20 November 2023
20:14 WIB
JAKARTA - Lembaga survei Indonesia Political Opinion (IPO) menyatakan, tingkat golongan putih (golput) yang abstain pada pemilu, cenderung tinggi pada anak-anak muda yang sedang merantau.
Direktur Eksekutif IPO Dedi Kurnia Syah menjelaskan, hal itu didasarkan pada asumsi, sebagian besar anak muda yang sedang berada jauh dari tempat asalnya memiliki kendala dalam proses pemilihan.
Mereka juga kurang dinilai terlibat langsung terhadap isu-isu politik di daerah mereka tinggal sementara.
"Golput akan cepat tinggi bagi kelompok anak-anak muda, utamanya adalah dari proporsi anak-anak muda yang merantau," kata Dedi Kurnia Syah saat rilis survei opini publik terkait peta politik koalisi dan arah pemilih muda di Pemilu 2024 di Jakarta, Senin (20/11).
Saat ini, lanjut Dedi, perhatian yang penting diberikan adalah potensi sikap golput terhadap masalah teknis dan administrasi dalam proses pemilihan. "Yang justru perlu diwaspadai adalah golput yang lain bisa berkaitan dengan golput teknis maupun administrasi," ungkapnya.
Hal itu menunjukkan perlu ada perbaikan dalam sistem administrasi pemilu, guna memastikan setiap pemilih, terutama generasi muda, dapat melakukan pemilihan secara mudah, efisien, dan tanpa hambatan teknis.
Dedi pun menambahkan, pada Pemilu Serentak 2024 kemungkinan golput di kalangan anak muda dengan alasan ideologis, minim terjadi. Keputusan mereka untuk tidak memilih, kebanyakan bukan karena ketiadaan kandidat potensial yang menjanjikan kemajuan atau perbaikan.
Dia berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dapat membuka tempat pemungutan suara (TPS) di berbagai universitas, untuk memudahkan partisipasi mahasiswa yang sedang merantau.
Seperti diketahui, KPU telah menetapkan tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai peserta Pilpres 2024, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar nomor urut 1, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka nomor urut 2, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD nomor urut 3.
KPU juga telah menetapkan masa kampanye mulai 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024, kemudian jadwal pemungutan suara pada tanggal 14 Februari 2024.
Menarik Minat
Pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden harus menawarkan gagasan dan program yang menjawab permasalahan generasi Z untuk membangun partisipasi politik pemilih muda.
“Jadi lakukan penelitian secara mendalam soal apa sih yang mereka (generasi muda) inginkan untuk Indonesia lima tahun ke depan,” kata Emrus, baru-baru ini.
Emrus menekankan,partai politik bertanggung jawab agar seluruh warga negara Indonesia menggunakan hak suaranya dalam pemilu tahun depan.
“Jadi kalau ada 'golput' saya mengkritik, ini juga tanggung jawab semua partai politik. Berarti partai politik juga tidak maksimal untuk merangkul seluruh rakyat Indonesia terutama generasi Z,” ujarnya.
Dia mengatakan, ada beberapa golongan pemilih muda yang bahkan tidak mengetahui informasi terkait pemilu.
Sebaliknya, ada juga golongan pemilih muda yang telah memiliki pendirian kuat terkait pilihan capres/cawapres dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 yaitu fandom.
“Tetapi hati-hati dengan (golongan) fandom ini. Ketika sesuatu atau seseorang yang didukung melakukan kesalahan atau kekurangan menurut persepsi dia (fandom) bisa sangat benci, bisa jadi golput,” tandasnya.
Hal senada diungkapkan pakar politik sekaligus akademikus Universitas Bengkulu Dr Panji Suminar. Dia menyatakan, partai politik harus serius menarik minat generasi muda, khususnya Generasi Z untuk proaktif menggunakan hak suara mereka di Pemilu 2024, karena persentase suara mereka cukup besar.
"Komposisi Generasi Z dan generasi setelahnya itu sangat besar, mencapai 25-35% dari total penduduk Indonesia. Kalau partai politik tidak serius, mereka dikhawatirkan malah bersikap apatis, dan menjadi golput," kata Panji.
Dia mengatakan, parpol dan peserta pemilu harus mampu masuk ke dalam segmen pemilih yang tergolong pemilih pemula tersebut.
Hal itu tentu juga tidak mudah karena ada jarak usia yang cukup besar memisahkan para elite parpol dan peserta pemilu dengan Generasi Z.
"Pola komunikasinya sangat berbeda, Generasi Z dengan kesetaraan, mereka tidak memandang usia, suku, kelompok, jenis kelamin, cara berkomunikasi mereka sama. Sedangkan elite cara berkomunikasi mereka bersekat-sekat, golongan, umur, jabatan dan lain-lain," kata Panji.
Kalau para elite parpol, peserta pemilu tetap mempertahankan cara-cara lama dalam membangun komunikasi, maka akan sulit untuk menyentuh generasi muda. Akhirnya, generasi muda menjadi tidak tertarik dengan parpol, peserta pemilu dan bahkan dengan pesta demokrasi itu sendiri.
"Oleh karena itu, parpol, elite dan peserta pemilu benar-benar harus serius untuk menarik minat segmen yang begitu tinggi literasi digitalnya ini. Dengan jumlah mereka sekarang, malah mereka lah penentu hasil pemilu nantinya," kata dia.
Para partai politik, elite, kader, simpatisan dan peserta pemilu masih punya waktu menyasar segmen kaum muda.
Bahkan, lanjut Panji tidak sulit menemukan mereka, karena generasi muda ini ada di ruang-ruang digital, bahkan sebagian besar waktu mereka berada di dalam jaringan (daring).
"Ikuti cara berkomunikasi mereka, tunjukkan cara berpolitik yang baik, berkualitas, positif, dan tentunya kreatif dan menarik. Hak itu dapat menarik minat para Generasi Z, generasi muda, pemilih pemula," ucapnya.