c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

20 Juli 2024

12:28 WIB

Suhu Dingin Saat Kemarau, BMKG Jelaskan Sebabnya

Suhu dingin saat musim kemarau jadi fenomena di Indonesia, namun tetap harus mitigasi ancamam kekeringan.

Penulis: Oktarina Paramitha Sandy

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>Suhu Dingin Saat Kemarau, BMKG Jelaskan Sebabnya</p>
<p>Suhu Dingin Saat Kemarau, BMKG Jelaskan Sebabnya</p>

Petugas menunjukkan pemetaan suhu panas di laman Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG ) di Kantor BMKG, Medan, Sumatera Utara, Senin (26/2/2024). Antara Foto/Fransisco Carolio.

JAKARTA - Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Guswanto mengungkapkan penyebab fenomena udara dingin yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia disebabkan oleh sejumlah faktor. 

Ia menyebutkan, Angin Monsun Australia menyebabkan fenomena  suhu dingin menjelang Puncak musim Kemarau di Bulan Juli-Agustus, terkadang bisa sampai September. Angin ini bergerak menuju Benua Asia melewati Wilayah Indonesia dan perairan Samudera Hindia yang memiliki suhu permukaan laut juga relatif lebih rendah atau lebih dingin. 

“Angin Monsun Australia ini bersifat kering dan sedikit membawa uap air, apalagi pada malam hari di saat suhu mencapai titik minimumnya, yang menyebabkan suhu dingin di beberapa wilayah di Indonesia terutama Wilayah Bagian Selatan Khatulistiwa,” sebut Guswanto dalam keterangan yang diterima, Sabtu (20/7)

Guswanto melanjutkan, selain Monsun Australia, fenomena tersebut di atas juga disebabkan oleh faktor posisi geografis, kondisi topografis, ketinggian wilayah dan kelembaban udara yang relatif kering. Faktor-faktor tersebut membuat langit menjadi cerah sepanjang hari dan membuat kurangnya tutupan awan pada malam hari.

Akibatnya, radiasi panas dari permukaan bumi terpancar ke atmosfer tanpa ada hambatan. Hal ini mengakibatkan penurunan suhu yang signifikan, serta didukung dengan angin yang tenang di malam hari menghambat pencampuran udara, sehingga udara dingin terperangkap di permukaan bumi.

“Daerah dataran tinggi atau pegunungan cenderung lebih dingin karena tekanan udara dan kelembaban yang lebih rendah,” papar Guswanto.

Guswanto juga mengingatkan tentang potensi hujan dengan intensitas tinggi dan angin kencang. Sebab, berdasarkan pantauan BMKG, terdapat daerah tekanan rendah di perairan barat Filipina (bibit Siklon Tropis 91W) dan di Laut Filipina sebelah utara Papua (bibit Siklon Tropis 92W). 

Daerah dengan tekanan rendah ini membentuk daerah pertemuan dan perlambatan kecepatan angin (konvergensi) memanjang dari Laut Filipina bagian barat, Laut Sulawesi hingga perairan timur Filipina. Daerah konvergensi lainnya terpantau di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara bagian barat, Laut Seram, Laut Arafuru, dan Samudera Pasifik sebelah utara Papua.

Peningkatan kecepatan angin hingga mencapai >25 knot, juga terpantau di Laut Andaman, Laut Cina Selatan, Samudera Hindia sebelah barat daya, hingga selatan Jawa Barat, Laut Jawa bagian tengah dan Indonesia timur. Kecepatan angin ini, mampu meningkatkan tinggi gelombang di wilayah sekitar perairan tersebut. 

“Secara umum, kombinasi fenomena-fenomena cuaca tersebut diprakirakan menimbulkan potensi cuaca signifikan dalam periode 18-25 Juli 2024,” ulas Guswanto.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar