10 Mei 2024
20:30 WIB
Serunya Kegiatan Si Pembisik
Kegiatan pembisik dalam agenda nonton bareng dengan tunanetra sejatinya bertujuan untuk menciptakan ruang yang inklusif dan membangun kesadaran perlunya keadilan dalam perfilman.
Penulis: Gisesya Ranggawari
Editor: Nofanolo Zagoto
Relawan Teman Bisik mendeskripsikan adegan kepada penyandang disabilitas netra saat kegiatan Nonton Bareng Bioskop Harewos (berbisik) di Museum Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Rabu (30/3/2022). Antara Foto/Novrian Arbi
JAKARTA – Menonton film di bioskop belakangan bukan lagi kegiatan yang sulit dinikmati penyandang tunanetra. Mereka kini juga bisa merasakan sensasi menonton film berkat peran relawan bisik.
Relawan bisik sendiri biasanya bertugas mendeskripsikan adegan tanpa dialog ke tunanetra yang ditemaninya menonton.
Faras, salah satu relawan bisik bercerita apa yang dia dan teman-temannya sesama relawan lakukan. Mereka harus mampu menceritakan detail suasana dalam film, termasuk raut wajah aktor. Bahkan di beberapa scene, Faras mesti menceritakan alur dan maksud dari adegan tersebut secara detail. Untuk kegiatan ini, dia dan sesama relawan wajib ekstra sabar.
"Lumayan susah sih, menjelaskan gestur, karakter pemerannya, ekspresinya. Jadi kita menjelaskan selain yang ada di dialog, karena kalau dialog kan mereka bisa dengar," beber Faras saat berbincang dengan Validnews, Kamis (9/5).
Faras sendiri sudah rajin ikutan jadi relawan bisik sejak 2019. Dia saat itu terlibat dalam program Bioskop Bisik dari Komunitas 100% Manusia. Film yang disuguhkan berjudul Keluarga Cemara.
"Saya sering nonton film festival dan ikut komunitas-komunitas film. Lalu ada open volunteer, penasaran dan untuk mengisi waktu luang, saya daftar," ujar Faras kepada Validnews, Kamis (9/5).
Faras sejak saat itu jadi tahu relawan bisik tidak sekadar menjadi teman nonton tunanetra saat film berlangsung. Sebab dia ternyata harus membantu menuntun tunanetra yang sudah dipasangkan dengannya dari lobi bioskop hingga yang didampingi duduk dengan baik.
Faras juga akan diberi waktu untuk berkomunikasi dengan tunanetra yang ditemaninya. Tujuannya agar relawan dan tunanetra tidak canggung lagi saat menonton bersama. Biasanya teman bisik akan diberi waktu berkenalan sekitar 15-30 menit sebelum film diputar.
Pihak penyelenggara juga akan mengingatkan agar dia selalu mendampingi peserta tunanetra yang akan menonton. Selain itu, Faras diingatkan untuk menceritakan alur film dengan cara berbisik.
Melatih Kesabaran
Pengalaman pertama tersebut sukses. Ini membuat Faras ketagihan. Setidaknya sekali setahun, dia menyempatkan diri menjadi relawan bisik. Bahkan pada tahun berikutnya, dia sengaja menonton terlebih dahulu film yang akan ditayangkan untuk tunanetra.
Perbedaannya cukup terasa. Faras jadi lebih sigap menjelaskan hal-hal detail saat ada adegan yang agak rumit dideskripsikan. "Saya sengaja nonton dulu, ternyata lebih enak karena sudah tahu alur filmnya, lebih mudah komunikasinya. Jadi niatnya hanya untuk bantuin teman tunanetra menonton," ucap Faras.
Buatnya, pengalaman ini seru dan menarik. Sebab, selain dapat membantu tunanetra memperoleh pengalaman baru, kegiatan ini melatih kesabaran, komunikasi dan pemahamannya seputar film. Faras juga jadi terbiasa lebih detail saat memperhatikan sesuatu.
Pengalaman menjadi relawan bisik juga menambah jumlah teman. Faras saat ini berteman dengan beberapa tunanetra yang dikenalnya di program Bioskop Bisik.
"Kalau ada lagi misalkan tahun ini saya pingin sih, karena seru, aku jadi banyak belajar. Enggak semua buat diri sendiri, bagaimana caranya ngasih tahu sampai orang lain ngerti," paparnya.
Kegiatan Bioskop Bisik ini setidaknya muncul sekali setahun. Kegiatannya dijalankan oleh komunitas-komunitas tertentu pada peringatan Hari Disabilitas.
Seperti halnya Faras, Gemi yang tergabung dalam komunitas Inklusi Film Indonesia juga rutin tergerak menjadi relawan bisik sejak 2018. Meski pernah membintangi beberapa iklan dan sinetron karya production house Citra Sinema, Gemi tetap mempersiapkan diri dengan matang sebelum menjadi relawan bisik.
Dia pasti akan mencari tahu terlebih dulu para pemeran dan sinopsis film yang akan ditayangkan untuk tunanetra.
Saat waktunya mendeskripsikan adegan, Gemi juga merasa perlu untuk menerangkan semuanya, seperti sedang membawakan drama radio. Suara-suara yang menggelegar, adegan tanpa dialog dan aksi pemerannya akan dijelaskan sedetail mungkin.
"Agar mereka biar bisa membayangkan, imajinasinya main. Hal itu sedikit memudahkan saat menceritakan kembali adegan filmnya," kata Gemi kepada Validnews, Selasa (7/5).
Tantangan lain hadir ketika Gemi harus membisikkan film horor. Dia mesti menerangkan secara detail filmnya, meski kadang dirinya juga takut dan kaget terbawa suasana. Film horor juga kebanyakan tanpa dialog sehingga perlu ada penjelasan lebih banyak dari biasanya.
Gemi juga pernah lupa membisikkan deskripsi adegan ke tunanetra di sebelahnya gegara terlalu fokus menonton. Dia baru tersadar saat tunanetra menegurnya.
"Iya kalau kita keasyikan nonton tunanetranya pun nanya; Mas kok diem? Sedang apa ini,“ aku Gemi sambil tertawa.
Dirinya pernah pula terpaksa membisikkan deskripsi adegan ke dua tunanetra di sebelah kanan dan kirinya sekaligus. Hal ini dilakukan saat jumlah relawan bisik yang ada kurang. Mau tidak mau Gemi harus menjelaskan alur dan cerita film lengkap dengan suasana sebanyak dua kali.
Meski sangat menikmati perannya sebagai relawan bisik, setahu Gemi kegiatan nobar bersama tunanetra ini belum ada yang dilaksanakan secara rutin. Kegiatan seperti ini seringnya muncul saat ada promo film atau saat memperingati hari-hari tertentu.
Production house film biasanya akan bekerja sama dengan Komunitas Cinta Film Indonesia (KCFI) untuk menyelenggarakan nobar dengan tunanetra tersebut. Lokasinya kadang dilakukan di bioskop, atau di tempat pemutaran film Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI).
"Enggak rutin setiap bulan atau minggu, tapi pasti ada tiap tahun. Biasanya tergantung saat promo filmnya, premier misalnya ya kita diajak gitu," ungkap dia.
Gemi mengaku tidak kapok meski tidak ada bayaran dan harus mengeluarkan ongkos transportasi sendiri. Menurutnya, kegiatan ini diperlukan bagi para tunanetra yang tertarik dengan dunia film. Jadi mereka dapat merasakan kegembiraan dan pengalaman menonton film.
"Kalau ada film laris, ramai gitu, kan mereka-mereka ini juga penasaran kepingin nonton. Jadi ya kita ikut bantu lah. Kadang kan kita ikut merasakan keluhan mereka juga," tutur Gemi.
Terdekat, kegiatan nobar bersama tunanetra ini diselenggarakan oleh KCFI di Hotel Aston, Denpasar, Bali pada 16 Mei 2024 dengan tajuk Diskusi dan Nobar Bioskop Bisik, Membangun Ekosistem Film yang Inklusif.

Film Yang Inklusif
Ketua Umum KCFI, Budi Sumarno menerangkan, hadirnya nobar dengan tunanetra ini sejatinya bertujuan untuk menciptakan ruang yang inklusif dan membangun kesadaran tentang pentingnya representasi yang adil dalam dunia perfilman.
"Kami ingin mengangkat suara kaum disabilitas dan memperluas kesempatan mereka untuk terlibat secara aktif dalam industri film, sambil memberikan tontonan ramah disabilitas," jelas Budi kepada Validnews, Selasa (7/5).
Diakuinya, kegiatan ini memang tidak diselenggarakan secara rutin. Namun, setiap bulan atau dua bulan sekali selalu ada. Misalnya bulan lalu dalam perayaan Hari film Nasional dan bulan ini.
Dia menilai, diperlukan kesempatan hak dan ruang yang lebih luas bagi komunitas disabilitas di dalam dunia perfilman. Sebab, tidak ada alasan bagi penyandang disabilitas untuk tidak memiliki tempat yang setara dalam penceritaan visual ini.
"Untuk itu, kami merangkul visi inklusif yang mengajak untuk mendorong keterlibatan aktif dari para sineas, pegiat, dan aktor dengan disabilitas, serta menciptakan ruang yang ramah bagi penonton dengan berbagai latar belakang," bebernya.
Budi berharap melalui kombinasi diskusi dan nobar bioskop bisik ini, bisa mendorong perubahan sosial yang lebih besar dalam memperjuangkan inklusivitas dan kesetaraan dalam dunia perfilman, serta mendorong perubahan sikap dan persepsi masyarakat terhadap penyandang disabilitas.
Selain itu, bisa membangun pemahaman yang lebih dalam tentang inklusivitas dalam dunia perfilman. Selain tentunya memberikan pengalaman nobar yang inklusif bagi penonton tunanetra.
"Kami berharap dapat menciptakan dampak positif yang berkelanjutan dalam menciptakan ruang yang lebih inklusif dan representatif dalam dunia perfilman," imbuh Budi.
Dari sisi hukum, sejatinya kesempatan para penyandang tunanetra ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam beleid itu disebutkan, hak penyandang disabilitas dijamin agar ikut berpartisipasi dalam kegiatan budaya dan rekreasi.
Perundangan ini juga mewajibkan penyelenggaraan kegiatan budaya dan hiburan untuk menyediakan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Menjamin hak penyandang disabilitas untuk memperoleh informasi, termasuk informasi tentang kegiatan budaya dan hiburan.
Ada pula Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang menjamin hak setiap warga negara untuk mengakses dan menikmati kegiatan kebudayaan, serta mendorong penyelenggaraan kegiatan kebudayaan yang inklusif dan beragam, termasuk dengan memperhatikan kebutuhan penyandang disabilitas.
Selanjutnya, ada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman yang menekankan pentingnya representasi yang beragam dalam film, termasuk representasi penyandang disabilitas. Diwajibkan juga penyelenggaraan penayangan film untuk menyediakan aksesibilitas bagi penonton dengan disabilitas.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Derajad. S. W menerangkan, prinsip interaksi sosial memang saling bantu. Sebab setiap manusia tidak memiliki kondisi yang sama, sehingga adakalanya memerlukan bantuan dari orang lain.
Kaitannya dengan inklusifitas, Derajad pun menyebut sikap toleran yang bisa menunjukkan konsep inklusi berarti mampu menyamakan kesetaraan dalam semua aspek kehidupan. Kesadaran inklusi ini memang perlu ditumbuhkan dengan adanya pengetahuan atau sosialisasi, bahwa ada sebagian orang yang memiliki ketidakmampuan akan satu hal yang disebut disabilitas.
"Konsep inklusi ini yaitu setara, mereka (tunanetra) harus dapat kesempatan dan hak yang sama. Termasuk pada akses hiburan seperti film," ujar Derajad kepada Validnews, Jumat (10/5).
Pengetahuan atau sosialisasi ini menyadarkan semua orang ada kaum-kaum disabilitas yang mungkin berkurang dari sisi penglihatan, tapi semua sama bahkan terkadang justru memiliki kemampuan yang lebih pada aspek yang lain.
Selain itu, akses setara pun dinilai Derajad penting untuk menyadarkan khalayak akan keberadaan kaum disabilitas. Dengan begitu, pulang penerimaan kaum disabilitas akan lebih terbuka di masyarakat.
"Pemberian akses yang sama ini utamanya mesti oleh pemerintah lewat infrastuktur atau peluang dalam akses lowongan pekerjaan," sambung Derajad.
Sosialisasi dan akses tersebut pun pada akhirnya bisa menjadi edukasi atau pola pengenalan secara tidak langsung kepada mayoritas manusia bahwa ada kaum disabilitas yang memerlukan perhatian yang setara.
"Akses ini secara tidak langsung menumbuhkan kesadaran karena kita semua bisa bergaul, melihat dan pada akhirnya bisa memahami. Terrmasuk adanya relawan bisik ini, memberikan akses pada tunanetra," tandas Derajad.