20 Februari 2024
19:28 WIB
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA - Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengingatkan pihak sekolah untuk dapat mengidentifikasi munculnya geng pelajar dan mencegahnya berkembang.
Seperti diketahui, seorang siswa Binus International School di Serpong, Tangerang Selatan, diduga jadi korban bullying atau perundungan oleh geng pelajar hingga harus dirawat di rumah sakit. Saat ini, beberapa pelaku sudah di-dropout dari sekolah. Beberapa lainnya sedang diperiksa.
“Seharusnya sekolah dapat mengidentifikasi munculnya geng ini dan mencegah geng ini berkembang dengan merekrut adik-adik kelas melalui cara kekerasan,” katanya kepada Validnews, Selasa (12/2).
Retno mendorong Kemendikbudristek untuk menerapkan Permendikbudristek Nomor 46/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) untuk menangani kasus kekerasan di Binus International School.
“Kami sangat prihatin dengan kasus kekerasan yang dilakukan sebagai upaya untuk masuk ke dalam geng tersebut. Hal ini berpotensi kuat membahayakan keselamatan korban untuk itu perlu ditindak dengan tegas,” ucapnya.
Retno mengatakan, peristiwa yang dilakukan oleh sejumlah pelajar tersebut dapat dikategorikan sebagai kekerasan fisik berupa penganiayaan.
Oleh karenanya, FSGI menyayangkan pernyataan sekolah yang terkesan cari aman dan lepas tangan karena beralasan peristiwa ini terjadi di luar sekolah. Padahal, lokasi kejadian di sebuah warung tongkrongan yang ada di belakang sekolah, dan yang terlibat seluruhnya peserta didik dari sekolah yang sama, yaitu Binus International School.
Retno menduga kuat sekolah terkait belum mengimplementasikan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang PPKSP. Sebab, menurut Permendikbudristek Nomor 46, cakupan kekerasan yang dapat ditangani oleh Tim PPK Sekolah di antaranya terjadi di luar sekolah, tapi peserta didik yang terlibat merupakan siswa sekolah tersebut.
Di sisi lain, Retno juga meminta polisi mengusut tuntas kasus ini sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Kalau korban dan pelaku masih usia anak (18 tahun ke bawah), maka dalam penanganannya harus menggunakan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
“Sementara untuk anak korban harus mendapatkan pemulihan psikologi, harus dipenuhi pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan perundangan terkait hak anak,” kata Retno.