27 November 2023
18:00 WIB
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA - Pakar entomologi dan Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Damayanti Buchori menegaskan, teknologi wolbachia bukan rekayasa genetik. Wolbachia merupakan bakteri alami yang terdapat dalam tubuh serangga. Bakteri ini dapat memblok virus dengue sehingga penularan demam berdarah dengue (DBD) pada manusia tidak terjadi.
Saat ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah menerapkan teknologi wolbachia di sejumlah kota untuk mengendalikan DBD. Cara kerjanya, nyamuk berwolbachia dilepas ke alam untuk kawin dengan nyamuk normal. Perkawinan ini membuat nyamuk normal terinfeksi wolbachia.
"Misalnya, kita manusia terus kita terinfeksi bakteri tifus ... apakah genetika manusia berubah ketika kita terinfeksi bakteri tersebut? Enggak kan, genetik kita tetap manusia. Itu adalah yang terjadi pada nyamuk," terangnya dalam webinar yang diadakan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Senin (27/11).
Dia melanjutkan, infeksi wolbachia tidak mengubah genom nyamuk. Bahkan, wolbachia pada nyamuk bisa hilang jika diberi antibiotik. Nyamuk berwolbachia juga fenomena yang disebutnya sangat umum terjadi.
Ahli ekologi evolusioner ini juga menyebut, transfer wolbachia dari satu spesies ke spesies lain hingga saat ini belum terbukti. Transfer horizontal pun hanya bisa terjadi secara alami dalam waktu jutaan tahun. Saat ini, transfer wolbachia hanya terjadi dari nyamuk betina kepada telurnya.
"Itu tidak akan mengubah genom. Jadi, ini bukan rekayasa genetika," tegasnya.
Di samping itu, perempuan yang akrab disapa Dami ini juga mengatakan nyamuk berwolbachia tidak ada hubungannya dengan virus Japanese Enchepalitis (JE) penyebab radang otak. Seperti diketahui, beredar rumor di masyarakat bahwa nyamuk berwolbachia menurunkan populasi Aedes aegypti. Ini disebut meningkatkan populasi nyamuk Culex pembawa virus JE.
Ia menjelaskan, penerapan wolbachia tidak mengurangi populasi Aedes aegypti. Sebab, yang terjadi adalah penggantian dari Aedes aegypti normal menjadi Aedes aegypti berwolbachia. Sehingga, anggapan tersebut bisa jadi adalah klaim yang perlu diteliti lebih lanjut.
Senada, Guru Besar Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis (SKHB) Institut Pertanian Bogor (IPB), Upik Kesumawati menambahkan, peningkatan kasus JE di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak ada kaitannya dengan penerapan wolbachia.
Adapun nyamuk penyebab JE banyak ditemukan di sekitar persawahan dan pemukiman. Berkaitan pula dengan keberadaan babi dan burung-burung liar yang menjadi reservoir.
"Sebaran JE itu hampir di seluruh Indonesia. Terutama fokusnya adalah di daerah-daerah yang erat kaitannya dengan pemeliharaan babi," pungkasnya.