c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

10 Juni 2025

19:38 WIB

Terkurung Dampak Media Sosial

Tanpa pemahaman memadai, kenikmatan menikmati media sosial berpotensi menikam kesehatan mental pengguna.

Penulis: James Fernando

Editor: Leo Wisnu Susapto, Rikando Somba,

<p id="isPasted">Terkurung Dampak Media Sosial</p>
<p id="isPasted">Terkurung Dampak Media Sosial</p>

Ilustrasi Kecemasan bersosial media. Shutterstock/TheVisualsYouNeed.

JAKARTA – Pada awal 2025, Indonesia masuk jajaran negara yang warganya paling lama mengakses media sosial. Warga Indonesia menghabiskan 188 menit per hari di media sosial, atau sekitar 3 jam 8 menit.

Sementara itu, pengguna internet dunia rata-rata menghabiskan 141 menit per hari untuk mengakses media sosial menurut data We Are Social yang dilansir Februari 2025.

Mengacu data yang sama, rata-rata penduduk Indonesia mengakses internet, sekitar 7 jam 22 menit per hari. Atau melewati rata-rata global yang hanya 6 jam 38 menit.

Jumlah penduduk Indonesia yang mengakses internet termasuk media sosial pun cukup besar, yakni 212 juta orang. Jumlah ini naik dari tahun lalu yang mencatatkan 195 juta orang.

Pengguna media sosial aktif di Indonesia mencapai 143 juta orang, setara dengan 50,2% dari total populasi nasional. Ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pengguna media sosial terbesar di dunia. 

Alasan terbanyak bagi penduduk dunia untuk mengakses internet dan media sosial yakni, untuk berkomunikasi dengan teman dan keluarga (50,8%). Lalu, 39% untuk mengisi waktu luang, dan 34,5% mengandalkan media sosial untuk mendapatkan informasi terkini.

Selanjutnya, dari sebaran usia penduduk Indonesia mengakses internet, data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mencatat, 39,71% anak usia dini di Indonesia telah menggunakan telepon seluler dan 35,57% telah mengakses internet. Bahkan, 5,88% bayi di bawah usia satu tahun tercatat telah menggunakan gawai, dan 4,33% di antaranya sudah mengakses internet.

Tren ini terus meningkat seiring pertambahan usia. Sebanyak 58,25% anak usia 5-6 tahun menggunakan gawai, dan lebih dari 51,19% telah aktif di internet. Di beberapa wilayah tertinggal, anak usia 13–14 tahun bahkan mengalami kecanduan media sosial.

Gangguan Mental
Intensitas mengakses internet dan media sosial ternyata tak menambah intelektualitas warga. Sebaliknya, ketergantungan pada internet dan media sosial, mesti diwaspadai. Ada dampak lain, yakni menggerogoti kesehatan mental penggunanya.

Seperti diutarakan Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kementerian Kesehatan Imran Pambudi. Dia menyatakan, media sosial memiliki dampak negatif bagi masyarakat. Berpotensi mengubah perilaku masyarakat mulai dari membuat perbandingan dan tekanan sosial, cyberbullying, eksposur terhadap konten negatif hingga menurunnya interaksi tatap muka.

Media sosial bisa berperan negatif untuk kesehatan mental. 

Berdasarkan penelitian, media sosial bisa membuat para penggunanya depresi. Atau, dapat memicu kecemasan, seperti takut ketinggalan informasi atau merasa tidak cukup populer. Media sosial bisa membuat gangguan tidur karena paparan layar yang berlebihan dan stimulasi mental sehingga menyebabkan insomnia kepada penggunanya.

Penggunaan media sosial yang berlebihan, bisa menyebabkan ketergantungan dan mengganggu aktivitas sehari-hari dan hubungan sosial. Media sosial juga dapat memicu perbandingan sosial yang tidak sehat, membuat pengguna merasa tak puas dengan diri sendiri dan hidupnya.

Imran menyebut, ketergantungan media sosial juga bisa menimbulkan nomophobia, yakni ketakutan akan kehilangan akses atau tidak bisa menggunakan media sosial. Juga menyebabkan isolasi sosial, karena pengguna lebih banyak berinteraksi dengan layar daripada dengan orang lain.

"Sehingga secara langsung maupun tidak efek negatif dari penggunaan media sosial ini dapat berdampak pada kualitas hidup baik secara individu maupun kelompok, dengan menurunnya produktivitas dan kualitas sosial di dunia nyata," kata Imran, kepada Validnews, Senin (9/6).

Kemenkes mengkhawatirkan, dampak buruk ini bisa saja terpapar kepada segala rentang usia. Sebab, stressor yang diterima masing-masing individu bersifat subjektif sehingga bisa berdampak pada seluruh kelompok usia meski dengan porsi dan manifestasi yang berbeda.

Imran, mengutip BPS 2024 menunjukkan, 28,65% atau sekitar 79,8 juta dari total jumlah penduduk Indonesia merupakan pengguna internet aktif.

Menurut data Kemenko PMK, Gen Z menjadi kelompok usia terbesar pengguna internet dalam kategori tertentu yang kemudian disusul dengan generasi milenial.

Rinciannya pengguna dengan kategori Post Gen Z mencapai 48,10% dari jumlah penduduk yang terkoneksi internet. Gen Z, 87.02%, milenial 93,17%, Gen X, 83,69%, baby boomers 60,52%, Pre-Baby Boomer 32,00%.

Dia menyampaikan, dampak kesehatan jiwa yang berbeda-beda sesuai siklus hidup. Pasalnya, faktor perkembangan psikologis, kematangan emosi, dan kemampuan regulasi diri berbeda di setiap tahap usia.

Bagi pengguna anak dan remaja paling rentan terkena dampak kesehatan mental berupa kecemasan sosial, depresi, rendah diri dan gangguan citra tubuh (body image issue) yang sering muncul. Mereka juga sering mengalami FOMO (fear of missing out), cyberbullying, dan tekanan kelompok sebaya. Sebab, identitas diri mereka masih berkembang sehingga mudah terpengaruh oleh standar sosial.

Media sosial juga berdampak kepada kalangan dewasa meski mereka lebih bisa menyaring informasi dan menyeimbangkan kehidupan dunia maya dengan nyata. 

Media sosial bisa membuat kalangan usia dewasa mengalami burnout, depresi, perasaan tidak cukup, kecemasan sosial akibat perbandingan sosial. Kalangan dewasa juga rentan tertekan untuk tampil 'sukses' secara sosial dan profesional, utamanya dalam hal gaya hidup parenting dan pencapaian karir.

Imran menjelaskan, untuk meminimalkan risiko gangguan jiwa akibat media sosial, dibutuhkan pendekatan komprehensif. Mencakup peningkatan literasi digital, regulasi platform, serta intervensi langsung terhadap kelompok rentan.

Ada sejumlah langkah penting yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak kesehatan mental dari media sosial ini. Beragam tindakan bisa dilakukan, mulai dari promosi keseimbangan dunia maya dan nyata, edukasi orang tua dan guru, hingga pengembangan aplikasi yang mendukung kesehatan jiwa.

Kemenkes mengimbau, agar masyarakat mencegah dampak buruk media sosial. Mulai dari memanfaatkan media sosial secara terbatas dan bijak. Tak perlu membandingkan diri. Serta, membatasi waktu penggunaan maksimal 1–2 jam per hari. 

Terkait Pembatasan akses, Kemenkes mengacu pada rekomendasi WHO dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) soal batas waktu penggunaan gawai bagi anak-anak.

Lebih lanjut, Kemenkes tengah berkoordinasi dengan Kemenko PMK dan sektor terkait untuk menyusun peraturan nasional tentang pembatasan akses internet berdasarkan usia, peringatan konten, serta peningkatan pendampingan digital di lingkungan keluarga dan pendidikan.

“Kami harap, melalui kerja sama multisektor, kita bisa menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat,” lanjut Imran.

Kemenkes menegaskan, sarana pelayanan kesehatan pemerintah, mulai dari puskesmas hingga rumah sakit rujukan telah memiliki kapasitas untuk menangani kasus tersebut.

Psikolog klinis dan perawat jiwa di fasilitas kesehatan tingkat pertama telah diberikan pelatihan untuk menangani masalah psikososial, termasuk yang diakibatkan oleh penggunaan media sosial berlebihan.

Tak Sadar Terdampak
Guru Besar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU), Elmeida Effendy menambahkan, media sosial memiliki dampak kompleks terhadap kesehatan jiwa, rentan memicu depresi, kecemasan, bahkan pikiran untuk mengakhiri hidup.

Bagi banyak orang, berselancar di media sosial bukan sekadar hiburan. Ada yang mencari pelarian, ada pula yang tanpa sadar masuk ke dalam lingkaran perbandingan sosial yang tidak sehat.

Banyak unggahan di media sosial yang membahas soal kehidupan orang lain. Menimbulkan rasa iri, membuat masyarakat akan mengalami tingkat kecemasan yang bisa mengganggu kesehatan mental.  

Menurut dia, remaja menjadi kelompok yang paling rentan mengalami dampak negatif media sosial, yakni mereka berusia 13–19 tahun. Masa transisi menuju kedewasaan membuat mereka lebih mudah terpengaruh oleh tekanan sosial dan standar "sempurna" yang dibentuk oleh algoritma digital.

Di sisi lain, tak sedikit pula pengguna yang mulai mengalami kecanduan media sosial. Ciri-cirinya, mereka merasa harus terus membuka aplikasi demi mendapatkan dosis dopamin zat kimia di otak yang memberi rasa senang.

Sayangnya, rasa senang itu hanya sesaat. Ketika malam tiba dan ponsel masih menyala di genggaman, pola tidur terganggu.

“Kurang tidur berkaitan erat dengan gangguan emosi, stres, dan bahkan depresi,” tambah Elmeida.

Cyberbullying dan body shaming pun menjadi momok tersendiri. Komentar tajam dari pengguna anonim bisa membuat korban trauma, bahkan sampai kehilangan keinginan untuk hidup.

Elmeida menekankan, media sosial tidak sepenuhnya buruk. Ketika digunakan secara bijak, ia justru bisa menjadi sarana untuk mendapatkan dukungan sosial, informasi kesehatan mental, dan meningkatkan keterampilan sosial.

Pembatasan waktu penggunaan agar terhindar dari dampak negatif. Gunakan aplikasi pengingat, matikan notifikasi, dan buat jadwal penggunaan harian. Pilih konten positif. Ikuti akun yang membangun semangat, hindari akun yang menyebar kebencian atau tekanan sosial. Perkuat koneksi dunia nyata. Luangkan waktu untuk keluarga, teman, atau komunitas.

Emeilda juga menyarankan agar para pengguna melakukan digital detox. Hapus aplikasi secara berkala, dan hindari gadget sebelum tidur. Jaga privasi dan etika digital. Pikirkan dampak sebelum membagikan sesuatu dan hormati ruang pribadi orang lain.

Psikolog Universitas Indonesia (UI) Rose Mini Agoes Salim menuturkan, tidak semua orang cocok untuk aktif di media sosial, terutama anak-anak dan remaja yang belum siap secara mental maupun kognitif. Karena itu penggunanya harus berhati-hati.

Media sosial bisa membuat penggunanya kehilangan kontrol diri karena arus informasi begitu deras. terutama bagi pengguna dengan banyak pengikut, bisa memunculkan pro dan kontra yang berdampak negatif.

Kritik yang diterima pun bisa memicu ketidaknyamanan hingga tekanan mental. Secara perlahan hal tersebut akan mengganggu kesehatan mental para penggunanya.

“Media sosial membuat orang kehilangan kendali diri dan berpikir tidak sehat. Padahal, kalau tidak ditanggapi, tidak akan menjadi masalah,” kata Rose, kepada Validnews, Senin (9/6).

Rose juga menyoroti dampak media sosial terhadap pola konsumsi masyarakat. Dengan kemudahan berbelanja secara online, banyak orang kehilangan kendali diri dan tidak lagi mempertimbangkan skala prioritas kebutuhan. 

Dia juga mengingatkan, penggunaan media sosial sejak usia dini berisiko besar. Anak masih dalam posisi pengembangan kemampuan kognitif. Karena itu, anak-anak belum memiliki kemampuan memadai untuk menyikapi komentar negatif.

Pengawasan menurut dia, sangat disarankan. Orang tua diimbau untuk tidak memberikan akses penuh kepada media sosial bagi anak-anak, serta membimbing mereka dalam mencari informasi yang benar dan aman.

Rose juga menekankan pentingnya berpikir kritis dalam menggunakan media sosial. Sebab, berpikir kritis bisa menunda reaksi emosional, menyaring informasi, dan tidak langsung menyebarkannya ke orang lain. 

Bagi pengguna yang sudah mengalami dampak negatif media sosial seperti rasa takut, cemas berlebihan, hingga stres dan depresi, selayaknya segera mencari bantuan profesional.

Sementara itu, psikolog klinis dari Rumah Sakit Pluit Nirmala Ika menuturkan, dampak media sosial tak hanya dirasakan oleh generasi muda. Orang dewasa dan lansia juga bisa mengalami kecemasan, terutama jika mereka tidak dapat memilah informasi secara tepat. Sementara pada anak-anak, konten-konten yang tampak edukatif tetapi mengandung unsur kekerasan atau kekeliruan nilai, bisa berbahaya karena ditiru tanpa pemahaman.

“Cegah dampak buruk tersebut dengan beberapa langkah,” saran dia dalam wawancara dengan Validnews, Senin (9/6).

Pertama, membatasi penggunaan media sosial secara sadar, termasuk melakukan detoks digital secara rutin. Kedua, membekali diri dengan edukasi dan kemampuan berpikir kritis dalam menyikapi setiap konten.

Juga, segera akses bantuan profesional seperti psikolog atau psikiater jika sudah mengalami gangguan. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar