c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

02 Februari 2023

20:35 WIB

Terjegal Rokok Abal-Abal

Kenaikan cukai rokok seperti memacu produsen berani mengedarkan rokok ilegal

Penulis: James Fernando

Editor: Leo Wisnu Susapto

Terjegal Rokok Abal-Abal
Terjegal Rokok Abal-Abal
Barang bukti rokok ilegal hasil sitaan sebelum dimusnahkan di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (18/11/2020). Antara Foto/Umaru

JAKARTA – Untuk sekadar membeli rokok, Martin Rinto (23) harus menuju warung yang letaknya jauh dari rumah. Padahal, setidaknya ada dua warung yang berjarak hanya sepelemparan batu dari tempat tinggalnya di wilayah Jakarta Barat. Di dua warung itu, rokok juga dijual.

Namun, yang dicari Martin bukan rokok sembarang. Adalah rokok bermerk Dalil yang ingin dibelinya. Anda dan banyak pembaca lainnya mungkin juga tak pernah dengar brand tersebut. 

Ya, rokok ini memang tak banyak dijumpai di minimarket atau warung modern. 

“Cari yang murah, karena harga rokok sudah naik sekarang,” ucap Martin pada Rabu (1/2).

Sepintas, tampilan dan bentuk rokok produksi ‘Rokok Manalagi’ menyerupai produk rokok Dunhill, produksi PT British American Tobacco. Namun, bungkus rokok yang dibeli Martin, tak tertempel pita cukai. Harga, tentu miring. Sebungkus hanya Rp10 ribu saja. 

Martin tak peduli, ada atau tidak pita cukai dari rokok yang dia beli. Uang terbatas dan desakan candu nikotin, buatnya mengabaikan apakah rokok itu legal atau tidak.

Alasan sama juga diutarakan Joel Apoy (22). Laki-laki muda yang berdomisili di Jakarta Barat itu tak mempermasalahkan legalitas rokok yang dibeli ilegal. Dia mengaku tak tahu bagaimana membedakan mana rokok legal dan tak legal.

“Bisa beli dengan harga murah, lalu berbagi saat nongkrong bareng teman-teman,” ucap Joel ditemui pada waktu yang sama.

Pemilik warung yang disambangi dua pemuda itu juga mengaku tak tahu, rokok yang dia jajakan tergolong ilegal. Dia hanya mengungkapkan, rokok-rokok itu dibeli dari tenaga penjual (sales) rokok dengan harga murah. 

Dia juga tak menyangka, produk tembakau yang namanya jarang diketahui itu malah laris diburu konsumen.

Kenaikan Tahunan
Adapun cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) memang tak pernah turun. Nominalnya terus naik dari waktu ke waktu. Akibatnya, harga rokok terus naik pula. Karenanya, para perokok di kelas bawah, tetap berupaya memenuhi kebutuhan meski berburu rokok ilegal. 

Kebijakan tarif CHT ini ditetapkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) per tahun. Tahun 2023, rerata kenaikan mencapai 10%. Sebelumnya rerata 5,7%.

Ada empat aspek menjadi pertimbangan peningkatan tarif cukai tembakau ini. 

Pertama, aspek kesehatan melalui pengendalian konsumsi. Aspek optimalisasi penerimaan CHT. Aspek keberlangsungan industri. Terakhir, aspek potensi peredaran rokok ilegal.

Rokok ilegal sendiri didefinisikan DJBC sebagai rokok beredar yang berasal baik dari dalam negeri maupun luar negeri tanpa memenuhi ketentuan yang berlaku di Indonesia. 

Ketentuan yang berlaku serupa melengkapi rokok yang dijual ke pasaran dengan pita cukai, seperti diamanatkan Pasal 29 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. 

Kepala Subdirektorat Hubungan Masyarakat dan Penyuluhan, Direktorat Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea dan Cukai, Hatta Wardhana mengatakan, peredaran rokok ilegal di Indonesia mengalami peningkatan.

Dari survei dari Penelitian dan Pengembangan Ekonomika dan Bisnis (P2EB), Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) dan DJBC tahun 2022 diketahui, peredaran rokok ilegal di Indonesia mencapai 5,5%. 

Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2020 sebesar 4,8%. Masih lebih rendah dibanding 2018 sebesar 7% dan 12,10% pada 2015.

Dari catatan yang dimiliki DJBC  ada beberapa faktor yang menyebabkan peredaran rokok ilegal di pasaran. Salah satunya, kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT). 

Menurut DJBC, kenaikan tarif cukai ini membuat sebagian pengusaha menjual barang produksinya tanpa membayar cukai maupun pajak daerah. Cara itu mereka lakukan agar mendapatkan keuntungan tinggi.

Selama lima tahun terakhir, rata-rata kenaikan tarif cukai mencapai 11,5%. Kenaikan ini berdampak pada pertumbuhan penerimaan rata-rata sebesar 11,5%. Berdasarkan perhitungan DJBC penerimaan cukai rokok ini berkontribusi sebesar 12,2% dari total penerimaan negara.

Faktor lain yang menyebabkan peredaran rokok ilegal yang tinggi ini adalah kemampuan ekonomi dan sosio kultural serta ketidakpatuhan pengusaha. Karena itu, ada sebagian pelaku usaha yang berlomba-lomba memasarkan produknya secara ilegal.

Ada sejumlah modus yang dilakukan para penyokong rokok ilegal. Biasanya, para produsen akan memalsukan jenis barang pada paket yang dikirimkan melalui jasa pengiriman. Produksi rokok ilegal di kawasan perumahan pun kian meningkat. Modus barunya yakni memasarkan melalui e-commerce.  

“Karena itu, salah satu cara untuk mengidentifikasi rokok legal atau ilegal adalah dengan memperhatikan pita cukainya,” kata Hatta, Rabu (1/2).

Penindakan
Maraknya sebaran rokok ilegal ini membuat Bea dan Cukai terus berupaya untuk memutus peredarannya. Berdasarkan catatan direktorat di bawah Kemenkeu ini, wilayah di Pulau Jawa menjadi tempat yang marak dengan peredaran dan produksi rokok ilegal ini.

Sepanjang 2022 saja, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Kanwil DJBC) Jawa Barat melakukan 6.802 penindakan rokok ilegal. Kanwil DJBC Jawa Timur I melakukan sebanyak 3.211 penindakan.

Kemudian, Kanwil DJBC Sumatera Bagian Barat melakukan sebanyak 1.260 penindakan. Selanjutnya, Kanwil DJBC Jawa Timur II melakukan sebanyak 1.186 penindakan. Terakhir, Kanwil DJBC Banten melakukan 1.150 penindakan terkait rokok ilegal ini.

Dari sisi jumlah tembakau Ilegal paling banyak ditangani oleh Kanwil DJBC Jawa Timur I sejumlah 114 juta batang. Kanwil DJBC Sumatra Bagian barat sejumlah 86 juta batang. Kemudian, Kanwil DJBC Jateng dan DIY sebanyak 80 juta batang. Diikuti, Kanwil DJBC Jawa Timur II menindak 59 juta batang. Terakhir, DJBC Banten menindak 54 juta batang.  

Untuk menekan peredaran rokok ilegal ini, DJBC melakukan tindakan represif dan preventif, seperti Operasi Gempur. Operasi ini melibatkan TNI-Polri hingga Kejaksaan. 

“Penerapannya dilakukan secara periodik oleh seluruh satuan kerja DJBC agar kepatuhan pengusaha meningkat sekaligus menekan peredaran barang kena cukai ilegal,” jelas Hatta.  

Selain itu, penanganan peredaran rokok ilegal dilakukan saat barang kena cukai (BKC) keluar dari produsen. Tahap pemuatan atau pemindahan BKC dan/atau barang lain guna mencegah keberangkatan alat angkut.

Frekuensi penindakan tak bisa dibilang sedikit. Pada 2022, DJBC melakukan 17.588 pencegahan atau, rerata 48,1 kali per hari. Perkiraan nilai barang yang berhasil ditindak mencapai Rp432 miliar. 

Penindakan yang dilakukan dominan mayoritas menyasar Sigaret Kretek Mesin (SKM), yakni lebih dari 80%. 

Dari 17.588 penindakan, 93,76% di antaranya kasus pelanggaran cukai hasil tembakau. Terutama, produk rokok tidak ada pita cukai (polos).

DJBC menilai, Pulau Jawa mesti diawasi benar. Lantaran, sebagai sentra penyediaan bahan baku tembakau. 

“Jika peredaran rokok ilegal dapat dicegah, pendapatan negara melalui cukai dapat meningkat sehingga dapat dimanfaatkan untuk peningkatan program kesehatan yang bersifat promotif dan preventif mengatasi dampak merokok,” ucap Hatta.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menyampaikan, kenaikan cukai terlalu tinggi membuat ruang yang bisa dimasuki rokok ilegal.

Seperti, dengan kemampuan masyarakat yang tak mampu mengikuti kenaikan cukai, menyumbang berpengaruh pada harga jual rokok. 

Masyarakat kelas menengah ke bawah memilih untuk mengonsumsi rokok dengan harga murah. Mengabaikan, apakah ilegal atau tidak.

Tauhid paparkan, pada 2019, cukai rokok sempat menyentuh angka 23%. Tingginya tarif cukai inipun membuat peredaran rokok ilegal meningkat 4,7%. Setelah diturunkan menjadi 10-12%, jumlah peredaran rokok ilegal pun turun sekitar 3-4%.

Peredaran rokok ilegal, menurut Indef menyebabkan adanya potensi kerugian negara pada 2020 mencapai Rp4,38 triliun. Lebih tinggi dari 2019 yang mencapai angka Rp4,19 triliun.

Saat peredaran rokok ilegal marak, Tauhid menilai, pengawasan dari pemerintah begitu lemah. Kondisi ini terjadi karena anggaran penindakan dan sumber daya manusia (SDM) DJBC minim.

“Ini yang membuat pengawasan jadi terbatas. Akibatnya, ada daerah yang subur dengan rokok ilegal ada juga yang tidak,” kata Tauhid.

Padahal, pendapatan pemerintah dari peredaran rokok per tahun tergolong besar. Hitungan INDEF, dalam setahun nilai cukai rokok mencapai Rp220 triliun. Besaran ini dihitung dari nilai cukai 57% dari nilai rokoknya.

“Kalau nilai cukainya itu 57% mencapai Rp220 triliun, keseluruhan nilai rokok yang beredar itu Rp440 triliun per tahun. Totalnya itu sekitar ada 330 miliar batang per tahun yang beredar di masyarakat,” tambah Tauhid.

Agar peredaran rokok ilegal tertangani, INDEF menyarankan sejumlah langkah. Pertama, kenaikan tarif cukai rokok tidak terlalu tinggi. Lalu, koordinasi dengan pelaku-pelaku industri untuk memonitor peredaran rokok ilegal.

Selanjutnya, memperluas sumber daya manusia di daerah, serta meningkatkan anggaran terkait penindakan peredaran rokok ilegal.

Program Konversi
INDEF juga menyoroti, kebijakan konversi tanaman tembakau menjadi tanaman lain belum efektif benar. Sebab, tanaman tembakau merupakan komoditi yang tumbuh musiman. Selain itu, tanaman tembakau hanya tumbuh di daerah tertentu.

Apalagi, para petani tembakau biasanya berkontrak dengan produsen rokok tertentu. Dan, produsen rokok hanya menerima hasil panen tembakau terbaik. Hasil panen dengan kualitas buruk akan dilepas ke pasaran secara bebas. 

Karena itu susah untuk mencegahnya dari hulu. Pemanfaatan tembakau yang dijual bebas ini bisa saja menjadi rokok ilegal.

Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Budidoyo Siswoyo juga mengamini, program konversi tanaman tembakau sulit berjalan.

Alasannya, tembakau merupakan tanaman yang tumbuh di musim tertentu. Lokasinya pun di pegunungan. Selain itu, tak banyak tanaman yang bisa tumbuh di lahan tanaman tembakau.

“Petani tak merasakan kehadiran negara. Tak ada subsidi buat petani. Karena itu, kami jual hasil panen kami. Mau diapakan, terserah si pembeli,” kata Budidoyo, Rabu (1/2).   

Jika pencegahan dari hulu sulit dilakukan, sanksi hukum harusnya bisa mengatasinya di hilir. Ini bukan saja mencegah rokok ilegal. Akan tetapi juga, mencegah akses anak-anak membeli rokok, atau naiknya jumlah perokok anak di tanah air. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi perokok pada usia lebih dari 15 tahun pada 2022 adalah sebesar 28,26%.

Jumlahnya turun 70 bps dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 28,96%. 

Sementara prevalensi perokok anak, atau usia sama atau di bawah 18 tahun, sebesar 3,44%. Angka ini juga menurun 25 bps dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 3,69%.  Angka ini juga memperkuat tren penurunan prevalensi perokok anak yang telah terjadi sejak 2018, yaitu sebesar 9,65%, kemudian 2019 sebesar 3,87%, dan 2020 sebesar 3,81%.

Meski demikian, harusnya penurunan bisa terjadi lebih drastis. “Rokok itu produk legal, tetapi konsumsi dikendalikan oleh pemerintah,” tutur Sularsih, Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia pada kesempatan berbeda.

Sularsih menekankan, sanksi tegas penegak hukum masih ampuh untuk menekan peredaran rokok ilegal. Ketegasan penegak hukum juga mesti dibarengi dengan kegigihan pemerintah mengendalikan konsumsi rokok. Seperti, tegas membatasi usia pembeli rokok. 

“Indonesia itu negara hukum, harusnya penindakan tegas dilakukan untuk rokok-rokok ilegal ini,” pungkas Sularsih.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar