c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

11 Mei 2023

21:00 WIB

Simbiosis Perdagangan Orang Dan Penipuan Online

Kemenlu mencatat, perdagangan orang untuk penipuan online meroket di tiga tahun terakhir. Bahkan, ada yang berkali jadi korban.

Simbiosis Perdagangan Orang Dan Penipuan Online
Simbiosis Perdagangan Orang Dan Penipuan Online
Ilustrasi. Satreskrim dan BP2MI saat jumpa pers terkait pengungkapan TPP PMI dan TPPO di Mapolresta Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (5/5/2023). Antara Foto/Muhammad Iqbal

JAKARTA – Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian Republik Indonesia (Polri), menangkap dua orang yang diduga melakukan perdagangan 20 WNI ke Myanmar pada Rabu (10/5) di Bekasi, Jawa Barat. Status mereka adalah tersangka. 

Bareskrim mentersangkakan keduanya karena diduga melanggar Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) dan atau Pasal 81 UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Kedua WNI ini terancam hukuman maksimal dengan penjara 10 tahun ditambah denda paling banyak Rp15 miliar.

Perkara ini berawal dari laporan keluarga korban yang resmi dalam Laporan Polisi Nomor STTL/158/V/2023/BARESKRIM dengan terlapor, A dan P sebagai perekrut.

Sebelum laporan polisi itu, beredar viral di media sosial unggahan tentang kondisi 20 WNI yang terjebak di Myanmar. Yakni, di akun Instagram @bebaskankami.

Pemilik akun, sebut saja Rosa. Dia mengunggah tentang sepupunya, perempuan berinisial NIS, satu dari 20 WNI di Myanmar. Mereka mengaku menerima penyiksaan dalam bekerja. Apalagi, pekerjaan yang mereka lakukan ternyata penipuan online atau online scam.

Rosa menceritakan, NIS adalah ibu tunggal yang berdomisili di Cimahi, Jawa Barat. Sebagai ibu tunggal, dia butuh biaya besar untuk menghidupi seorang anak usia 11 tahun.

“Dia lulus sarjana Desain Komunikasi Visual. Tapi, dia kesulitan mencari pekerjaan dengan gaji besar,” papar Rosa.

Rosa sampaikan, lowongan kerja ini didapat NIS dari teman yang dia kenal. Menurut NIS, info itu sampai ke temannya dari media sosial.

Gaji yang ditawarkan kisaran US$800-US$1.500 per bulan. Meski harus ke Thailand, bulat hati NIS untuk menjajalnya. Proses rekrutmen pun, setahu Rosa, tidak dipungut biaya.

NIS lalu diarahkan melalui pesan WhatsApp agar menghubungi agen dari pemberi lowongan. Oleh si agen, NIS menjalani wawancara dan tes bahasa Inggris secara online. 

Selang tiga hari, dia dinyatakan diterima dan dapat langsung berangkat ke Thailand. Dia dan seorang temannya pada 23 Oktober 2022, berangkat dari Bandung, menuju tempat agen di Bekasi.

NIS menginap di apartemen milik agen selama satu malam. Keesokan harinya, berangkat ke Bangkok dengan visa on arrival (VoA). Visa kerja akan diberikan saat sudah sampai lokasi kerja.

Sesampainya di Bangkok, dia dan temannya dijemput dari bandara menggunakan mobil van berkaca gelap. Dia mulai curiga, tetapi tak berani bertanya. Kendaraan berhenti di perbatasan Myanmar, tepatnya kota Mae Sot. Di sana, mereka bermalam sekali lagi.

Keesokan paginya, mereka lantas dibawa mengarungi sungai perbatasan antara Thailand dan Myanmar dengan sampan. Rombongan didampingi orang sipil bersenjata.

Sesampainya di Myanmar, NIS dan temannya disodori kontrak kerja untuk pertama kalinya. Kontrak itu berbahasa Mandarin. Menolak kontrak berarti membayar denda sebesar US$20 ribu atau sekitar Rp294 juta.

Pekerjaan yang dijalani, mencari korban untuk investasi uang kripto. Kontak mereka didapat melalui media sosial. 

“Sepupu saya cerita, target dapat 10 nomor per hari,” kata Rosa.

Rosa sebut NIS tak pernah capai target. Hasilnya, dia disiksa dan diancam akan dijual ke perusahaan lain. Karenanya, dia dan PMI lain, mogok kerja. Namun, mereka malah disekap sejak 25 April. Kontak PMI dengan keluarga terputus.

Rosa lalu inisiatif lapor ke Global Anti-Scam Organization (GASO), yakni organisasi nonprofit global yang memerangi perdagangan orang untuk jaringan penipuan online.

Berdasarkan laporan GASO, di kasus seperti ini, para pekerja dipaksa jadi penipu online. Mereka adalah korban perdagangan orang dan berasal dari berbagai negara di Asia Tenggara.

Sementara itu, riset yang dilakukan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) menyebut, penipuan online juga disebut sebagai penipuan digital dan penipuan siber. Karena, penipuan tersebut memanfaatkan medium dan perangkat komunikasi digital.

Mereka mencari korban penipuan melalui media sosial dan aplikasi kencan. Apabila sudah menjalin hubungan dengan korban, mereka akan diminta berinvestasi melalui platform palsu. Yakni, berbentuk aplikasi maupun situs yang dilengkapi dengan customer service. Setelah korban transfer sejumlah uang, mereka putus kontak.

Berdasarkan data GASO, korban online scam ini tersebar secara global. Sebanyak 67% korban penipuan merupakan perempuan dengan rentang usia 25-40 tahun. Sebanyak 32% korban memiliki gelar pendidikan tinggi. 

Selanjutnya, sebanyak 41% korban bertemu dengan penipu melalui Facebook, Instagram, dan WhatsApp. Sementara itu, uang yang hilang dari pemodal dari penipuan secara online ini mencapai US$121.926 per orang.

GASO juga menyebut ada lima tipe penipuan yang umum ditemukan. Kelima tipe itu adalah investasi palsu melalui situs dan aplikasi, broker palsu, liquidity mining pool atau investasi likuiditas palsu, investasi grup, dan terakhir judi online.

Sasaran Korban TPPO
Terkait TPPO, Kemenlu mencatat ada 1.841 kasus perdagangan orang yang dipekerjakan untuk jaringan penipuan online periode 2020 hingga April 2023. Kemenlu menyebutkan, para WNI yang terjerat kasus ini tersebar di Myanmar, Kamboja, Thailand, Vietnam, Laos, dan Filipina.

Direktur Perlindungan WNI Kemenlu, Judha Nugraha saat dihubungi menjelaskan, korban kasus seperti ini menyasar orang dengan skill dan tingkat pendidikan lumayan.

“Pelaku menyasar golongan muda, kelompok milenial dan mereka yang berpendidikan. Punya background IT yang baik, bahkan ada yang lulusan S1,” jelas Judha kepada Validnews, Jumat (5/5). 

Judha menguraikan, latar belakang korban memang ditarget karena mereka akan dijadikan pelaku penipuan online. Dari seluruh kasus yang dicatat pihaknya, mayoritas korban berasal dari Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan Jawa Tengah. 

Kasus ini juga mengalami tren peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan kasus tertinggi terjadi pada 2020. Tahun yang sama ketika NIS berangkat ke Myanmar.

Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo mengungkapkan, kasus perdagangan orang untuk jaringan penipuan online muncul sejak pandemi.

“Kami menamakannya fenomena lapar kerja. Di mana pada saat pandemi banyak orang ter-PHK. Baik yang kerah biru maupun kerah putih,” ujar Wahyu saat berbincang dengan Validnews via telepon pada Selasa (9/5).


Menurut dia, pandemi juga membuat migrasi tenaga kerja terhenti dan kondisi ekonomi menurun. Oleh karena itu, masyarakat akan melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka. 

Tak terkecuali mereka yang berpendidikan tinggi dan sebelumnya berkecukupan secara ekonomi.

Dia menambahkan, banyak korban perdagangan orang untuk jaringan penipuan online merupakan lulusan SMA. Tapi tak sedikit mereka adalah lulusan  S1.

Data Migrant Care pada 2022 mencatat ada 189 PMI yang menjadi korban perdagangan orang untuk jaringan penipuan online. Sejalan dengan pernyataan pejabat Kemenlu, data Migrant Care menunjukkan mayoritas korban berasal dari Sumatra Utara (108 orang).

Angka ini diikuti oleh Jawa Barat (24 orang), Jawa Tengah (18 orang), Jawa Timur (14 orang), Kalimantan Barat (11 orang), Kepulauan Riau (7 orang), DKI Jakarta (7 orang), Lampung (4 orang), Banten (4 orang), Sumatra Barat (4 orang), Sumatra Selatan (2 orang), Bali (2 orang), Aceh (1 orang), dan Kepulauan Bangka Belitung (1 orang).

Berulang
Anggota Komnas HAM, Anis Hidayah menyebut, perdagangan orang untuk jaringan penipuan online adalah fenomena TPPO era digital. Dia menyebutkan, berbagai proses hingga pemberangkatan pun kerap dilakukan secara online. 

“Karena rekrutmen itu menggunakan teknologi, media sosial,” ujar Anis kepada Validnews, Sabtu (6/5). 

Anis menyebutkan dalam kasus perdagangan orang banyak korban yang kembali menjadi korban untuk kedua kalinya.

Terkait ini, ada beberapa penyebab yang disorot Anis. Pertama, jaringan perdagangan orang yang beroperasi dengan canggih. Kedua, para korban kadang tak sadar tengah dijadikan korban kembali. Ketiga, dampak pandemi yang luar biasa terhadap perekonomian.

Korban perdagangan orang yang kembali terjerat sindikat juga ditemukan oleh Kemenlu. Judha menyebutkan ada sebagian korban yang memilih kembali ke industri yang sama meski telah dipulangkan ke Indonesia.

Sebagai contoh, Kemenlu dan KBRI Vientiane menangani 15 WNI korban perdagangan orang di Laos. Setelah dipulangkan, 11 di antaranya tercatat berangkat kembali ke luar negeri dan bekerja di jenis usaha yang sama.

Seperti dilakukan Lutfi (bukan nama sebenarnya). Laki-laki kelahiran tahun 2000 asal DKI Jakarta ini awalnya mendapatkan lowongan pekerjaan melalui Facebook. Lowongan itu mengantarnya bekerja di industri judi online di Kamboja. Pekerjaan ini telah dilakoninya sejak awal 2022.

“Sebelumnya, saya memang sempat dipulangkan pada pertengahan 2022 karena bekerja secara ilegal. Memang berangkat ke sana menggunakan (visa) kunjungan,” cerita Lutfi ketika dihubungi Validnews, Rabu (10/5).

Perusahaan tempat Lutfi bekerja lalu mengakali peraturan yang ada. Setiap tiga bulan, Lutfi dan beberapa temannya pulang ke Indonesia selama beberapa hari. Setelahnya, barulah mereka kembali ke Kamboja dengan visa kunjungan wisata.

Kerjaannya juga gampang. Saya cuma perlu membantu orang yang mau depo (judi online), nge-chat orang buat depo, dan bantu mereka withdraw,” cerita Lutfi. 

Tak ada keahlian khusus yang diperlukan dalam pekerjaan ini, imbuh dia. Lutfi yang lulusan SMA ini sudah tahu sejak awal akan bekerja di perusahaan judi online di Kamboja. Namun, dia beruntung, dia bebas dari penyiksaan.

Meski begitu, dia mengaku masih ada rasa takut akan ditangkap karena bekerja secara ilegal. Namun, dia tak punya pilihan. Gaji besar mengalahkan rasa takutnya itu. 

Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani mengatakan, beragam cara untuk mencegah telah dilakukan. Seperti sosialisasi hingga mencegah pemberangkatan PMI ilegal melalui penggerebekan.

“Karena mereka yang tidak resmi ini kan berisiko tinggi,” ujarnya saat dihubungi Validnews, Sabtu (6/5).

Berdasarkan data BP2MI, pada 2022 tercatat ada total 1.987 pengaduan yang masuk dari PMI. Dari angka itu, mayoritas pengaduan dibuat karena PMI ingin dipulangkan, gagal berangkat, ditipu lowongan kerja, direkrut secara ilegal, dan gajinya tidak dibayarkan. 

Menurut Benny, dapat dikatakan sekitar 95% dari total pengaduan itu datang dari PMI ilegal.

Selain itu, BP2MI juga mengusulkan agar Direktorat Jenderal Imigrasi memperketat penggunaan visa. Utamanya, visa turis, visa umrah, dan visa ziarah. Ketiganya merupakan jenis visa yang kerap disalahgunakan.

“Terus bagaimana supaya yang sudah pulang ke Indonesia tidak keluar lagi? Harusnya paspornya di-banned selama lima tahun. Itu usulan kita,” ujar Benny.

Benny juga mengingatkan, tindak pencegahan dan penanganan perdagangan orang turut menjadi urusan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO. Sayangnya, gugus tugas ini dinilainya mandul dalam menangani kasus perdagangan orang.

Salah satu pihak yang tergabung dalam Gugus Tugas TPPO adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga. Dia menjabat sebagai Ketua Harian Gugus Tugas Pusat. 

Mewakili Bintang, Sekretaris Kementerian PPPA, Pribudiarta N Sitepu, menyerukan   masyarakat waspada agar tidak terjebak perdagangan orang bermodus lowongan pekerjaan. 

Dia mengingatkan agar pemberantasan perdagangan orang haruslah diberantas dari hulu ke hilir. Dan, pemberantasannya harus melibatkan berbagai pihak.

Sementara itu, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN pada Rabu (10/5) kemarin, telah lahir deklarasi terkait penanganan kasus ini. Deklarasi tersebut adalah Deklarasi Pemberantasan Perdagangan Manusia Akibat Penyalahgunaan Teknologi (Declaration on Combatting Trafficking in Persons Caused by Abuse of Technology).

Dalam deklarasi itu, disebut berbagai hal yang perlu dilakukan pemimpin ASEAN dalam menangani kasus perdagangan orang. Mulai dari identifikasi faktor penyebab, penindakan hukum, dan penyediaan bantuan bagi korban.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar