14 November 2025
10:37 WIB
Setahun Prabowo-Gibran, Tanpa Penetapan Hutan Adat di Papua
Penetapan hutan adat di Papua minim, namun izin ekstraktif kekayaan alam di wilayah itu marak.
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
Seorang warga di Hutan Kampung Sira, Distrik Saifi, Sorong Selatan. (ANTARA News/Monalisa).
JAKARTA - Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mencatat, penetapan hutan adat di seluruh Pulau Papua mulai 2016 hingga Oktober 2025 hanya mencapai angka 39.912 hektare (ha). Namun, tidak ada satupun dari jumlah tersebut yang ditetapkan oleh Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam setahun pemerintahan mereka.
Staf Kampanye Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Yokbeth Felle mengatakan, dari pencapaian 39.912 ha, belum termasuk usulan hutan adat yang Pusaka dampingi, yakni di Sorong dan Sorong Selatan.
“Ini ironis, setelah 13 tahun putusan Mahkamah Konstitusi, penetapan hutan adat di Papua baru hanya seluas 39,9 ribu ha dari potensi luasan 12,466 juta ha,” jelas dia, dalam keterangannya, Jumat (14/11).
Yokbeth menyesalkan penetapan hutan adat tak sebanding dengan proyek ekstraktif. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 591 Tahun 2025 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan untuk mendukung proyek ekstraktif di Provinsi Papua Selatan mencapai 587.750 ha dan berlangsung di wilayah adat.
“Jadi proses untuk memberikan izin pada proyek ekstraktif itu lebih cepat dibandingkan dengan memberikan pengakuan hutan adat. Bahkan Papua Selatan sebagai provinsi baru dipaksa untuk merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah untuk mempercepat kawasan budi daya seluas sepuluh juta hektare lebih untuk mengakomodasi perluasan proyek ekstraktif,” urai dia.
Yokbeth menilai negara tidak serius dalam memenuhi, memajukan, menghormati, dan melindungi hak masyarakat adat.
Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Julmansyah mengatakan, salah satu masalah yang memperlambat proses pengakuan hutan adat adalah keterbatasan sumber daya yang ada di masyarakat dan pemerintah daerah.
Menurut dia, masalah ini bisa disiasati dengan berkolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil yang memiliki sumber daya tersebut. Kemenhut juga memberikan pelatihan untuk menambah verifikator untuk mempercepat proses verifikasi usulan pengakuan hutan adat.
Saat ini, Kemenhut telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penetapan Status Hutan Adat yang terdiri dari kementerian, akademisi, praktisi, serta mitra, termasuk organisasi masyarakat sipil.
Kemenhut menargetkan percepatan penetapan 1,4 juta ha hutan adat hingga 2029 sebagai bagian integral strategi nasional memerangi kejahatan lingkungan dan memperkuat tata kelola hutan berbasis masyarakat.
“Basis dari pengakuan tersebut adalah permohonan usulan, ada luasnya, petanya,” urai dia.
Julmansyah menerangkan, target 1,4 juta ha merupakan hasil diskusi dari organisasi masyarakat sipil yang sudah memiliki data tentang daerah yang sudah memiliki peraturan tentang pengakuan dan penetapan hak masyarakat adat, surat keputusan pengakuan tersebut, peta wilayah adat dan lainnya. Saat ini Kemenhut telah menyusun roadmap percepatan penetapan status hutan adat.
“Desember 2025 nanti rencana kami melakukan konsultasi publik untuk draft roadmap-nya,” kata Julmansyah.