10 Maret 2023
14:30 WIB
JAKARTA- Teknologi pengolahan sampah menjadi bahan bakar atau refuse derived fuel (RFD) dinilai tidak tepat untuk Jakarta. Menurut Pemerhati Masalah Persampahan Widi Pancono alasannya karena dalam pengaplikasiannya masih banyak kekurangan dan kelemahan.
"Jangan sampai sampah ini menjadi masalah tanpa usai dan terlalu lama kita hanya berkutat pada debat-debat tak berujung tentang metode pengolahan sampah," kata Widi yang juga Ketua Umum Kopetindo (Koperasi Energi Terbarukan Indonesia) seperti dilansir Antara di Jakarta, Jumat (10/3).
Menurutnya, sudah tersedia metode atau cara yang baik dan efektif untuk mengatasinya. Karena itu diharap masyarakat tak menanggung beban pencemaran sampah lebih lama lagi.
Apalagi, kata Widi, pemerintah sudah berkomitmen untuk menghentikan pembangunan TPA atau Tempat Pembuangan Akhir sampah pada tahun 2030. Ia mengatakan, sampah memang masih menjadi masalah besar di sejumlah kota besar di Indonesia, terutama kota-kota besar di Jawa.
"Khusus untuk Jakarta yang setiap hari menghasilkan 8.000 sampai 8.5000 ton sampah, harus menjadi perhatian serius. Perlu ada penanganan dan teknologi tepat untuk mengatasinya," ucap Widi.
Dia mengatakan, setiap kota mempunyai karakteristik sendiri. Karen aitu, sudah sel;ayaknya solusi penyelesaian masalah sampah di masing-masing kota juga berbeda.
“Jangan sekadar mengolah sampah tanpa memahami karakteristik tersebut dan jangan sampai sembarangan menerapkan cara pengolahan sampah,” tuturnya.
Untuk kota metropolitan dengan jumlah sampah yang sangat besar dan lahan terbatas, maka mengolah sampah untuk menghasilkan energi listrik, jelas lebih sesuai. Widi mengatakan RDF merupakan teknologi pengolahan sampah melalui proses homogenizers menjadi ukuran yang lebih kecil melalui pencacahan sampah atau dibentuk menjadi pelet.
Hasilnya akan dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan dalam proses pembakaran recovering batu bara untuk pembangkit tenaga listrik. Namun teknologi RDF, kata Widi, tidak tepat diterapkan di Jakarta. Di Jakarta, teknologi insinerator lebih tepat diterapkan karena sampah akan habis dibakar, baik sampah organik maupun anorganik.
“Yang pasti, sampahnya harus musnah. Ini yang terpenting. Dan juga harus mampu menghasilkan energi listrik terbarukan sehingga dapat menambah bauran energi listrik terbarukan di sistem pembangkitan PLN. Metode insinerator dapat melakukan itu dengan baik,” katanya.
Sejumlah negara seperti Singapura, Jepang, Korsel, dan beberapa negara di Eropa, lanjutnya, sudah menggunakan teknologi insinerator dan terbukti sangat efektif.
Dikatakannya, saat ini sudah saatnya pemerintah serius menangani masalah sampah. Apalagi sudah ada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
RDF Rorotan
Untuk diketahui, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI membidik lahan di Rorotan, Jakarta Utara, sebagai lokasi untuk pembangunan fasilitas pengolahan sampah menjadi bahan bakar hijau RDF kedua setelah Bantar Gebang.
“Aset pemda ada di sana (Rorotan),” kata Kepala DLH DKI Asep Kuswanto di Balai Kota Jakarta, Senin.
Menurut dia, lahan dalam kota seluas sekitar lima hektare itu potensial dibangun fasilitas produksi RDF yang saat ini juga dibangun di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Bekasi, Jawa Barat. Fasilitas serupa di TPST Bantargebang itu saat ini siap uji coba dan ditargetkan beroperasi akhir Februari atau awal Maret 2023.
Asep memastikan rencana di Rorotan, Jakarta Utara itu bukan sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Jakarta, namun tempat mengolah sampah menjadi RDF. Rencananya, tahun ini pihaknya memulai kajian atau studi kelayakan pembangunan fasilitas pengolahan sampah menjadi RDF.
“Mudah-mudahan tahun depan mulai bisa memilih mitra dan membangun kontruksinya,” imbuhnya.
Ia menargetkan fasilitas tersebut dapat mengolah 2.000 ton sampah per hari menjadi RDF. Asep mengharapkan dengan adanya rencana tersebut ditargetkan pengiriman sampah dari Jakarta ke TPST Bantargebang semakin berkurang.
Per hari, lanjut dia, rata-rata jumlah sampah dari DKI Jakarta yang dikirim ke Bantargebang mencapai 7.500 ton per hari. Akibatnya, area TPST Bantargebang makin menyempit dengan gunungan sampah yang makin tinggi.
Sementara itu, fasilitas pengolahan RDF di Bantargebang kini siap menjalani uji coba sistem terintegrasi yang mampu mengolah 2.000 ton sampah lama dan baru per hari menjadi RDF.
RDF di TPST Bantargebang tak hanya mengurangi tumpukan sampah namun menyulap limbah itu menjadi nilai ekonomi. Hingga saat ini, sudah ada dua perusahaan swasta yang akan membeli hasil RDF itu untuk digunakan sebagai bahan bakar setara batu bara untuk industri semen.
DLH DKI mengestimasi pembangunan fasilitas untuk memproduksi sampah menjadi bahan bakar alternatif RDF di Rorotan, Jakarta Utara, mencapai Rp1 triliun yang menggunakan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp456,3 miliar dan sebesar Rp613,9 miliar dari APBN DKI tahun 2022.
“Kalau belajar dari yang kami bangun di Bantargebang itu Rp1 triliun, kemungkinan besarannya itu juga,” kata Asep.
Untuk sumber dana pembangunan fasilitas tersebut, pihaknya akan mengupayakan kerja sama dengan Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) atau Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup. Untuk tahap awal, pihaknya akan menyusun kajian kelayakan (feasibility study/FS) rencana pembangunan fasilitas pengolahan sampah terpadu di Rorotan, Jakarta Utara.
“Kalau FS-nya sudah jadi itu tahun 2024 mudah-mudahan dialokasikan anggarannya untuk membangun fasilitasnya,” kata Asep.