c

Selamat

Senin, 17 November 2025

NASIONAL

06 September 2024

20:41 WIB

Siasat Mengamalkan Cinta Pancasila Sejak Dini

Pemahaman agama yang tidak utuh, kecurigaan, ketakutan, serta politik identitas dapat jadi pemicu terjadinya intoleransi, merusak Pancasila.

Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi

Editor: Nofanolo Zagoto

<p>Siasat Mengamalkan Cinta Pancasila Sejak Dini</p>
<p>Siasat Mengamalkan Cinta Pancasila Sejak Dini</p>

Kegiatan komunitas Inspiration House salah satu gereja di Cirebon, Jawa Barat. Komunitas ini bergerak di bidang pendidikan dan toleransi. Dok/Inspiration House

JAKARTA – Eka Wulan, seorang perempuan muslim, pernah punya prasangka negatif terhadap pemeluk agama lain. Hal ini berangkat dari pengalaman masa kecil dia dan keluarganya melewati konflik pelik dengan seorang pemeluk agama Kristen. Eka geram orang tersebut kerap menimbulkan masalah bagi keluarganya. Belasan tahun persepsi negatif ini sekali ada di benaknya. 

“Sejak saat itu saya jadi mencap semua orang nonmuslim itu tidak baik,” tutur Eka kepada Validnews, Senin (2/9).

Baru pada tahun 2019, ketika usianya menginjak 19 tahun, prasangka itu perlahan menghilang. Ini terjadi sejak menjadi relawan pengajar di Inspiration House, komunitas yang bergerak di bidang pendidikan dan toleransi bagi anak marjinal di Cirebon, Jawa Barat.

Eka mulanya mengira hanya akan mengajar mata pelajaran umum kepada anak-anak binaan Inspiration House, seperti bahasa dan matematika. Tapi saat di lapangan, dia ternyata juga harus mengajarkan toleransi, keberagaman, hingga etika kepada anak-anak yang umumnya berusia dini hingga usia SD itu.

Meski tak sesuai bayangan awal, Eka tidak berhenti. Sebab dia mengamati anak-anak binaan Inspiration House justru menjadi bisa bersikap sopan, dan menghargai para pengajar. Baginya, itu adalah tanda para relawan menanamkan ajaran yang baik. 

Sayangnya, orang tua Eka sempat ragu atas keputusannya itu. Pasalnya, saat itu ia merupakan satu-satunya relawan beragama Islam di antara relawan beragama Kristen. Pengalaman berkonflik dengan pemeluk Kristen masih membayangi benak orang tua Eka.

“Aku mencoba meyakinkan dan teman-teman Inspiration House juga sering datang dulu ke rumah. Orang tuaku melihat mereka baik kok, jadi orang tuaku gak worry,” terang Eka.

Kian lama, Inspiration House membuat pemahamannya tentang toleransi menguat. Bukan hanya karena mengajar, tapi juga karena sering berinteraksi dengan relawan-relawan lain yang beragama Kristen. Salah satunya lewat doa lintas iman yang rutin dilakukan para relawan.

"Pikiran saya menjadi terbuka bahwa nonmuslim juga banyak kok yang baik, baik atau tidaknya manusia itu dari pribadi masing-masing, bukan dari agamanya apa. Ternyata saya salah menggeneralisasi hal itu," aku Eka. 

Pengalaman berbeda dikisahkan relawan Inspiration House lainnya, Dede Hasanah. Sebelum bergabung dengan komunitas ini, perempuan muslim ini sudah berteman dan berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda agama. Meski belum mendalami tentang keberagamaan, perbedaan latar belakang bukanlah hal yang asing baginya.

Melalui Inspiration House, pemahaman Dede tentang keberagaman mulai diperdalam lewat berbagai kegiatan, misalnya bedah buku tentang keberagaman dan interaksi langsung dengan orang-orang yang berbeda.

"Relawan dan anak-anak sama-sama belajar toleransi," ujar Dede, Rabu (4/9).

Melalui komunitas ini pula, dia mendapat pengalaman mengajar bahasa Inggris di gereja. Dia dan relawan Inspiration House lainnya juga diundang pihak gereja untuk menyaksikan perayaan Natal. Sebuah pengalaman berkesan yang tidak didapatnya dari tempat lain.

"Saya belum pernah mengikuti kegiatan tersebut. Belum pernah juga berinteraksi banyak dengan orang-orang yang berbeda, hanya berinteraksi beberapa kali saja," cerita Dede.

Sebagai mahasiswi jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), niat awal Dede bergabung dengan Inspiration House adalah mengembangkan cara mengajarnya. Ternyata, dia juga meraup ilmu baru dan menjalin relasi dengan orang-orang dari berbagai kalangan.

Berangkat Dari Pengalaman
Inspiration House digagas oleh perempuan bernama Cici Situmorang, perempuan pemeluk Kristen yang pernah mengalami diskriminasi berbasis agama.

Dulu, saat berkuliah pada tahun 2016, dia terdampak kasus penodaan agama yang menjerat Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Sejumlah orang mengaitkannya dengan Ahok. Mereka juga memprovokasi orang lain untuk menjauhi Cici.

Komunitas pendidikan gratis yang baru ia bangun beberapa bulan, cikal bakal Inspiration House, akhirnya terkena imbas. Komunitas ini dituduh melakukan kristenisasi. Alhasil, anak binaan komunitas cepat berkurang, dari sekitar 300 anak menjadi 10-20 anak. Jumlah relawan pengajar juga turun, dari sekitar 30 orang menjadi tiga orang saja.

"Kekhawatiran orang-orang adalah kalau ada orang yang berbeda dan dia berbagi jangan-jangan dia ada agenda. Dalam hati saya, agenda apa? Agenda kebaikan yang diajarkan semua agama bukan?" ujar Cici menceritakan pengalamannya, Kamis (29/8).

Selama setahun dia depresi karena hal itu. Namun, dia yakin kegiatan yang dilakukan komunitasnya adalah untuk kebaikan. Dia pun belajar memaafkan orang-orang dan konsisten mengajar di komunitas dengan tiga orang temannya.

Berangkat dari pengalaman itu, Cici dan para relawan mulai mengajarkan keberagaman dan toleransi kepada anak-anak komunitas. Komunitas ini lantas dinamakan Inspiration House. Di samping toleransi, mereka juga mengajar bahasa asing, matematika, hingga kreativitas.

Pendidikan toleransi yang dilakukan Inspiration House menggunakan pendekatan yang menyenangkan. Para relawan bercerita, bermain permainan, hingga menyanyikan lagu. Anak-anak juga dikenalkan dengan tokoh toleransi, seperti Gus Dur dan Buya Syafii Maarif.

Tak hanya itu, anak-anak dipertemukan dengan orang-orang yang berbeda latar belakang. Mereka juga diajak berkunjung ke berbagai rumah ibadah.

"Penting sekali untuk mengenal, berjumpa, tau, melihat, bukan hanya sebatas cerita dalam pelajaran kewarganegaraan," terang Cici.

Setelah sembilan tahun berjalan, dia melihat pendidikan toleransi yang ia tanamkan berbuah hasil. Anak-anak binaannya kini bisa menerima orang yang berbeda dengan mereka.

"Dulu saya bawa teman Tionghoa, mereka sempat syok. Tapi, karena sering ada yang datang lagi mereka biasa. Jadi, memang perjumpaan itu adalah cara yang paling indah untuk mengenalkan orang kepada perbedaan," ujar Cici.

Toleransi Sejak Dini
Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo alias Romo Benny berkata, saat ini kasus intoleransi di Tanah Air tergolong minim. Meski begitu, kasus intoleransi bisa merebak jika masyarakat tidak waspada. 

Menurutnya, ada beberapa hal yang dapat memicu terjadinya intoleransi. Pertama, pemahaman agama yang tidak utuh. Kedua, adanya kecurigaan, ketakutan, dan politik identitas yang menjangkiti Tanah Air.

"Kalau dari angka Setara Institute, studi-studi UGM (Universitas Gadjah Mada), itu menunjukkan tren peningkatan (intoleransi) selama 10 tahun ini dan tidak ada penurunan dari intoleransi ini. Ini yang harus diwaspadai dan disikapi," ujar Romo Benny yang berbincang dengan Validnews, Senin (2/9).

Oleh karena itu, dia menganggap nilai-nilai toleransi dan keberagaman penting diajarkan sejak dini. Ini dapat dilakukan dengan mengajak anak mengunjungi berbagai rumah ibadah dan mengenalkan anak pada orang-orang yang berbeda keyakinan. Harapannya, nilai keberagaman dapat menjadi cara berpikir, bertindak, dan bernalar.

Dia juga mengatakan, BPIP sejatinya sudah menyusun buku teks pendidikan Pancasila yang mengajarkan prinsip-prinsip dasar toleransi. Buku ini seharusnya dijadikan buku wajib di sekolah. Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan buku teks Pancasila belum dijadikan buku pelajaran wajib.

"Kita berharap political will dari Kementerian Pendidikan agar pendidikan Pancasila itu diajarkan sejak dini dan itu merupakan kesepakatan kita dalam hidup berbangsa dan bernegara," tutup Romo Benny.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar