c

Selamat

Kamis, 28 Maret 2024

NASIONAL

06 Desember 2022

20:40 WIB

Tak Jeranya Pencuri Dana Desa

Setelah UU Desa berlaku, mulai menjamur aktor desa yang mengorupsi dana desa. Ada yang menilainya sebagai bentuk ‘perlawanan’ terhadap pembangunan ‘kota sentris’

Penulis: James Fernando, Gisesya Ranggawari,

Editor: Leo Wisnu Susapto

Tak Jeranya Pencuri Dana Desa
Tak Jeranya Pencuri Dana Desa
Ilustrasi jembatan yang dibuat menggunakan dana desa di Desa Bungur Mekar, Lebak, Banten. Antara Foto/Muhammad Bagus Khoirunas

JAKARTA – Tak kurang dari 12 kepala desa di Sumatra Selatan, harus bersama-sama masuk penjara pada pertengahan Oktober lalu. Sebenarnya, ada 13 kepala desa yang harus-harus menjalani hidup di bui bersama. Namun salah satunya sudah berpulang, alias meninggal dunia. 

Kekompakan belasan pimpinan desa itu adalah hal yang sama sekali tak patut dicontoh. Mereka semua terlibat korupsi berjamaah. Mereka diduga korupsi dana proyek pembangunan fasilitas olahraga program Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) tahun anggaran 2015 sebesar Rp1,6 miliar. 

Direktur Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sumsel Kombes Barly Ramadhany, dikutip dari Antara, Palembang, Rabu (26/10/2022) mengatakan, para kepala desa itu diduga menggelapkan dan anggaran hibah Rp1,6 miliar dari Kemenpora untuk membangun lapangan bola mini di 11 Desa di Kabupaten Ogan Ilir dan tiga Desa di Ogan Komering Ilir. Proyek itu berlangsung  pada 2015-2016. 

Namun ternyata dari hasil hitungan BPKP Perwakilan Provinsi Sumsel, diduga ada penyimpangan. Kerugian negara akibat penyimpangan itu bernilai Rp289,07 juta untuk pembangunan di Kabupaten OKI, dan Rp1,049 miliar di Kabupaten Ogan Ilir.

Urusan administrasi seperti kelengkapan proposal dan pelaporan Rancangan Anggaran Belanja (RAB), hingga pelaksanaan pekerjaan pembangunan lapangan yang dilakukan oleh para tersangka, adalah sebagian elemen penyimpangan yang ditemukan oleh BPK. Dan, persoalan korupsi dana desa, bukan hanya menjerat belasan kepala desa di atas. 

Pengungkapan perkara ini, sejalan pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW). Lembaga itu memantau selama semester I 2022, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. 

Dari pemantauan, didapat informasi bahwa tindak pidana korupsi paling banyak terjadi di sektor desa. Total kasus berjumlah 62, dengan potensi kerugian keuangan negara Rp289 miliar.

ICW menilai tren korupsi di sektor desa itu semakin meningkat. Terutama sejak Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan.

Dana Desa Bocor
Ihwal cerita korupsi ini bermula dari berlakunya UU Desa. Beleid ini mewajibkanpemerintah pusat mesti mengalokasikan dana transfer ke daerah, yakni dana desa. Di luar dana lain seperti hibah dari kementerian dan lembaga.

Ada perbedaan antara Dana Desa dan Alokasi Dana Desa, yakni dari sumber dananya. Dana Desa bersumber dari APBN, sedangkan Alokasi Dana Desa bersumber dari APBD yaitu minimal sebesar 10% dari DAU ditambah DBH.

Menurut catatan KPK, sejak 2015 hingga 2022, pemerintah mengucurkan Dana Desa sebesar Rp468,9 triliun. Tiap tahun, anggaran dana desa terus bertambah nilainya.

Akan tetapi, sepanjang 2015-2022 menurut data KPK, ada 601 kasus korupsi terkait dana itu. Jumlah ratusan kasus korupsi itu melibatkan 686 orang yang ditangani Polri dan Kejaksaan.

Korupsi dana desa pun direkam Indonesia Corruption Watch (ICW). Berdasarkan temuan ICW pada periode 2019-2021, kasus korupsi di sektor anggaran dana desa menduduki peringkat pertama yang ditangani penegak hukum. 

Jumlahnya mencapai 326 kasus dengan jumlah tersangka 417 tersangka. 

Sementara itu, pada periode 2015-2017, ada 154 kasus yang ditangani oleh penegak hukum. Rinciannya, pada 2015 ada 17 kasus. Jumlah ini meningkat pada 2016 menjadi 41 kasus. Sementara itu, pada 2017 ada 96 kasus.

Berdasarkan temuan ICW,  pada periode 2019-2021, kasus korupsi di sektor anggaran dana desa menjadi peringkat pertama yang ditangani penegak hukum. Jumlahnya mencapai 326 kasus dengan jumlah tersangka 417 tersangka. 

Pada periode 2015-2017, ada 154 kasus yang ditangani oleh penegak hukum. Rinciannya, pada 2015 ada 17 kasus. Jumlah ini meningkat pada 2016 menjadi 41 kasus. Sementara itu, pada 2017 ada 96 kasus.

Meski korupsi ini bersifat masif, KPK tak bisa menangani pemerintah desa yang korupsi. Hal itu karena dibatasi undang-undang.

Pasal 26 UU 6 Tahun 2014 tentang Desa, tertulis pemerintah desa adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat desa atau yang disebut dengan nama lain.

Namun dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pemerintah desa bukan penyelenggara negara. Jadi, bukan menjadi kewenangan KPK jika mereka terlibat korupsi.

Pemicu
KPK lalu mengkaji korupsi Dana Desa untuk menemukan celah yang memberikan kesempatan bagi aparatur pemerintahan desa berbuat curang pada anggaran ini. Dalam kajiannya, KPK menemukan ada 14 potensi persoalan tentang pengelolaan dana desa ini.

Belasan potensi ini dimasukan ke dalam empat kategori, mulai dari regulasi dan kelembagaan. Lalu, tata laksana. Kemudian, pengawasan dan sumber daya manusia (SDM) aparatur pemerintah desa.  

Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ipi Maryati menguraikan, KPK yakin potensi risiko dalam pengelolaan keuangan desa kian tinggi apabila aparat desa, pemerintah pusat dan masyarakat tidak bekerjasama mengawasi penggunaan anggaran yang besar tersebut.

“Karenanya, KPK mengajak masyarakat untuk berperan serta dalam mengawal dana desa, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat desa sesuai dengan tujuannya,” kata Ipi, kepada Validnews, Senin (5/12).  

Hal serupa dilakukan Kemnedes. Direktur Jenderal Pembangunan Desa dan Pedesaan Kemendes, Sugito yang mengatakan berdasarkan pengawasan yang dilakukan, Kemendes menemukan sejumlah faktor yang menyebabkan anggaran desa ini disalahgunakan. 

Faktor-faktor itu antara lain adalah minimnya pelibatan dan pemahaman warga desa soal pembangunan di desa. Belum optimalnya fungsi pengawasan anggaran di desa. 

Selain itu, akses informasi warga tentang penggunaan anggaran desa terbatas. Ditambah, keterbatasan dan ketidaksiapan kepala desa dan perangkatnya dalam mengelola uang dalam jumlah besar.  

“Ini faktor penyebab tindak pidana korupsi anggaran dana desa terjadi,” urai Sugito, kepada Validnews, Senin (5/12).

Makanya untuk mengantisipasi hal ini, kata Sugiarto, Kemendes terus meningkatkan kapasitas pemerintah desa mengelola dana desa. Kemudian, membuat aturan terkait sistematika pengelolaan dana desa.

Pemerintah pusat pun melakukan monitoring dan evaluasi terkait penggunaan dana desa ini. Kemudian, menginisiasi integrasi data penyaluran dana pemanfaatan dana desa ke Kemenko PMK, Kemendes PDTT, Kemenkeu, Kemendagri, BPKP hingga TNP2K.   

Selain itu, lanjut Sugito, Kemendes melakukan pendampingan kepada pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa. Untuk mengelola pendataan desa, perencanaan dan pengawasan pembangunan desa. 

Di sisi lain, untuk hal sama, KPK melansir Program Desa Antikorupsi bersama Kemendes.

Pembentukan desa antikorupsi ini memiliki banyak tujuan. Salah satunya, untuk memberikan pemahaman dan meningkatkan peran serta masyarakat desa dalam upaya mencegah dan memberantas korupsi.

Tujuan lainnya untuk menyebarluaskan tentang pentingnya membangun integritas dan nilai-nilai-nilai antikorupsi di pemerintah dan masyarakat desa. Ada juga untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan desa yang berintegritas sesuai indikator.

Melalui MCP, KPK membagi tiga indikator sebagai perbaikan sistem pengelolaan anggaran dana desa. Di antaranya, aspek regulasi, publikasi dan pengawasan.

KPK harap ada peraturan daerah pengelolaan keuangan desa. Lalu, KPK minta pemda untuk melakukan publikasi APBDesa dan laporan pertanggungjawaban APBDesa. Dengan begitu, pemerintah desa melibatkan masyarakat dalam pengelolaan dana desa.

Terkait pengawasan, KPK pun telah mendorong inspektorat daerah mengimplementasikan Aplikasi Sistem Pengawasan Keuangan Desa (Siswaskeudes) secara komprehensif. 

KPK juga mendorong inspektorat untuk membangun sarana pengaduan masyarakat yang dapat diakses. Kemudian, menindaklanjuti tiap aduan yang dilayangkan oleh masyarakat desa.

Menurut KPK, masyarakat desa sangat penting dilibatkan untuk menyusun perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan keuangan desa. Tujuannya, untuk mencegah korupsi dan penyalahgunaan. 

Desa Anti Korupsi menjadi upaya KPK menyinergikan program pemerintah desa, melalui pelibatan masyarakat sebagai komponen utama dalam pembangunan desa. 

Selain itu, melalui Desa Antikorupsi KPK juga mendorong penguatan pada lima aspek, yaitu penguatan tata laksana, pengawasan, kualitas pelayanan publik, partisipasi masyarakat, dan kearifan lokal. 

“KPK melalui aplikasi MCP melakukan evaluasi dan monitoring atas capaian aksi dan langkah-langkah perbaikan sistem tata kelola keuangan desa tersebut,” tambah Ipi.

BPKP Turut Awasi
Hal yang sama juga dilakukan oleh BPKP. Direktur Pengawasan Akuntabilitas Keuangan, Pembangunan dan Tata Kelola Pemerintahan Desa, Wasis Prabowo mengatakan, selama tiga bulan sekali BPKP kerap melakukan audit, evaluasi, review dan/atau monitoring dalam rangka pengawasan penggunaan dana desa di seluruh Indonesia.   

Wasis mengatakan, pengawasan ini berfokus pada dua aspek. Di antaranya, peningkatan akuntabilitas pemerintah desa yang mengacu pada perencanaan pembangunan desa, tata keuangan desa dan tata kelola aset desa. Kemudian, peningkatan kualitas belanja desa dan pengembangan potensi desa.  

“Fokus pengawasan melihat apakah dana desa telah diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang meningkatkan sumberdaya ekonomi desa, serta mendorong peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat desa,” kata Wasis, kepada Validnews, Senin (5/12).

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan, BKPP menemukan beberapa permasalahan. Di antaranya, soal kepatuhan terhadap peraturan-peraturan pengelolaan keuangan desa mulai dari keterlambatan penyusunan RKPDes dan APBDes.

Tak hanya itu saja, aparatur desa juga lamban membuat laporan penatausahaan dan pertanggungjawaban yang tak disusun dan dilaporkan sesuai ketentuan. 

BPKP juga menemukan, ada penguasaan atas kas desa oleh kepala desa dengan pertanggungjawaban yang tidak sesuai kegiatan dan beberapa permasalahan lainnya.   

Dari pengawasan yang dilakukan, kata Wasis, BPKP masih menemukan adanya penggunaan dana desa yang tidak sesuai ketentuan meski hanya sebagian kecil. 

Sebagian besar pemerintah desa menggunakan dana desa untuk pembangunan infrastruktur dan sarana prasarana di desa. BPKP menilai, penambahan infrastruktur di desa pun signifikan. Hal ini dilihat dari pembangunan jalan dan infrastruktur lain.  

Sayangnya, ini tak terjadi di sektor pemberdayaan masyarakat. Karena, dalam tiga tahun belakangan, lebih banyak diarahkan untuk bantuan sosial berupa bantuan langsung tunai (BLT) desa.

Transparan
Atas dasar itu, Wasis mengatakan, penggunaan dana desa telah menuju ke arah transparan dan akuntabel bila dibandingkan bila dibandingkan ketika UU Desa berlaku.  

“Pengelolaan keuangan desa saat ini telah menuju ke arah yang baik tetapi belum optimal,” kata Wasis, kepada Validnews, Senin (5/12).

Untuk memaksimalkan pengawasan dana desa ini, BPKP pun bersama Kemendagri membuat aplikasi Siskeudes. Yakni, aplikasi pelaporan keuangan desa sehingga pengelolaan dan pelaporan keuangan desa bisa sesuai ketentuan yang berlaku.

Selain sistem ini, BPKP dan Inspektorat Jenderal Kemendagri pun membuat aplikasi Siswaskeudes, yang bisa digunakan oleh APIP daerah untuk melakukan pengawasan keuangan desa. 

Aplikasi ini bisa mempermudah dan mempercepat proses pengawasan keuangan desa.

“Dengan begitu diharapkan cakupan pengawasannya dapat lebih luas dari pada jika dilakukan secara manual (tanpa aplikasi.red),” lanjut Wasis.

Soal maraknya korupsi ini, peneliti ICW Almas Sjafrina menilai, pengawasan soal penggunaan dana desa ini sulit dilakukan oleh pemerintah pusat. 

Ada keterbatasan SDM. Dia menyarankan, pengawasan dari masyarakat merupakan solusi paling efektif untuk memastikan penggunaan anggaran dana desa ini tepat sasaran.

“Pelibatan masyarakat ini menjadi faktor paling dasar karena masyarakat desa lah yang mengetahui kebutuhan desa dan secara langsung menyaksikan bagaimana pembangunan di desa,” kata Almas, kepada Validnews, Senin (5/12).

Selain itu, Almas menyebutkan, harus ada perbaikan dari kompetensi kepala desa dan perangkat desa. 

Dengan demikian, soal teknis pengelolaan dana desa, pengadaan barang dan jasa serta penyusunan pertanggungjawaban keuangan desa, kepala desa sudah paham yang baik untuk diterapkan.

Pada saat SDM menjadi masalah, badan permusyawaratan desa dan beberapa perangkat desa lainnya juga tak berperan baik untuk mencegah penyalahgunaan dana desa. 

Faktor lainnya yakni, biaya politik saat pemilihan kepala desa sangat tinggi. Hal ini dipicu meningkatnya anggaran desa sehingga menarik banyak orang untuk menjadi kepala desa.

Kondisi di atas diamati oleh Sosiolog dari Universitas Gajah Mada Arie Sujito. Dia menuturkan, terjadinya tindak pidana korupsi di desa disebabkan oleh ketimpangan sosial antara perkotaan dan daerah-daerah kecil. Sebab, selama ini, perputaran uang hanya terjadi perkotaan saja.

Namun, sejak pemerintah pusat menyediakan anggaran dana desa untuk pembangunan masyarakat desa dan infrastrukturnya membuat para pejabat desa mulai berpikiran berbeda. 

Mereka tertarik korupsi dengan menggunakan dana desa untuk kepentingan pribadi tanpa melihat kebutuhan masyarakatnya.

“Jadi buka karena tidak tahu soal pengelolaannya atau memang berniat. Tapi karena bentuk perlawanan terhadap ketimpangan sosial yang selama ini terjadi,” tutur Arie.

Karena itu, untuk mengurangi penyalahgunaan anggaran ini para pemimpin desa harus peka dengan keadaan daerahnya.  

Warga, sebaliknya harusnya lebih memilih kandidat yang lebih peka. Misalnya, mereka memiliki tujuan untuk membangun infrastruktur dan mensejahterahkan masyarakatnya sesuai dengan amat undang-undang. 

Akan tetapi, untuk membuat warga bisa memilih yang lebih bervisi dan peka, ya harus ada pula sosialisasi nilai-nilai tersebut. 

“Tapi bukan pembangunan infrastruktur terus yang mengarah pada kepentingan peribadi seperti pencitraan,” tandas Arie. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER