01 Juli 2022
20:30 WIB
Penulis: James Fernando
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA – "Ayah mau naik kura-kura," teriak Jelita (5) kepada ayahnya sambil menunjuk patung di tengah-tengah Taman Kura-kura di kawasan Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Namun, Viki Hikmahanto (38), ayah sang anak, melarang. Viki khawatir Jelita terjatuh. Maklum, tinggi patung itu hampir mencapai 2 meter.
Viki dan kedua anaknya baru pertama kali mampir di taman ini. Hari itu, dia sengaja mengajak anak-anaknya bermain di taman, sembari menunggu istri pulang kerja.
Mulanya Viki bingung. Dia tak tahu lokasi taman-taman di seputaran Jakarta Selatan. Pun mereka bisa sampai ke Taman Kura-kura karena berbekal Google Maps.
Viki memang mencoba membiasakan anak-anaknya untuk bermain di ruang terbuka hijau. Biasanya mereka mengunjungi Taman Wijaya Kusuma di Semanan, Jakarta Barat. Lokasinya dekat dengan rumah Viki yang terletak di kawasan Cipondoh, Kota Tangerang, Banten. Sesekali waktu, anak-anaknya juga diajak bermain di Taman Suropati di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Sebelum tiba di Taman Kura-kura, mereka sempat mampir ke Taman Gajah yang jaraknya tak jauh dari situ. Sekali lagi berkat Google Maps. Namun, di situ kedua anaknya tak betah. Tak ada fasilitas permainan untuk anak di sana.
Sementara di Taman Kura-kura, dahi Viki berkerut keheranan. Bagaimana tidak, selama berjam-jam menemani kedua anaknya bermain, Viki tak melihat ada pengunjung lain yang datang di taman itu. Siang itu, cuma mereka yang memanfaatkan taman.
Padahal, Taman Kura-kura menurut dia tergolong bersih dan asri. Viki merasa nyaman di sana. Pohon-pohon yang tampak rimbun mampu menghalau terik matahari.
Sebenarnya, saat mencari taman-taman terdekat via Google Maps, Viki juga sempat menemukan sejumlah taman lainnya di wilayah Jakarta Selatan. Misalnya, Taman Langsat. Namun, ketika kendaraannya melewati taman ini, suasananya tak lebih baik dari Taman Kura-kura.
Sepintas Viki melihat, taman ini hanya dimanfaatkan beberapa orang. Itu pun kebanyakan para pedagang keliling yang sedang beristirahat.
“Ya, taman di Jakarta Selatan banyak, tapi sama saja dengan taman kura-kura, sepi. Paling yang ramai Taman Puring, karena luas dan fasilitas bermain anak,” urai Viki, saat berbincang dengan Validnews, Jumat (1/7).
Muhammad Ismail (42), seorang pedagang kopi keliling yang biasa mangkal di Taman Kura-kura pun berpendapat sama. Selama belasan tahun berjualan di sekitar Taman Kura-kura, Ismail tak pernah menyaksikan taman itu dipenuhi para pengunjung. Paling banter dua atau tiga orang saja yang mendatangi taman ini di siang hari.
Setahu Ismail, pengunjung yang sering berkunjung rata-rata bekerja sebagai sopir taksi atau ojek online. Biasanya mereka hanya mengaso sesaat di sana.
Ismail sama herannya dengan Viki. Dia heran tak banyak pengunjung yang menghabiskan waktu di taman itu.
Satu-satunya yang kurang di sana, menurut Ismail hanya pencahayaan pada malam hari. “Saya juga bingung. Apa karena wilayah orang-orang kaya? Jadi, enggak ada yang datang, atau ini karena kurang sosialisasi,” kata Ismail.
Menanti Perbaikan
Kontras dengan Taman Kura-kura, keadaan Taman Jati Pinggir yang terletak di kawasan Jalan Petamburan I, Jakarta Pusat justru memprihatinkan. Taman ini memang memiliki fasilitas permainan anak yang cukup beragam. Sayangnya, seluruh fasilitasnya sudah tak utuh lagi.
Taman Jati Pinggir ini juga tampak gersang tak seperti layaknya tampilan taman pada umumnya yang beralaskan rerumputan. Sejauh mata memandang, hanya tampak tanah kemerahan bercampur debu di sana.
Meski terbilang tak layak, nasib taman ini justru tak sama dengan Taman Kura-kura. Taman ini ramai dikunjungi. Utamanya, anak-anak kecil yang tinggal di sekitar taman. Mereka tetap terlihat asyik bermain meski tak dapat menikmati fasilitas permainan di taman ini secara utuh.
Di taman ini sebetulnya ada dua unit ayunan. Tapi rantai yang mengikat salah satu ayunan itu sudah tak ada. Warga sekitar harus mengganti rantai yang putus itu menggunakan tali tambang agar anak-anak tetap bisa bermain.
Tumpukan sampah juga terlihat di pinggir taman. Pengunjung jadi terpaksa memaklumi bila sesekali mencium aroma tak sedap dari tumpukan sampah itu.
Salah seorang warga, Ali Imron (19) menyampaikan, taman ini sudah lama menjadi tempat berekreasi buatnya dan teman-teman. Tempat ini jadi pilihan karena dekat dari rumah.
Menurut cerita Ali, taman ini mulanya memiliki tampilan yang menarik buat dikunjungi. Hanya saja, kondisinya lama-lama tidak terurus. Fasilitas taman yang rusak tak pernah diperbaiki.
Setahu dia, petugas pertamanan dari Pemprov DKI hanya beberapa kali mengganti rumput-rumput yang mulai gundul. Namun, karena kualitas rumput yang ditanam jelek dan tak ada perawatan, penampakannya kembali terlihat gersang beberapa saat kemudian.
Dia tahu kondisi Taman Jati Pinggir tak seperti kondisi taman-taman lain di Jakarta Pusat. Taman Menteng, misalnya. Taman ini setahunya sangat terawat. Fasilitasnya juga memadai dan nyaman untuk digunakan para pengunjung.
“Ya, memang kondisi taman ini sudah lama begini, tidak diperbaiki lagi. Tapi bagaimana pun tetap kami datangi,” kata Imron pasrah, saat berbincang dengan Validnews, Jumat (1/6).
Penikmat taman ini disebut Imron cukup banyak, terutama para remaja. Kalau malam tiba, mereka biasanya akan datang ke sana untuk sekadar bercanda ria dan bernyanyi. Menilik hal ini, dia berharap pemerintah setempat mau membenahi taman ini. Setidaknya ada perbaikan fasilitas permainan anak-anak.
Harapan serupa disampaikan Fikri Maulana (17), teman Imron. Dia berharap pemerintah setempat mau melakukan perbaikan fasilitas, sehingga warga sekitar dapat nyaman melepaskan penat atau kongko bersama.
Lain tampilan Taman Jati Pinggir, lain pula tampilan Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat. Meski sama-sama ramai dikunjungi warga Jakarta, Taman Suropati terlihat lebih terawat dan asri. Namun, taman ini tak seperti Taman Jati Pinggir atau Taman Kura-kura yang menyediakan tempat bermain untuk anak.
Namun, taman ini dilengkapi dua kolam lengkap dengan air mancur. Kemudian, ada beberapa kandang burung merpati, serta lemari buku bacaan. Rimbunnya pohon-pohon di taman ini juga menambah keasrian.
Taman ini seringkali dipakai untuk lokasi berolahraga. Ada pula mereka yang datang hanya untuk kongko-kongko dengan teman, sembari sesekali berswafoto.
Tommy Wicaksana (25), warga Bekasi, Jawa Barat, mengaku hampir setiap hari datang ke Taman Suropati. Dia biasanya datang untuk lari sore. Taman ini jadi pilihan karena lokasi kantor yang dekat. Taman ini dirasanya sangat nyaman untuk berolahraga, meski lokasinya berada di pinggir jalan raya.
Sesekali, ketika akhir pekan, dia dan beberapa teman-temannya yang juga tinggal di Bekasi juga mendatangi taman ini untuk kongko. “Ya, Taman Suropati nyaman lah untuk jadi pilihan refreshing. Biayanya nongkrongnya juga murah,” kata Tommy, saat ditemui Validnews, Jumat (1/7).
Taman Instagramable
Terhadap taman-taman yang ada, Pemprov DKI, seperti yang disampaikan Gubernur Anies Baswedan, berniat merevitalisasi 296 taman kota pada 2022. Namun, jumlah ini hanyalah sedikit dari total keseluruhan taman yang ada di DKI Jakarta.
Menurut data BPS, jumlah taman kota dan lingkungan yang ada DKI Jakarta mencapai 2.151 taman. Taman ini tersebar di seluruh wilayah administrasi. Paling banyak berada di wilayah Jakarta Selatan.
Meski revitalisasi belum mencakup seluruhnya, Pengamat tata kota dari Universitas Indonesia (UI), Aziz Muslim, tetap mengapresiasi niatan Pemerintah DKI Jakarta ini. Karena Jakarta menurutnya sangat membutuhkan ruang terbuka hijau (RTH) untuk mengurangi polusi udara.
Meski begitu, pemerintah setempat tetap perlu untuk menguatkan fungsi dan manfaat dari taman-taman yang ada. Setiap taman yang dibangun pemerintah menurut harusnya mengikuti perkembangan zaman.
Dia menyerukan, pemerintah harus merancang taman yang menarik. Pemerintah dapat membuat spot-spot menarik sehingga masyarakat tertarik datang untuk melakukan swafoto.
Lalu, fasilitas taman baiknya perlu dilengkapi dengan sarana dan prasarana anak bermain. Jangan lupakan juga keberadaan toilet umum dan tempat sampah.
Kalau tidak ada sejumlah fasilitas itu, masyarakat diyakininya tak akan memanfaatkan taman kota yang ada, meski jumlahnya mencapai ribuan. “Kalau keadaan begitu, lantas siapa yang akan menikmati taman-taman tersebut,” kata Azis, kepada Validnews, Jumat (1/7).
Hal lain yang harus diperhatikan Pemerintah DKI adalah urutan pengawasan dan perawatan ribuan taman yang dimilikinya. Jangan sampai muncul anggapan Pemprov DKI Jakarta hanya bisa mampu membangun ribuan taman namun tak bisa merawatnya.
Azis menyarankan Pemprov DKI belajar dari Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur. Sebab, saat melakukan penelitian mengenai cara Pemerintah Surabaya menata tamannya, Azis melihat hal yang menarik.
Pemkot Surabaya diamatinya memberdayakan Aparatur Sipil Negara (ASN) setempat untuk mengawasi taman-tamannya. Ada kebijakan di Surabaya yang membuat ASN untuk mengawasi dan memonitor taman-taman. Mereka membuat jadwal rutin untuk tiap ASN agar taman-taman itu tetap diawasi. Dengan begitu, taman-taman akan terawat.
Tak hanya itu saja, ASN di Surabaya juga wajib menunjukkan dan mengunjungi taman-taman yang dibangun pemerintah bersama keluarganya. Cara ini sedikit banyak bisa mempengaruhi masyarakat lainnya. Sebab taman-taman menjadi terlihat selalu dikunjungi oleh masyarakat.
“Pemerintah DKI bisa mencontoh ini. Ingat peran pengawasan itu sangat penting. Jangan sampai Jakarta hanya bisa membangun tapi tidak bisa merawat,” kata Azis.
Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna pun mengutarakan hal yang sama. Dalam perbincangan dengan Validnews, Yayat mengatakan bahwa Pemerintah DKI harus mengingat kembali fungsi utama dari taman. Jadi, bukan sekadar upaya memenuhi RTH 30%.
Menurut dia, setiap taman yang dibangun harus memperhatikan aspek sosiologis masyarakat. Karena jika tidak, walaupun pemerintah setempat mampu menghadirkan banyak taman, tapi pengunjungnya tidak akan merata.
Dia mencontohkan Taman Kodok di kawasan Menteng. Karena tidak ada memiliki daya tarik atau menawarkan keunggulan, taman ini selalu sepi dibandingkan Taman Suropati dan Taman Menteng.
Saat ini, masyarakat membutuhkan tempat-tempat ikonik yang bisa diunggah di media sosial. Misalnya, Taman Eco Park yang berada di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Meski taman ini level kecamatan, banyak orang yang tertarik datang dan bergembira ria di situ.
“Makanya harus bangun taman yang ikonik. Taman instagramable sangat dibutuhkan. Barulah orang main ke taman. Karena orang sudah bosan main ke Monas. Pasti mencari tempat baru lainnya. Pemerintah DKI harus memperhatikan ini,” tutup Yayat.