c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

15 Oktober 2025

18:06 WIB

Soal Tayangan Ponpes, DPR Akan Panggil Trans7, KPI, Komdigi

DPR memastikan akan memanggil Trans7, KPI, hingga Komdigi sebagai bentuk pengawasan terkait adanya dugaan tayangan berunsur pelecehan terhadap pondok pesantren

Penulis: Gisesya Ranggawari

Editor: Nofanolo Zagoto

<p>Soal Tayangan Ponpes, DPR Akan Panggil Trans7, KPI, Komdigi</p>
<p>Soal Tayangan Ponpes, DPR Akan Panggil Trans7, KPI, Komdigi</p>

Foto udara Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Shutterstock/Creativa Images


JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal mengatakan, pihaknya akan memanggil Trans7 sebagai bentuk pengawasan terkait adanya dugaan tayangan berunsur pelecehan terhadap pondok pesantren (ponpes).

Selain Trans7, DPR juga akan memanggil Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk meluruskan apa yang terjadi karena sudah banyak protes terkait tayangan tersebut.

"Kami DPR tentunya memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap isu yang meresahkan masyarakat. Ini juga sekaligus wujud kami menampung aspirasi, karena banyak sekali yang protes," ujar Cucun kepada wartawan, Rabu (15/10) di Jakarta.

Di Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) itu disebutnya akan beraudiensi bersama seluruh pihak terkait, karena isu pelecehan ponpes tersebut sudah cukup besar dan berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak.

Cucun menegaskan, Trans7 perlu bertanggung jawab atas tayangan tersebut dengan mengambil langkah konkret. Pasalnya, perusahaan media mesti menjaga etika dan peka terhadap nilai-nilai keagamaan yang menjadi bagian penting kehidupan masyarakat. 

"Menjadi juru damai, bukan malah mengadu domba antar-masyarakat. Media jangan pecah belah bangsa," beber Legislator dari Dapil Jawa Barat II itu.

Cucun mengatakan akan meminta agar ada pertanggungjawaban apabila terdapat unsur kesengajaan dalam menggiring opini publik. Sebab tayangan pada konten program TV itu berpotensi menyesatkan serta menciptakan pandangan negatif terhadap lembaga keagamaan dan pendidikan seperti pesantren.

"Maka saya mendorong agar tayangan ini dan pihak-pihak yang terlibat segera diproses sesuai kode etik dan aturan yang ada, agar menjadi pembelajaran bagi semua," tegasnya.

Cucun berharap semua pihak mengambil pelajaran dari kejadian tersebut. Menurutnya, harus ada tindak lanjut yang konstruktif agar peristiwa itu tidak menjadi preseden buruk bagi ekosistem penyiaran di Indonesia.

"Apalagi di hari-hari yang penuh dinamika seperti sekarang, media harus bisa menjadi penjaga perdamaian. Jangan karena mau mengejar rating, lalu dibuatlah konten yang memecah belah. Kita akan bicarakan nanti dalam pertemuan," cetus dia.

Ia menjelaskan, sejatinya media massa harus menjaga ruang publik dari narasi-narasi yang bisa melukai perasaan masyarakat, apalagi yang berkaitan dengan simbol keagamaan. 

Media, lanjut dia, seharusnya menjadi perekat bangsa. Bukan malah menjadi alat penggiring opini yang bisa memecah belah atau menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.

Pimpinan DPR koordinator bidang kesejahteraan rakyat (Korkesra), yang salah satu urusan kerjanya terkait isu agama itu pun menegaskan, Indonesia menghormati kebebasan berekspresi sebagai bagian dari hak asasi yang dijamin Konstitusi. 

Namun, Cucun menekankan kebebasan tersebut harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan tidak boleh disalahgunakan untuk menyebarkan narasi yang memecah belah bangsa.

"Kita tentu menghargai kebebasan berekspresi, tapi kebebasan itu ada batasnya. Jangan sampai konten hiburan jadi pintu masuk bagi upaya penggiringan opini publik yang merendahkan pesantren, apalagi dengan muatan yang bisa memicu konflik horizontal," tutur dia.

Diketahui, tagar #BoikotTrans7 tengah ramai diperbincangkan di media sosial X (Twitter) sejak Senin (13/10) malam hingga hari ini. Ini terjadi menyusul kontroversi tayangan yang dianggap menyinggung Pondok Pesantren Lirboyo.

Aksi boikot itu muncul sebagai reaksi kekecewaan warga pesantren terhadap program "Xpose Uncensored" di Trans7 yang dinilai melecehkan pesantren dan ulama. 

Dalam episode program tersebut, menampilkan sejumlah narasi dan visual yang dinilai menciptakan stereotip terhadap kehidupan di pesantren dengan judul "Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?".

Potongan video tersebut viral dan memicu kemarahan publik pesantren karena dianggap menyinggung kehidupan santri dan melecehkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh pondok pesantren.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar