c

Selamat

Jumat, 29 Maret 2024

NASIONAL

23 November 2021

21:00 WIB

Tergerus Bahasa Pergaulan

Sebanyak 52% bahasa daerah di Indonesia terancam punah. Bahkan, 11% di antaranya sudah punah

Penulis: Gisesya Ranggawari, Seruni Rara Jingga, Oktarina Paramitha Sandy,

Editor: Leo Wisnu Susapto

Tergerus Bahasa Pergaulan
Tergerus Bahasa Pergaulan
Papan penunjuk arah di Malioboro, DI Yogyakarta menggunakan bahasa Jawa. Ist

JAKARTA – Penelitian Ethnologue Languages of the World pada 2019 mengungkap, Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah bahasa terbanyak kedua di dunia dengan 710 bahasa. Sementara itu, negara dengan jumlah bahasa terbanyak adalah tetangga sebelah timur Indonesia, yakni Papua Nugini dengan 840 bahasa. 

Lembaga sama pada Februari 2021 mendata setidaknya ada 7.139 bahasa di dunia. Temuan itu terus berubah, ada yang baru didapat, namun ada yang hilang. Kali pertama, lembaga itu memublikasikan temuan mereka pada 1951.

Dalam ranah yang sama, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) malah menemukan pada 2020 ada 718 bahasa daerah di Tanah Air. Identifikasi itu membawa hasil, 52% bahasa daerah terancam punah. Bahkan, 11% di antaranya sudah punah. Sementara yang masih bertahan sebanyak 37%.

Kepunahan bahasa daerah ini menyerang sisi timur Indonesia, khususnya Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Daerah tersebut memang paling kaya keragaman bahasa, terutama di Papua.

Di Maluku, tercatat total ada 66 bahasa daerah, dan 62 di antaranya terancam punah dalam waktu singkat. Ditekankan, ke semua bahasa itu tak lagi digunakan dalam waktu lima tahun ke depan.

"Secara teoretis, penyebabnya karena penuturnya sedikit, memprihatinkan sekali kondisi bahasa daerah di Maluku. Daya hidupnya mengkhawatirkan, lima tahun ke depan," ujar Kepala Badan Bahasa Maluku, Sahril kepada Validnews, Senin (23/11).

Misalnya, bahasa daerah di Maluku Tengah daya hidupnya hanya 26% berdasarkan jumlah penutur dan ketahanan penutur. Sementara di Kepulauan Tanimbar, daya hidup bahasa daerah di wilayah itu hanya 12%. Persentase daya hidup ini juga berdasarkan usia para penutur. Umumnya, penutur berusia 40 tahun ke atas dan tidak ada penerusnya. Anak-anak di Maluku lebih doyan bercakap menggunakan bahasa Melayu-Ambon dan Indonesia.

Bahkan, ada satu bahasa daerah, yaitu bahasa Masarete dari Kabupaten Buru yang kini hanya memiliki satu penutur. Penutur ini pun berusia 80 tahun.

Imbas kian berkurangnya penutur, menyebabkan persentase daya hidup bahasa-bahasa daerah tiap tahun pasti mengikuti. Karena para penutur yang sudah tua juga mulai diintervensi oleh bahasa lainnya yang lebih fungsional di daerahnya. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan menjadi penyebab utama. 

Keadaan ini sejalan dengan temuan Ethnologue Languages of the World pada 2021 bahwa seperlima bahasa di dunia tak lagi digunakan oleh anak-anak dalam keseharian mereka.

Di Indonesia, sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, rakyat Indonesia menyepakati bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu. Setelah ditetapkan sebagai bahasa nasional pasca-kemerdekaan, sehari-hari bahasa Indonesia digunakan di semua wilayah. Makin diperkuat dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.

Sementara bahasa daerah, berkurang banyak penggunannya. Kegiatan adat, itulah saat paling berharga bagi bahasa daerah, karena digunakan pada kegiatan di ruang publik. Di luar seremonial itu, bahasa nasional mendominasi percakapan dan pergaulan.

"Saya khawatir lima atau sepuluh tahun ke depan anak-anak sudah tidak tahu apa itu papeda (bubur sagu khas Maluku dan Papua.red) karena penamaan benda dari bahasa daerah juga sudah berubah," ungkap Sahril masygul.

Butuh Strategi
Ahli Bahasa Daerah dari Universitas Indonesia, Frans Asisi Datang membenarkan, salah satu faktor utama punahnya bahasa daerah karena bahasa Indonesia yang kian dominan digunakan.

Diuraikannya, bahasa daerah di timur Indonesia sangat banyak. Dalam satu kecamatan, bisa ada  beberapa bahasa daerah. Jika bertemu, warga dengan bahasanya yang berbeda pada akhirnya menggunakan bahasa Indonesia.

"Teorinya, kalau bahasa tersebut tidak kuat (minoritas) maka akan ditinggalkan dan kebanyakan orang menggunakan bahasa mayoritas, yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan," papar Frans kepada Validnews, Jumat (19/11).

Ia menilai, penyebab lainnya adalah karena kurangnya perhatian serta pembinaan dari pemerintah pusat dan daerah. Faktor lainnya, adalah perpindahan penduduk yang menyebabkan bertemunya dua bahasa. Padahal, menurut Frans, keberagaman bahasa daerah di Indonesia sangat penting untuk dipelihara. Satu bahasa daerah, biasanya dipercaya menyimpan magis kebudayaan suatu daerah atau suku.

Selain kebudayaan, Frans juga menilai bahasa daerah bisa menjadi media komunikasi yang efektif bagi usia muda untuk belajar. Karena berdasarkan penelitian, anak-anak lebih cepat menyerap dalam proses transfer ilmu dengan menggunakan bahasa daerahnya.

Riset yang dilakukan INOVASI, sebuah program kerja sama pendidikan antara pemerintah Australia dan Indonesia juga menunjukkan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar lebih efektif untuk proses belajar mengajar. 

Peningkatan kemampuan literasi siswa secara umum terjadi. Tingkat kelulusan tes literasi dasar (mengenal huruf, suku kata, dan kata) siswa dengan bahasa daerah meningkat dari 27% menjadi 79%.

Selanjutnya, penerapan bahasa ibu untuk aktivitas belajar mengajar di tingkat dasar, berpotensi mengurangi kesenjangan hasil belajar antara siswa yang lancar berbahasa Indonesia dan yang tidak. Daerah tempat program ini berlangsung mengalami penurunan kesenjangan antarsiswa yang lebih signifikan (7%) dibandingkan dengan daerah yang tidak melaksanakan pendekatan PMBBI (1%).

"Idealnya itu sejak di PAUD sudah menggunakan bahasa daerah, karena anak usia awal lebih menguasai bahasa daerah untuk transfer ilmu, jadi bisa lebih efektif," jelas Frans.

Ia menyarankan, pemerintah pusat dan daerah mulai melakukan strategi untuk mencegah kepunahan bahasa daerah semakin meluas. Caranya bisa dengan pemetaan bahasa, aktif mengadakan penyadaran kepada masyarakat dan dokumentasi. Karena kamus bahasa daerah juga mulai ikutan punah.

Frans yang merupakan orang asli NTT ini juga mendorong agar penggunaan bahasa daerah mulai diperluas, seperti di ruang publik dan acara resmi. Selain itu, cara memasukkan bahasa daerah ke dalam mata pelajaran juga merupakan strategi ampuh. Apa yang dilakukan beberapa negara Eropa, bisa dicontoh dalam upaya memulihkan kembali bahasa daerah dengan menggunakannya sebagai mata pelajaran. Biasanya, kata Frans, ada kelas khusus untuk penutur.

Upaya Pemerintah
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek, Endang Aminudin Aziz berpendapat lain. Menurut dia, memasukkan bahasa daerah khususnya bahasa di daerah timur ke mata pelajaran akan menemui jalan buntu.

Khusus di Indonesia Timur yang memiliki lebih dari setengah total bahasa daerah di Tanah Air ini akan kesulitan dan menimbulkan masalah baru. Lantaran, di satu wilayah bahasa daerahnya berbeda-beda.

"Tidak seperti di Pulau Jawa yang bahasanya lebih homogen. Kalau di timur, satu kecamatan saja ada belasan bahasa berbeda, susah milih bahasa yang mana. Nanti ada kecemburuan. Dilema," papar Aminudin saat berbincang dengan Validnews, Kamis (18/11).

Ia mengatakan, Badan Bahasa lebih memilih strategi pemetaan penutur, dokumentasi bahasa dan revitalisasi bahasa. Karena, cara-cara itu dirasa lebih cocok dengan kondisi keberagaman bahasa yang dimiliki Tanah Air.

Contohnya, pemetaan penutur adalah mengidentifikasi lokasi penyebaran penutur, jumlah penutur dan kemauan penutur untuk melestarikan bahasa. Lantaran, pelestarian bahasa daerah tidak ada unsur pemaksaan, jika penutur merasa bahasa daerahnya sudah tidak fungsional maka lambat laun akan punah.

Peran penutur menjadi vital, karena tingkat kepunahan suatu bahasa tergantung pada jumlah penutur. Jika penuturnya sudah tidak ada, secara teoretis bahasa tersebut bisa dikatakan punah. Sayangnya, upaya pemetaan penutur masih belum memuaskan terkendala geografis dan lokasi daerah yang menantang. Dari total 718 bahasa, baru 135 yang berhasil dipetakan oleh Badan Bahasa.

"Ada juga upaya revitalisasi bahasa, artinya mempertahankan daya hidup bahasa itu. Caranya dengan mencari tahu ciri-cirinya, bunyinya, dialek dan tata katanya. Kemudian dideskripsikan lalu kami susun untuk bahan ajar," beber Aminudin.


Ia mengungkapkan, revitalisasi bahasa ini dilakukan berbasis sekolah masyarakat. Jadi Badan Bahasa di daerah bekerja sama dengan pihak dinas pendidikan dan komunitas untuk mengajarkan bahasa daerah ke anak sekolah dengan cara modern dan kekinian. 

Misalnya, menulis materi stand up dan membawakannya dengan menggunakan bahasa daerah. Kemudian diadakan festival perlombaan dongeng, puisi, cerita pendek dan pidato.

"Jadi mereka praktik langsung. Mulai tahun 2022 juga kami akan menggerakan duta bahasa agar mereka menulis konten di media sosial dengan bahasa daerah," urai Aminudin.

Sementara dari sisi dokumentasi, Badan Bahasa sudah membuat beberapa kamus daerah. Setidaknya ada 280 lebih kamus bahasa daerah untuk kegunaan melestarikan bahasa daerah. Selain kamus, teks berupa tulisan dari lomba juga akan diterbitkan dan menjadi dokumen di Badan Bahasa daerah.

Ranting Penghalang
Meski sudah melakukan pelbagai upaya, strategi itu masih mengalami kendala di lapangan. 

Kendala pertama, tidak semua penutur memiliki kemauan melestarikan bahasanya. Kedua, banyak pemda yang mengabaikan instruksi pemerintah pusat untuk menjaga bahasa daerah. Ketiga biaya yang mahal dan waktu yang kama.

"Pelestarian ini memerlukan waktu lama karena terus menerus sementara jumlah orangnya sedikit, jadi biayanya mahal, sementara penuturnya terbatas," tutur Aminuddin, 

Plt Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbudristek, Supriyatno mengungkapkan, sejatinya pemerintah telah memasukkan bahasa daerah ke kurikulum pendidikan lewat mata pelajaran muatan lokal atau mulok.

Ada beberapa jenis, yang pertama mulok bahasa daerah akan masuk ke dalam struktur mata pelajaran, seperti mata pelajaran lainnya. Yang kedua, mulok bahasa daerah bisa berupa buku teks pelajaran. Jadi buku teks pelajaran yang digunakan ada muatan tentang bahasa daerah.

Yang ketiga, melalui buku-buku pengayaan. Jadi materi tentang bahasa daerah atau bahasa daerah itu sendiri pun bisa masuk ke dalam pengayaan atau buku bacaan di luar mata pelajaran. Kemudian, yang keempat melalui kegiatan ekstrakulikuler, seperti satuan pendidikan.

"Secara nasional sebetulnya pemerintah itu sudah menyiapkan rumahnya lah ya buat bahasa daerah. Bisa melalui pelajaran muatan lokal," kata Supri saat berbincang dengan Validnews, Senin (22/11).

Meskipun tidak memiliki data persentase yang jelas. Supri meyakini beberapa sekolah di beberapa daerah sudah menerapkan mata pelajaran mulok sebagai upaya melestarikan bahasa daerah. Di samping itu, untuk kelas rendah kelas 1-3 SD dianjurkan untuk menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerah dalam proses pembelajaran. Hal ini agar transfer ilmu lebih cepat. 

"Sebetulnya, kepunahan bahasa itu bukan karena tidak masuk di mata pelajaran. Kan banyak faktor ya. Tapi sebagian besar sudah banyak kok sekolah yang menerapkan mulok," sambung Supri.

Tak Miliki Manfaat
Pendiri Narabahasa sekaligus aktivis bahasa, Ivan Lanin menyebutkan bahasa daerah memang menempati urutan paling rendah dari ketertarikan masyarakat. Hal ini karena menurut Ivan bahasa daerah tidak memiliki tingkat manfaat yang besar dalam kehidupan sehari-hari.

Ia menilai, harus ada sebuah kebijakan yang sifatnya politis jika memang pemerintah ingin melestarikan bahasa daerah. Menurutnya, pemerintah tidak bisa lagi mengandalkan hal-hal yang sifatnya organik.

Namun, Ivan mengapresiasi pemerintah telah membentuk Kantor Bahasa di 29 provinsi. Pemerintah daerah juga sudah mulai menerapkan pelestarian bahasa daerah. Contohnya, di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta setiap pengumuman disampaikan lewat tiga versi bahasa, bahasa Jawa Indonesia dan bahasa Inggris. Selain itu, di beberapa daerah papan nama jalan juga menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa daerah.

"Itu merupakan salah satu cara untuk membuat orang sadar kalau di daerah tersebut memiliki bahasa daerah. Jadi harus didorong oleh pemerintah daerah, karena kalau tidak seperti itu yang membuat daya tarik bahasa daerah akan hilang," urainya.

Ivan mengusulkan, pemerintah memang perlu melakukan giat dokumentasi. Selain kamus, yang bisa dilakukan yaitu perekaman. Dengan cara ini, diharapkan bisa membantu orang memiliki minat dalam bahasa daerah. Bisa dikatakan ini berupa kamus yang berbentuk audio. Dokumentasi saja tidak cukup, karena bahasa memiliki bunyi, kata, kalimat, dan wacana (teks). Tidak ada maknanya jika mengetahui arti dari suatu kata kalau tidak tahu itu apa artinya dalam satu kalimat utuh.

Selain itu, perlu di dorong juga karya-karya sastra maupun karya non fiksi dari berbagai daerah itu bisa muncul. Karena kalau ada kamus tetapi tidak digunakan dan diimplementasikan tentu tidak ada gunanya. 

Ivan menyarankan, pemerintah perlu masuk ke dimensi milenial. Misalnya, menggandeng komikus dengan bahasa Jawa, tentu ada daya tarik sendiri untuk masyarakat dan kalangan lain yang membacanya untuk mempelajari bahasa Jawa. 

"Bisa dikatakan untuk melestarikan bahasa daerah ini, bisa melalui karya sastra, komik, cerita, dan juga tayangan. Tapi ini perlu dilakukan oleh semua pihak, tidak hanya pemerintah saja," tandas Ivan. 

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER