada umumnya merupakan produk lama yang masih layak untuk dipakai. Harganya sudah pasti lebih murah daripada produk baru. Hal ini kemudian ditangkap sebagai peluang oleh importir nakal untuk menyelundupkan produk tekstil.
Mereka kemudian menjual produk tersebut dengan harga murah dan membuat konsumen lebih menyukai produk impor ilegal tersebut. Akibatnya, masyarakat enggan membeli produksi dalam negeri.
“Penurunan ekspor dan order dari dalam negeri yang tidak menentu membuat aktivitas produksi industri TPT Indonesia sehingga pabrik yang tidak dapat bertahan hidup dan berujung akan tutup,” ujarnya.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) juga menyoroti kebijakan yang ada saat ini, yaitu Permendag Nomor 8 tahun 2024. Kebijakan ini dinilai merelaksasi impor. Beleid itu dituding kian jadi pemberat buat para pengusaha tekstil untuk menjaga keberlangsungan usaha mereka.
Salah satu senjata ampuh untuk menyelamatkan industri TPT dalam negeri adalah menerbitkan kebijakan yang menjamin perlindungan pasar dalam negeri, seperti tariff barriers atau non-tariff barriers, agar produk-produk impor yang masuk ke pasar dalam negeri Indonesia dapat bersaing secara adil dengan produk buatan Indonesia.
“Pertek bisa menjadi salah satu contoh non-tariff barriers, sedangkan BMTP (Safeguard) dan BMAD (tindakan anti-dumping) merupakan contoh dari tariff barriers, ini bisa menjadi pertimbangan pemerintah jika ingin membangkitkan kembali industri TPT Indonesia,” kata David.
Mayoritas Dari China
Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis Direktorat Jenderal Bea Cukai, Muhammad Aflah Farobi mengakui, impor pakaian ilegal ini sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan industri tekstil dalam negeri. Makanya, isu ini telah menjadi salah satu prioritas Bea Cukai.
Impor produk tekstil ilegal ini dipastikan Bea Cukai kebanyakan berasal dari China. Sebagian lain berasal dari Korea Selatan, Taiwan, India, Vietnam, Bangladesh, dan Thailand. Dominasi impor tekstil ilegal dari China besar kemungkinan terjadi karena harga produk tekstil di sana jauh lebih murah.
Sayang, tidak ada data produk selundupan yang berhasil diungkap Bea Cukai. Muhammah hanya menyebutkan serbuan produk impor ilegal terjadi sejak pandemi covid-19, ramainya produk thrift, dan ramainya jasa titip beli (jastip) dari luar negeri.
“Dari yang kami petakan produk tekstil ilegal ini masuk melalui Pelabuhan kecil yang ada di Sumatra dan Jawa, tetapi yang paling banyak memang di Sumatra,” kata Aflah dalam jawaban tertulisnya kepada Validnews, Jumat (5/7).
Aflah menjelaskan, pihaknya memang telah menerima laporan dari asosiasi pelaku usaha di industri TPT, terkait maraknya produk impor ilegal yang masuk ke Indonesia. Dari laporan tersebut, asosiasi telah meminta pemerintah untuk lebih tegas dalam melakukan pengawasan dan penindakan importir nakal tersebut.
Dari kajian yang dilakukan oleh Bea Cukai, pihaknya menemukan bahwa impor ilegal ini memiliki modus yang cukup bervariasi. Modus yang paling banyak digunakan adalah impor tanpa menggunakan dokumen yang sah.
Bea Cukai juga menemukan banyak importir nakal yang memanfaatkan pelabuhan kecil untuk memasukkan produk tekstil ilegal tersebut. “Untuk itu, kami akan memperketat pengawasan terhadap produk-produk ilegal ini, apalagi saat ini ada relaksasi impor yang baru diterapkan oleh pemerintah, memang ada keterbatasan untuk pengawasan di Pelabuhan kecil apalagi di daerah,” kata Aflah.
Dia mengklaim, Bea Cukai telah melakukan sejumlah upaya untuk mencegah produk illegal masuk ke Indonesia. Tapi memang pihaknya menemukan sejumlah kendala, salah satunya adalah barang-barang impor ilegal ini masuk ke Indonesia dengan dalih barang bawaan penumpang.
Selain itu, Bea Cukai juga menemukan adanya praktik under invoicing dan undeclared yang dilakukan oleh para importir. Praktik ini bertujuan untuk menghindari pajak atau bea yang harus dibayarkan oleh para importir.
“Banyak dari importir nakal ini yang memanfaatkan kelengahan petugas dengan menyebut produk ini sebagai oleh-oleh atau barang belanjaan mereka,” kata Aflah.
Sementara itu, untuk penyelundupan di pelabuhan-pelabuhan kecil di daerah, para importir ini memanfaatkan ballon effect. Di mana, barang ilegal masuk di tempat yang tak terjamah saat otoritas pengawas memfokuskan pengawasannya di satu tempat.
“Misalnya para petugas kita sedang fokus melakukan pengawasan di Pelabuhan Sibolga, nah para importir nakal ini akan menggunakan pelabuhan kecil lain yang menurut mereka sedang sepi petugas, dan ini sedang kami antisipasi,” terang Aflah.
Sebagai mitigasi, pengawasan bersama unit kepatuhan internal (UKI) hingga aparat penegak hukum (APH) dilakukan untuk memperketat ruang gerak penyelundup. Pengawasan di Jaring Sriwijaya dan Jaring Wallacea juga diperketat Bea Cukai.
Penyitaan dan penegakan hukum terhadap produk impor ilegal juga dilakukan agar menciptakan efek jera. Jika ditemukan barang-barang impor tekstil ilegal, Bea Cukai melakukan penyitaan barang dan melakukan tindakan penegakan hukum, termasuk menetapkan denda dan sanksi sesuai tingkat pelanggaran.
“Kami terus berupaya untuk memperketat pemeriksaan fisik dan dokumentasi terhadap barang-barang impor di pintu masuk, untuk memastikan bahwa barang-barang yang diimpor sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” kata Aflah.

Kemudahan Pelaku Usaha
Pada kesempatan terpisah, Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas KAKI (ITKAK) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Adie Rochmanto Pandiangan, membantah tuduhan bahwa Permendag Nomor 8 tahun 2024 akan mempermudah impor produk tekstil ilegal di Indonesia. Permen ini justru bertujuan untuk menangkal impor produk tekstil ilegal masuk ke Indonesia.
Dalam aturan tersebut telah diatur terkait dengan instrumen Bea Masuk Antidumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindak Pengamanan (BMTP). Di mana, kedua instrumen tersebut diharapkan dapat menekan angka impor produk TPT ilegal sekaligus menggerakkan kembali utilisasi industri TPT nasional.
“Permenperin itu bertujuan memberikan kemudahan bagi pelaku usaha untuk memperoleh bahan baku bagi kelangsungan industrinya, dan juga mencegah banjir impor produk TPT dan garmen ilegal ataupun legal,” kata Adie kepada Validnews, Kamis (4/7).
Adie menjelaskan, Permendag Nomor 8 tahun 2024 ini awalnya dilakukan karena adanya kendala pertimbangan teknis (pertek), yang merupakan salah satu persyaratan persetujuan impor terkait komoditas tertentu. Pertek sebelumnya diusulkan untuk dimasukkan sebagai persyaratan impor ke dalam Permendag 36/2023. Namun rupanya hal ini malah menghambat penyaluran bahan baku.
Akibatnya, ada penumpukan kontainer di pelabuhan yang disebabkan adanya kendala perizinan, yaitu pertek atau pertimbangan teknis untuk komoditas tertentu, dan hal ini berdampak pada produksi industri TPT.
“Sehingga dilakukan perubahan atau relaksasi dalam pengaturan impor melalui perubahan Permendag Nomor 8/2024 dengan tidak mempersyaratkan pertek lagi dalam pengurusan perizinan impornya,” kata Adie.
Dalam jawaban tertulis, Adi menambahkan, para pelaku industri TPT tidak perlu khawatir akan banjirnya produk impor dan produk selundupan yang masuk ke Indonesia. Sebab, pemerintah telah memiliki Permenperin Nomor 5 tahun 2024 yang diyakini dapat memperkuat industri TPT. Permenperin tersebut mengatur tentang tata cara penerbitan pertimbangan teknis impor produk TPT.
“Permenperin itu bertujuan memberikan kemudahan bagi pelaku usaha untuk memperoleh bahan baku bagi kelangsungan industrinya, dan juga mencegah banjir impor produk TPT dan garmen ilegal ataupun legal,” kata Adie.
Adie mengaku tak sependapat dengan banyak pihak yang menyalahkan Permendag Nomor 8 tahun 2024 sebagai penyebab kondisi kritis yang dihadapi oleh industri TPT di Indonesia.
Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan industri TPT mengalami kesulitan. Pertama, adanya biaya produksi yang cukup tinggi sehingga membuat harga pakaian yang diproduksi industri TPT lebih mahal dibandingkan pakaian impor. Hal ini dikarenakan adanya biaya tenaga kerja, energi, bahan baku, dll, yang membuat pengusaha tak bisa menurunkan biaya produk mereka.
“Industri TPT yang tidak mengadopsi teknologi serta proses produksi yang lebih efisien dan inovatif, tentu akan kesulitan dalam mempertahankan daya saing dan harga mereka,” kata Adie.
Kedua, adanya pergeseran pola konsumsi masyarakat juga ikut mempengaruhi. permintaan akan produk berkelanjutan, ramah lingkungan, atau fokus pada kualitas dan gaya, dapat mempengaruhi permintaan terhadap produk TPT tradisional.
Sebaliknya, dia berharap bahwa industri tekstil diharapkan dapat membedakan diri dengan mengadopsi praktik-praktik berkelanjutan di seluruh rantai pasokan mereka. Termasuk pengadaan bahan baku secara bertanggung jawab, mengurangi konsumsi energi dan air, dan meminimalkan limbah sehingga mereka dapat menarik konsumen yang peduli lingkungan dan mengakses pasar baru.
Belum lagi, adanya krisis ekonomi global akibat pandemi covid-19 dan perang Ukraina dan Rusia juga ikut mempengaruhi permintaan akan produk tekstil. Hal ini mengakibatkan penurunan drastis dalam permintaan pasar, membatasi akses ke pasar ekspor, dan menyebabkan gangguan dalam rantai pasokan.
“Dengan demikian diperlukan strategi yang lebih fleksibel dan responsif, termasuk diversifikasi produk, peningkatan efisiensi operasional, inovasi produk, serta fokus pada pasar-pasar yang tumbuh dan berpotensi,” kata Adie.
Terkait dengan upaya yang dilakukan Kemenperin untuk membangkitkan kembali industri TPT di Indonesia. Pihaknya sedang menyiapkan aturan baru untuk mempertegas aturan impor dan membatasi impor produk TPT yang masuk ke Indonesia.
Namun, pihaknya belum bisa menjelaskan secara detail seperti apa aturan tersebut nantinya. Aturan tersebut rencananya akan segera terbit dalam waktu dekat. “Kami belum bisa detailkan seperti apa aturan baru ini karena sedang disiapkan, dan kami sudah bicara dengan industri seperti apa masukan dari mereka,” kata Adie.
Beragam upaya yang dilakukan pemerintah, menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira masih kurang optimal. Pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap impor produk tekstil ilegal masih sangat lemah. Hal itu terlihat dari masih banyaknya jalur-jalur tikus yang dijadikan sebagai tempat masuknya produk ilegal.
“Kalau masih ada impor ilegal yang berhasil masuk, berarti pengawasan kurang ketat dan mungkin ada oknum-oknum yang tidak jujur, ini harus menjadi evaluasi pemerintah,” kata Bhima kepada Validnews, Rabu (3/7).
Menurut Bhima, jika hal ini impor ilegal ini terus dibiarkan, maka akan terjadi persaingan yang tidak sehat terhadap industri tekstil lokal. Barang-barang ini biasanya di jual di toko retail maupun e-commerce dengan harga yang jauh lebih murah.
Hal ini juga akan membuat insentif menjadi importir, menjadi reseller, itu lebih besar dibandingkan menjadi produsen industri pengolahan. Akibatnya, akan semakin banyak perusahaan tekstil di Indonesia yang mengalami kebangkrutan.
Hal ini tentu akan mempengaruhi kondisi perekonomian di Indonesia. Di mana, daya beli masyarakat menurun dan angka pengangguran meningkat, yang tentu berdampak pada naiknya angka kriminalitas di masyarakat.
“Pemerintah perlu merumuskan kebijakan dan pengawasan yang lebih ketat jika ingin industri tekstil di Indonesia bangkit kembali,” katanya.
Dia menambahkan, kebangkrutan yang saat ini dialami oleh banyak perusahaan tekstil di Indonesia bukan hanya karena banyaknya produk impor legal ataupun ilegal.
Salah satu yang mesti disoroti adalah daya saing di industri manufaktur memang terus mengalami penurunan. Hal ini bisa terlihat dari banyaknya relokasi pabrik brand pakaian global ke Vietnam, Bangladesh, bahkan ke Ethiopia, karena melihat bahwa berbisnis di Indonesia biayanya relatif mahal.
“Infrastruktur, kemudian dari sisi biaya logistik juga Indonesia tergolong masih menjadi masalah,” tukasnya.
Belum lagi, adanya keberpihakan pemerintah terhadap industri TPT ini masih diragukan karena belum ada konsistensi dan cenderung maju mundur.
Pemerintah masih belum selesai mendorong industrialisasi di sektor pakaian jadi, alas kaki, kemudian langsung masuk kepada hilirisasi nikel. Jadi tidak memiliki fokus dan industri manufaktur seperti sektor yang kekurangan stimulus dan insentif dari sisi pemerintah.
“Hal-hal ini juga diperkuat dengan adanya kondisi makro ekonomi, seperti suku bunga yang tinggi, daya beli masyarakat khususnya kelas menengah yang rendah, kemudian juga ada masalah nilai tukar rupiah yang melemah,” sergahnya.
Soal Permendag Nomor 8 tahun 2024, dirinya menilai kebijakan tersebut merupakan salah satu strategi yang penting untuk meningkatkan level of playing field dari produk tekstil pakaian jadi domestik. Tapi itu tidak cukup karena ini harus didorong juga dari sisi internal kebijakan untuk tekstil pakaian jadi.
Pemerintah juga harus memikirkan cara untuk meningkatkan investasi yang lebih besar untuk SDM. Misalnya, dengan pendidikan vokasi yang lebih berkualitas yang lebih bisa serasi dengan kebutuhan industri tekstil pakaian jadi.