c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

14 November 2025

19:45 WIB

Siasat Membebaskan ODGJ Dari Pasungan

Praktik pemasungan ODGJ masih terjadi saat ini karena keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan jiwa, faktor ekonomi, dan rendahnya pengetahuan masyarakat.

Penulis: James Fernando

Editor: Rikando Somba

<p>Siasat Membebaskan ODGJ Dari Pasungan</p>
<p>Siasat Membebaskan ODGJ Dari Pasungan</p>

Ilustrasi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) berada dalam pasungan beton.ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto

JAKARTA – Septian Reza Nuranda ingat betul salah satu pengalamannya menolong Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di pinggiran Boyolali, Jawa Tengah. Kala itu, dia mendapati ODGJ yang sudah berusia lanjut terpasung tak berdaya di sebuah rumah kayu berukuran kecil. 

Saat ditemukan, si kakek hanya bisa berbaring tengkurap di lantai semen yang dingin. Tangan dan kakinya terikat rantai. 

Kakek itu bahkan untuk sesaat tidak menyadari kedatangan Reza dan teman-temannya. Matanya ditutup ikatan kain. Mulutnya dibungkam dengan sobekan sarung.

Udara di dalam ruangan itu pun terasa pengap. Ditambah, bau apak ruangan yang menyengat, bercampur dengan aroma tubuh si kakek yang tidak pernah tersentuh sabun. Ingatan akan kondisi ruangan itu masih membekas di benak Reza.

Reza dan Relawan Peduli ODGJ hari itu sengaja datang untuk membebaskan si kakek. Beberapa dari mereka tak kuasa menahan air mata melihat pemandangan ini. Pasalnya, mereka juga mendapati tubuh si kakek dipenuhi luka bernanah. Kebanyakan telah membusuk. 

Komunitas ini sadar harus cepat-cepat membawanya ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) terdekat. Sayangnya, pertolongan dari mereka terlambat. ODGJ tersebut meninggal dunia saat ditangani dokter. 

Perasaan Reza dan teman-temannya campur aduk. Mereka sedih karena merasa gagal untuk memberikan pertolongan, tetapi juga marah karena keluarga si kakek lama membiarkan kondisinya seperti itu. 

Reza yang masih bisa mengontrol emosinya segera menghampiri keluarga tersebut. Bukan untuk meluapkan amarahnya, tapi ia coba menerangkan bahwa perbuatan mereka memasung ODGJ salah. Memasung justru merenggut kebebasan ODGJ. Memperburuk kondisi psikologisnya. 

Pemasungan bahkan juga bisa mempercepat ODGJ meninggal dunia, lantaran merasa stres terkekang rantai di tubuhnya. Penjelasan Reza ini seketika menyadarkan pihak keluarga. Mereka menyesal memasung si kakek.

Ironisnya, kejadian ini bukan hanya dialami oleh kakek tersebut. Di Jawa Tengah, setahu Reza, masih ada ratusan ODGJ dipasung di di Jawa Tengah. Banyak yang bernasib serupa dengan kakek di Boyolali itu. 

Reza dan teman-temannya sudah lama merasa prihatin dan gelisah mendapati masih banyak pemasungan ODGJ. Setahun belakangan saja, mereka mendapatkan lima laporan dari masyarakat soal pemasungan ODGJ di rumah.

Memasung Karena Malu
Komunitas bentukan Reza ini sebenarnya lebih banyak menangani ODGJ yang terlantar di jalanan. Karena itu, Reza dan teman-temannya biasanya akan berkoordinasi dengan dinas sosial setempat ketika mendapat kabar ada pemasungan. Mereka akan meminta petunjuk cara berkomunikasi yang baik dengan keluarga ODGJ.

Polisi juga akan dilibatkan untuk mencegah jika terjadi keributan saat komunitasnya membujuk keluarga ODGJ agar berhenti memasung. 

Saat mendatangi keluarga ODGJ, Reza biasanya akan mengedukasi, dan memberitahu bahwa mereka bisa meminta bantuan dinas sosial jika tidak bisa merawat ODGJ.

Cara paling mudah, pihak keluarga bisa melapor ke ketua RT/RW, sehingga hal tersebut bisa diteruskan ke aparat kelurahan hingga kecamatan. Jadi, anggota keluarganya memperoleh perawatan di rumah sakit selayaknya pasien.

Selama ini, Reza mendapati keluarga ODGJ banyak yang merasa malu mengungkap keadaan anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa ke orang lain. Mereka merasa menyebarkan aib keluarga. 

Mereka juga merasa khawatir tetangga akan menggunjingkan kejadian anggota keluarga yang ODGJ kambuh penyakitnya saat berada di luar rumah. Alasan-alasan itu pada akhirnya yang memicu tindakan pemasungan. 

Reza cukup sering mendengarnya saat berbincang dengan keluarga ODGJ. Respons Reza biasanya selalu sama. Ia pasti akan langsung mengingatkan UU Kesehatan melarang pemasungan. Pasal 76 ayat 2 Undang-undang Kesehatan tegas menyatakan penelantaran hingga pemasungan ODGJ adalah melanggar hak asasi orang. 

Reza juga akan menyampaikan pihak keluarga bisa dikenakan sanksi pidana setidaknya dua tahun penjara jika kedapatan memasung ODGJ.

Dirinya juga akan menerangkan tindakan pemasungan hanya akan membuat masalah kejiwaan ODGJ bertambah buruk. Pemasungan membuat mereka semakin terkekang, sehingga ODGJ bisa mengamuk setiap saat.

ODGJ, menurut Reza, memiliki emosi layaknya orang sehat. Oleh karena itu, tindakan keluarga bisa saja malah membuat pasien semakin berbahaya untuk orang lain.

“ODGJ itu juga manusia. Mereka juga memiliki hak untuk bebas. Jadi jangan dirampas kebebasannya, karena akan membahayakan untuk orang lain juga,” kata Reza, saat berbincang dengan Validnews, Kamis (13/11).  

Keluarga pasien ODGJ yang didatangi Reza rata-rata mau menerima masukan. Setelah berbincang, mereka biasanya jadi kepikiran untuk membebaskannya dari pasung.

Meski ODGJ itu pada akhirnya dibebaskan dari pemasungan, pekerjaan Komunitas Relawan Peduli ODGJ tidaklah selesai. Reza dan teman-temannya masih akan terus mendampingi pasien hingga berbulan-bulan ke depan. 

Mereka ingin memastikan ODGJ yang telah dilepaskan dari pemasungan, maupun ODGJ yang terlantar di jalanan, mendapatkan perawatan yang baik dari keluarga maupun petugas kesehatan.

Reza sendiri sesekali akan menyambangi kediaman keluarga pasien ODGJ untuk memastikan ketersediaan obat. Kalau obatnya habis, ia mengingatkan pihak keluarga untuk menghubungi pihak rumah sakit.

“Kami pantau mereka, ingatkan keluarga soal jadwal kontrol, bantu biaya transport kalau perlu. Kami juga datang sebulan sekali untuk melihat perkembangan,” tambah Reza.

Selain mendekati pihak keluarga ODGJ, Relawan Peduli ODGJ Soloraya juga coba mengedukasi masyarakat. Ini dijalankan setidaknya sebulan sekali. 

Mereka rutin melakukan edukasi karena mendapati ada banyak warga yang bersikap tidak menerima kampung mereka ada ODGJ. Di mata mereka, ODGJ berbahaya. Tidak layak berada di tengah masyarakat.    

“Ada yang bilang, ‘mending dirantai saja daripada ngamuk’. Tapi ya kami sabar. Kami datangi lagi, terus-menerus. Pelan-pelan mereka mulai paham. Alhamdulillah-nya sudah banyak yang menerima,” akunya.

Dianggap Cara Paling Mudah
Di lokasi lain, Komunitas Gandeng ODGJ yang didirikan Nurisha Kitana juga mendapati penanganan ODGJ yang keliru. Situasinya bahkan lebih mengkhawatirkan, lantaran mereka beberapa kali menemukan pemasungan malah dilakukan oleh panti rehabilitasi. 

Pemandangan ini salah satunya didapati Risha - panggilan akrab Nurisha- saat mengadakan kegiatan di panti rehabilitasi ODGJ di sekitaran Jawa Barat. Waktu itu, saat datang menghibur para ODGJ dengan berbagai kegiatan, mereka tidak sengaja melihat ada ODGJ yang tengah dipasung di salah satu ruangan.

Begitu ditanya alasannya memasung, pengurus panti menjawab hanya melakukan cara paling mudah untuk mengurus ODGJ. Mereka juga yakin ODGJ jadi bisa mengontrol diri saat dilepaskan nanti. Terang ini membuatnya terheran-heran. Jawaban pengurus panti sama sekali di luar tindakan medis. Dia yakin, pengurus panti pun tahu tindakan itu salah, karena justru akan membuat kondisi pasien ODGJ bertambah parah. 

Jawaban pengurus panti itu menguatkan niat Risha untuk mengupayakan perubahan. Risha tetap tergerak meski tahu perubahan tidak datang dalam semalam, terlebih jika berhadapan dengan sistem yang sudah lama terbentuk. 

Risha, setelah kejadian itu, selalu meminta para pengurus untuk membawa seluruh pasien ODGJ mengikuti kegiatan Komunitas Gandeng ODGJ. Mereka pasti akan memeriksa setiap ruangan yang mereka curigai menjadi tempat ODGJ dipasung.

Kalau ada ODGJ dipasung, mereka akan meminta agar pengurus panti untuk mengeluarkannya, dengan alasan akan diikutsertakan dalam kegiatan. Risha dan teman-temannya menjamin akan menjaga pasien itu selama acara.

Kekhawatiran pengurus panti ODGJ akan mengamuk jika dilepas dari pasung sejauh ini belum pernah terjadi. Para ODGJ justru bisa bergembira bersama para relawan Komunitas Gandeng ODGJ.

Saat melakukan kegiatan, para relawan memang lebih banyak mengadakan kegiatan santai bermain, bernyanyi, atau sekadar berbagi makanan dan perlengkapan kebersihan. Tujuannya sederhana, untuk menciptakan interaksi hangat yang memulihkan rasa kemanusiaan.

Mereka kadang juga menyisipkan kegiatan kerja sama antara anggota Gandeng ODGJ dengan para pasien. Risha hendak menunjukkan kepada para pengurus panti bahwa para ODGJ itu bisa diajak berinteraksi dengan baik.

“Kami buktikan langsung. Mereka ikut kegiatan, tertawa, bahkan saling membantu. Itu bukti bahwa mereka nggak butuh pasung, tapi butuh ruang,” kata Risha, kepada Validnews, Kamis (13/11).

Edukasi Gandeng ODGJ memang lebih banyak dilakukan melalui contoh nyata. Dalam setiap kunjungan, mereka menunjukkan bahwa ODGJ bisa diajak beraktivitas tanpa harus dirantai. Risha berharap, tindakan mereka bisa menjadi pembelajaran oleh pengurus panti.    

Meski selalu berusaha mengedukasi pengurus panti agar tidak melakukan pemasungan, Risha mengakui perubahannya yang mereka kehendaki belum tercapai. Kebanyakan pengelola panti merasa cara mereka sudah paling aman.

Risha pun tidak bisa langsung memaksa para pengurus panti. Komunitas ini hanya mencoba untuk mengedukasi. Mereka juga selalu mengingatkan pemerintah sudah melarang pemasungan ODGJ.

Kalau penyakit mereka sedang kumat, Risha justru menyarankan agar mereka dimasukkan ke ruang isolasi. Cara ini menurut Risha lebih baik ketimbang memasung. Sebab, mereka tetap bisa bebas meski berada di ruang isolasi. Sebagian pengurus panti mau mendengarkan saran Risha, tapi lainnya belum.

“Setiap kali kami jelaskan bahwa pasung itu melanggar hak asasi, jawabannya hampir sama, nanti kalau dilepas kabur, atau melukai orang. Mereka tahu itu salah, tapi takut ambil risiko,” kata Risha.

Komunitas ini sengaja tidak coba mengintervensi langsung cara pengurus panti mengurus pasiennya. Mereka hanya akan terus mengagendakan kunjungan ke panti yang memiliki pasien ODGJ yang dipasung. Memastikan mereka tidak lagi dipasung.

Pemasungan Tidak Efektif
Psikolog sekaligus Direktur Minauli Consulting, Irna Minauli menegaskan, metode pemasungan terhadap ODGJ bukanlah bentuk terapi yang efektif. Praktik tersebut sudah ditinggalkan sejak reformasi kesehatan mental pada 1970–1980-an.

Praktik pemasungan masih terjadi saat ini karena sejumlah masalah, seperti keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan jiwa, faktor ekonomi, dan rendahnya pengetahuan masyarakat. 

Dalam banyak kasus, pemasungan juga sering dianggap sebagai jalan pintas ketika penderita gangguan jiwa dinilai berpotensi membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

Sayangnya, ini masih menjadi kenyataan menyesakkan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mencatat sebanyak 1.750 kasus pemasungan terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) terjadi di Indonesia sepanjang 2024. Angka tersebut diyakini masih lebih kecil dari jumlah sebenarnya karena sebagian besar keluarga enggan melaporkan kondisi anggotanya yang menderita gangguan jiwa, apalagi sengaja dipasung.

Padahal, pemerintah Indonesia telah mencanangkan target nasional menuju Indonesia Bebas Pasung pada tahun 2026

“Saat ini ternyata masih ada sekitar 1.750-an kasus pasung di Indonesia. Saya yakin harusnya lebih dari itu karena yang tercatat hanya yang dilaporkan,” ujar Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kemenkes RI, Imran Pambudi, dalam Konferensi Pers Seminar Nasional Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di lobi Auditorium FKKMK UGM, Kamis (9/10).

Sementara itu, Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kemenkes RI, Imran Pambudi, dalam Konferensi Pers Seminar Nasional Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di lobi Auditorium FKKMK UGM, Kamis (9/10) mengungkapkan,  di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kasus pasung terhadap ODGJ secara fisik telah dieliminasi. Dikutip dari Antara, dia meyakini tidak ada lagi hal ini terjadi. Namun, praktik pengurungan yang termasuk dalam definisi operasional pasung versi terbaru Kemenkes, masih ditemukan.

“Kalau di DIY, tidak ada pasung, sudah eliminasi. Tapi kalau pengurungan, mungkin masih ada,” kata Imran.

Dia juga memaparkan, kasus gangguan jiwa yang paling banyak adalah depresi. Kemudian diikuti ansietas atau kecemasan, dan kemudian skizofrenia atau psikosis. "Psikosis ini yang biasanya berhubungan dengan pasung,” jelas Imran.

Irna di kesempatan berbeda, mengatakan, pemasungan dapat memperburuk kondisi pasien ODGJ. Selain menyebabkan trauma dan stres, tindakan itu membuat pasien kehilangan otonomi dan harga diri.  Dalam jangka panjang, praktik pemasungan turut memperkuat stigma dan diskriminasi terhadap ODGJ, serta menghambat mereka memperoleh perawatan yang layak.

“Karena itu, pemasungan dianggap tidak efektif sebagai bentuk penanganan gangguan jiwa,” kata Irna, kepada Validnews, Kamis (13/11).

Irna mengakui, dalam kondisi kritis tertentu seperti ketika pasien berperilaku agresif atau membahayakan jiwa orang lain, pemasungan dapat dilakukan sementara. Namun langkah tersebut harus bersifat darurat. Tidak dilakukan dalam jangka panjang.

Yang jelas, penanganan terhadap orang dengan gangguan jiwa berat sebaiknya dilakukan di rumah sakit jiwa dengan pendekatan medis, psikologis, dan sosial yang komprehensif.

“Orang dengan gangguan jiwa berat harus dirawat secara profesional, sementara masyarakat perlu memahami bahwa mereka bukan ancaman, tetapi individu yang membutuhkan pertolongan,” tandasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar