02 Februari 2024
14:32 WIB
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
JAKARTA - Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyampaikan, lebih dari separuh satuan pendidikan nonformal, belum membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Satuan pendidikan nonformal terdiri dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), dan satuan pendidikan sejenis.
Kepala Puspeka, Rusprita Putri Utami merinci, per hari ini SKB yang telah membentuk TPPK mencapai 248 atau sekitar 50%. Lalu, PKBM yang telah membentuk TPPK mencapai 3.374 atau sekitar 33,25%.
"Sehingga, ini masih hampir 67% ya yang perlu segera membentuk TPPK," ujar Rusprita dalam acara Percepatan Pembentukan Satgas dan TPPK di Satuan Pendidikan Khusus, SKB, dan PKBM, yang digelar daring, Jumat (2/2).
Dia menjelaskan, pembentukan TPPK merupakan amanat dari Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). TPPK di satuan pendidikan nonformal harus dibentuk maksimal satu tahun sejak Permendikbudristek PPKSP diundangkan pada 4 Agustus 2023.
Selain itu, dia mengatakan, sekolah luar biasa (SLB) juga belum seluruhnya membentuk TPPK. Rinciannya, baru 1.781 atau 76,2% SLB telah membentuk TPPK. Artinya, sekitar 23% SLB perlu segera membentuk TPPK. Sesuai Permendikbudristek PPKSP, SLB wajib membentuk TPPK maksimal enam bulan sejak aturan itu diundangkan.
Plt. Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus (PMPK) Kemendikbudristek, Aswin Wihdiyanto mengatakan, pembentukan TPPK merupakan salah satu upaya mewujudkan sekolah yang aman dari tindak kekerasan.
Berdasarkan data Asesmen Nasional 2022, lanjutnya, sebanyak 34,5% peserta didik berisiko mengalami tindak kekerasan seksual. Sebanyak 26,9% peserta didik berisiko mengalami kekerasan fisik. Selanjutnya, sebanyak 36% peserta didik berpotensi menjadi korban perundungan.
Dengan membentuk TPPK, menurut dia, kasus kekerasan di satuan pendidikan akan ditangani sesuai pedoman yang berlaku. Penanganan kasus juga dilakukan dengan melibatkan otoritas yang lebih tinggi, misalnya penegak hukum. Oleh karena itu, satuan pendidikan tidak bekerja sendiri dan tidak akan terbebani.
"Ini adalah bagian dari mewujudkan sekolah yang aman dari kekerasan, dari perundungan, sekolah yang ramah, nyaman, dan tentu saja inklusif untuk semua," pungkas Aswin.