07 Oktober 2025
10:48 WIB
Skala Produksi SPPG Picu MBG Rentan Keracunan
Produksi SPPG yang diproduksi setiap hari sangat besar, rentan terhadap risiko keracunan.
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
Petugas SPPG menyiapkan paket Makan Bergizi Gratis (MBG) di SMAN 1 Pontianak, Kalimantan Barat, Sela sa (23/9/2025). ANTARA FOTO/Jessica Wuysang.
JAKARTA - Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (PKT UGM) menilai skala produksi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) program Makan Bergizi Gratis (MBG) terlalu besar, bahkan melebihi katering industri. Hal ini membuat pengelolaan makanan yang dilakukan SPPG sangat rentan terhadap risiko keracunan.
"Jumlah porsi yang diproduksi setiap hari sangat besar. Setiap celah dalam proses, mulai dari pemilihan bahan baku, memasak, penyimpanan, hingga distribusi, bisa berdampak pada ribuan anak sekolah,” terang Direktur PKT UGM, Citra Indriani, dikutip dari laman UGM, Selasa (7/10).
Dia menjelaskan, dengan skala produksi sebesar itu idealnya SPPG menerapkan standar Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP). Namun, kajian UGM atas beberapa kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan terkait MBG di Yogyakarta menunjukkan ada kesenjangan penerapan HACCP, minimnya pengawasan, dan terbatasnya pengetahuan pelaksana di lapangan.
Baca juga: Mayoritas SPPG Penyebab Keracunan MBG Baru Beroperasi Sebulan
Tak hanya itu, kajian juga menemukan bahwa durasi sejak proses memasak, pengemasan, hingga konsumsi sering melebihi empat jam. Sementara itu, manajemen penyimpanan juga belum memadai.
Selanjutnya, beberapa menu makanan kurang matang karena harus diproduksi dalam jumlah besar. Di sejumlah sekolah juga terjadi pengemasan ulang makanan tanpa pemanasan.
“Kondisi ini memperbesar risiko terjadinya keracunan massal,” tambah Citra.
Dia pun merekomendasikan sejumlah langkah perbaikan untuk SPPG. Di antaranya, standarisasi fasilitas dan kapasitas SPPG, asesmen awal untuk menilai kelayakan produksi massal, dan penerapan HACCP. Di samping itu, setiap staf SPPG wajib mendapat pelatihan keamanan pangan dan memiliki Sertifikat Layak Higiene Sanitasi (SLHS).
Selain itu, tata kelola MBG juga memerlukan pengawasan. Ini mencakup mekanisme kontrol yang jelas, monitoring periodik, dan koordinasi lintas sektor yang perlu diperkuat.
“Kolaborasi berbagai pihak mutlak diperlukan agar anak-anak benar-benar mendapat manfaat program tanpa terpapar risiko keracunan pangan,” pungkas Citra.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mewajibkan SPPG untuk memiliki tiga jenis sertifikasi. Ketiganya adalah SLHS, HACCP, dan sertifikat halal. Ketiga sertifikasi ini harus ditambah rekognisi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin mengatakan, sertifikat itu diperlukan sebagai upaya pencegahan KLB keracunan pangan akibat MBG. Pemerintah lintas kementerian dan lembaga juga sudah menyepakati untuk mendorong percepatan penerbitan ketiga sertifikat itu.
"Kita membereskan masalah sertifikasi, jadi standar minimum dari SPPG-nya," ujar Budi dalam konferensi pers di kantor Kemenkes, Jakarta Selatan, Kamis (2/10).