c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

17 Januari 2025

11:56 WIB

Tambah Waktu Reses, DPD RI Dinilai Tak Punya Sense Of Crisis

Uang reses yang diberikan secara lumsum kepada anggota DPR dan DPD cukup besar, sekitar Rp350 juta per orang sekali reses. Sementara jumlah anggota DPD mencapai 152 orang

<p>Tambah Waktu Reses, DPD RI Dinilai Tak Punya<em>&nbsp;Sense Of Crisis</em></p>
<p>Tambah Waktu Reses, DPD RI Dinilai Tak Punya<em>&nbsp;Sense Of Crisis</em></p>

Ketua DPD RI 2024-2029 terpilih Sultan B Najamudin, didampingi tiga Wakil Ketua DPD RI terpilih Tamsil Linrung, GKR Hemas, dan Yorrys Raweyai, mengambil sumpah jabatan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (2/10/2024). Antara/ Aditya Pradana Putra

 

JAKARTA - Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho mengkritik keras kebijakan penambahan jumlah reses di DPD RI pada rentang bulan Oktober hingga Desember 2025, dari seharusnya satu kali, menjadi dua kali. Menurutnya, menambah jumlah reses dari empat kali menjadi lima kali pada tahun persidangan terakhir, dianggap tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan dapat berujung pada pelanggaran prinsip pengelolaan keuangan negara.

Sebab, kata Hardjuno, masa reses DPD harus mengikuti masa reses DPR. Sedangkan di rentang Oktober hingga Desember 2025, DPR hanya satu kali reses.  

“Saya kira, selain melanggar UU MD3, penambahan reses ini tentu akan memberikan tekanan yang berat kepada APBN kita. Ini mencerminkan para pembuat kebijakan di DPD tidak memiliki sense of crisis,” kata Hardjuno di Jakarta, Kamis (15/1).

Ia pun menegaskan, uang pajak rakyat yang dipakai untuk membiayai penambahan reses anggota DPD RI ini sangat besar. Bahkan angkanya mencapai miliaran rupiah.

“Kita tahu uang reses yang diberikan secara lumsum kepada anggota DPR dan DPD cukup besar. Kalau tidak salah setiap orang menerima lebih kurang Rp350 juta sekali reses. Sedangkan jumlah anggota DPD sekarang 152 orang. Jadi dikalikan saja, berapa uang APBN yang terkuras untuk penambahan reses DPD RI ini,” tegas Hardjuno.

Hardjuno yang juga peneliti studi perampasan aset di beberapa negara itu mengatakan, penambahan reses DPD RI bisa dianggap tidak sesuai dengan prinsip efisiensi dan akuntabilitas. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU yang mengatur pengelolaan keuangan negara.

“Selama ini jadwal sidang dan reses DPD telah disinkronkan dengan DPR untuk memastikan fungsi legislasi, pengawasan, dan representasi berjalan efektif,” serunya.

Dalam pandangan Hardjuno, langkah penambahan reses ini dapat mencederai prinsip-prinsip tata kelola keuangan negara. “Kami minta setop menghambur-hamburkan dana APBN untuk kegiatan reses ini,” pintanya.

Hardjuno juga menguraikan, perilaku korup tidak hanya berbentuk tindakan melawan hukum secara langsung, tetapi juga perilaku yang tidak mematuhi prinsip-prinsip dasar pengelolaan keuangan negara. Dalam konteks ini, prinsip keadilan, transparansi, dan tanggung jawab harus tetap ditegakkan.

Karenanya, dia berharap kritik ini dapat menjadi perhatian bagi pimpinan DPD RI agar lebih bijak dalam membuat kebijakan anggaran. “Kami harapkan, semua pihak yang terlibat bersikap terbuka terhadap kritik dan segera mengambil langkah korektif untuk memperbaiki kebijakan yang telah diambil,” tuturnya.

Langgar UU
Sebelumnya, Indonesian Corrupt Workflow Investigation (ICWI), meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki dugaan pelanggaran yang terjadi. Menurut ICWI, penambahan jumlah reses yang tidak sesuai aturan berimplikasi pada penggunaan anggaran negara yang tidak semestinya, terutama di tengah kondisi fiskal negara yang defisit.

Awalnya saya membaca berita yang disampaikan mantan anggota DPD RI asal Aceh Fachrul Razy, yang mengungkapkan, sekaligus mengingatkan pimpinan DPD baru, lantaran menambahkan jumlah reses melampaui jumlah reses DPR.  Ada beberapa Undang-Undang yang patut diduga dilanggar,” kata pendiri ICWI Tommy Diansyah, di kantor KPK RI, Senin, (13/1).

Ditambahkan Tommy, beberapa UU yang patut diduga dilanggar adalah UU MD3 yang mengatur, masa reses DPD harus mengikuti masa reses DPR. Juga UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, di Pasal 3 Ayat (3), yang menyebutkan, Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pegeluaran atas beban APBN/APBD jika anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia.

Tommy juga menyinggung UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, di mana ditegaskan dalam Pasal 3 Ayat (1) bahwa keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

“Dan perlu diingat, korupsi itu kaidahnya luas, termasuk perilaku tidak mematuhi prinsip. Karena itu di dalam pemberantasan korupsi, selain menyangkut delik-delik, juga menyangkut kaidah-kaidah dalam penyelenggaraan keuangan negara,” imbuhnya.

Oleh karena itu, Tommy berharap apa yang sudah disampaikan secara publik oleh mantan anggota DPD Fachrul Razy dapat ditindaklanjuti oleh KPK. Di antaranya dengan melakukan pengumpulan bahan dan keterangan untuk kepentingan penyelidikan adanya kemungkinan pelanggaran hukum terhadap penyelenggaran keuangan negara yang ujungnya merugikan masyarakat.

“Kami mendukung langkah ICWI ini demi tertibnya pengelolaan keuangan negara,” cetus Harjuno.

Mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) asal Aceh Fachrul Razy sendiri mengaku heran dengan penambahan jumlah reses di masa persidangan terakhir dari periode keanggotaan DPD RI. Ia pun mengingatkan pimpinan DPD RI masa bakti 2024-2029, penambahan masa reses tersebut berpotensi menjadi masalah hukum.

Fachrul Razy yang menjadi anggota DPD RI dua periode sejak 2014 hingga 2024 itu menyatakan, sebelumnya tidak pernah terjadi masa reses yang ditambah di masa persidangan terakhir dari periode keanggotan DPD RI. Karena sesuai aturan perundangan, masa reses DPD RI harus mengikuti masa reses DPR RI. Sehingga khusus di masa persidangan terakhir, reses hanya empat kali, bukan lima kali.

Ia pun mempertanyakan tugas dan fungsi legislasi DPD apabila masa resesnya tidak mengikuti jadwal yang sama dengan DPR karena implikasinya terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) di DPR.

“Karena itu UU MD3 berbunyi masa reses DPD mengikuti DPR agar bisa selaras dalam proses legislasi dalam konteks pembahasan RUU. Jangan sampai DPR bahas RUU, DPD sedang reses," tuturnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar