c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

NASIONAL

10 Mei 2024

20:08 WIB

Salah Urus Penyebab BPR Tergerus

Tergerusnya BPR akibat kesalahan pengelolaan oleh pengurus sudah banyak terjadi dan diperkirakan hal ini akan terulang.

Penulis: Oktarina Paramitha Sandy, Aldiansyah Nurrahman

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>Salah Urus Penyebab BPR Tergerus</p>
<p>Salah Urus Penyebab BPR Tergerus</p>

Tim likuidasi LPS saat meninjau PT BPR Bank Pasar Bhakti. Dok/LPS

JAKARTA – Kabar itu sampai ke Tati Efanti, ibu rumah tangga di Sidoarjo, Jawa Timur pada medio Januari 2024. Dia menerima kabar, Bank Perekonomian Rakyat (BPR) Pasar Bhakti, tempatnya menabung akan dibubarkan. Kabar ini membuat hatinya masygul.  

Wajar jika dia menjadi khawatir. Tati memercayakan bank itu sebagai tempat menyimpang uang ratusan juta di rekening atas namanya. Sudah 20 tahun Tati menjadi nasabah bank itu. Dia memilih menabung di sana karena alasan lokasi bank yang dekat dari tempatnya tinggal. 

Kabar ini langsung ditanggapinya dengan gerakan cepat-cepat menarik tabungan. Inginnya, semua dana ditarik seketikan. Namun bank menyanggupi mengembalikan dana milik Tati secara terbatas per pekan. Akan tetapi, belum sampai bisa ditarik semua, dana tersisa Rp50 juta tak kunjung diterima. Pihak BPR Pasar Bhakti mengaku tak bisa memenuhinya.

“Makin bingung saya, karena uang itu bukan uang saya. Saya menarik arisan orang untuk lebaran dan kas PKK,” cerita Tati kepada Validnews, Rabu (8/5).

Pengalaman serupa dialami Siti Nuryatimah. Rasa percayanya terhadap BPR Bagong Inti Marga, Banyuwangi, Jawa Timur runtuh pada 3 Februari 2023. Hari itu, dia menerima kabar, BPR tempatnya menabung selama 10 tahun, bangkrut.

Hal yang ada di benaknya adalah soal bagaimana nasib ratusan juta rupiah uang miliknya di BPR itu.  Beragam pikiran negatif membuatnya kian risau. Kegundahan makin menjadi, tatkala pihak BPR tak bisa melayani permintaan untuk menarik uang miliknya.

Pengalaman tak mengenakkan dua nasabah BPR itu banyak terjadi. Kepercayaan terhadap pada BPR, runtuh seketika karena kabar kebangkrutan. Kebanyakan nasabah tak pernah tahu ihwal penyebab BPR tutup.

Awal tahun 2024, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan bahwa selama 18 tahun terakhir, rata-rata per tahun ada 6-7 BPR tutup. 

BPR bangkrut bukan karena persoalan ekonomi, urai dia. Banyaknya BPR ambruk karena masalah manajemen.

Dia menjelaskan bahwa umumnya persoalan di BPR adalah diihwali kecurangan, pemilik mengambil uang di bank itu. "Karena kesalahan manajemen, bukan salah manajemen. Tapi fraud! Jadi di-maling sama pemilik banknya, utamanya itu, kalau salah manajemen masih bisa diperbaiki," ungkap Purbaya di Jakarta, akhir Januari 2024.

Kepala Kantor Persiapan Penyelenggaraan Program Restrukturisasi Perbankan dan Hubungan Lembaga LPS Hermawan Wibowo mengatakan, hal senada. Sejak 2005 hingga 3 Mei 2024, LPS telah menangani 118 BPR dan 13 BPRS yang bangkrut.

Mengutip laman LPS, Kamis (9/5), LPS telah menindak tegas mereka yang memanfaatkan BPR untuk kepentingan sendiri. Seperti, eks Direktur Utama PT BPR Cita Makmur Lestari (Citama), Tangerang karena telah melakukan tindak pidana perbankan berupa pengajuan kredit fiktif yang dilakukan dalam kurun waktu Januari 2011 hingga Maret 2015.

“Akibat fraud yang dilakukan mantan Direktur Utama BPR Citama yang menyebabkan BPR itu mengalami kesulitan likuiditas dan dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 18 Desember 2015,” demikian urai Sekretaris Lembaga LPS, Dimas Yuliharto dikutip dari laman lembaga itu.

LPS juga telah melaporkan beberapa pengurus BPR gagal yang diduga melakukan tindak pidana perbankan atau tindak pidana pencucian uang (TPPU). Seperti, mantan pengurus PT BPR Bina Dian Citra, Bekasi dan PT BPR Sewu, Bali. LPS juga melaporkan pihak-pihak yang bekerja sama dengan pengurus atau pegawai bank dan menikmati hasil fraud tersebut.

LPS juga pernah menuntut ganti rugi senilai Rp29 miliar kepada Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Ova Emilia, Bambang Wahyudi, dan Djungtjik Arsan akibat kegagalan PT BPR Tripilar Arthajaya melalui pengajuan eksekusi ke Pengadilan Negeri Yogyakarta.

Ketiganya merupakan mantan direktur, komisaris dan pemegang saham pengendali BPR Tripilar. Serta menuntut hal serupa pada Abdul Nasir alias Jang Keun Won selaku pihak terkait.

Kepanikan Nasabah
Hermawan menguraikan bahwa pihaknya kerap menghadapi beragam keluhan karena kepanikan nasabah BPR yang bangkrut. Namun, itu bisa diredam dengan beragam proses.  LPS memberi penjelasan bahwa simpanan mereka dilindungi dan bisa kembali.

Dia memberi contoh seperti di BPR Karya Remaja Indramayu (KRI) di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. LPS mengganti uang simpanan 25 ribu nasabah BPR ini.

BPR KRI ditutup akibat adanya fraud atau penipuan dari manajemen. Kini pelakunya sudah dijatuhi hukuman.

Pengembalian dibatasi karena likuiditasnya terbatas. Nasabah punya rekening berisi semiliar rupiah, dia dibatasi sehari Rp500 ribu. “Stres juga kalau kaya gitu,” paparnya pada Validnews, di Jakarta, Senin (6/5).

Secara umum, BPR KRI ini memiliki dana pihak ketiga (DPK) atau simpanan nasabah senilai Rp337,17 miliar. Mirisnya, sebagai perusahaan umum daerah (Perumda), sebanyak 100% saham BPR KRI dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. 

Soal pengembalian dana dan penanganan oleh LPS, Hermawan menjelaskan, UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), menegaskan, jika dalam setahun OJK tidak bisa menyehatkan BPR, baru diserahkan ke LPS. Sesuai dengan UU itu, BPR dijamin LPS. 

Simpanan nasabah dijamin sepanjang memenuhi persyaratan. Syarat itu antara lain tercatat dalam pembukuan bank, tidak melebihi tingkat bunga penjaminan 6,75%, dan tidak melakukan tindakan yang merugikan bank. Selain itu, dia menambahkan, maksimum penjaminan LPS Rp2 miliar per nasabah per bank.

Dalam UU LPS disebutkan penjaminan LPS minimal mencakup 90% jumlah rekening. Sekarang posisinya sudah 99,9% rekening sudah dijamin oleh LPS.

“Jadi tidak sampai satu persen ya, yang di atas dua miliar rupiah itu,” ungkap Hermawan.

Sesuai mandatnya, LPS diberikan waktu 90 hari sejak BPR dalam status Cabut Izin Usaha (CIU) untuk menggantikan uang nasabah. Namun, LPS bisa lebih cepat mengembalikan, rata-rata lima hari sejak CIU atau dalam satu bulan sudah dibayarkan semua. Ke depan, BPR akan diwajibkan menerapkan single customer view sehingga pencairan bisa dilakukan sehari setelah CIU.

Begitu dana sudah siap dicairkan, LPS menunjuk bank pelat merah sebagai tempat pencairan simpanan nasabah BPR. Lalu mengumumkannya kepada publik. “Nasabah tinggal datang ke banknya, langsung klaim, bisa,” ungkap dia.

Sementara itu, bagi nasabah yang tidak memenuhi persyaratan LPS atau tidak layak bayar mereka bisa mengajukan keberatan ke LPS, bahkan sampai ke pengadilan.

Hermawan menyampaikan bila putusan pengadilan inkrah dinyatakan LPS kalah, dana nasabah siap dibayarkan. Tetapi, bila inkrah dinyatakan tetap tidak layak bayar, nasabah masih punya kesempatan untuk mendapat simpanannya dari likuidasi.

“Di neraca bank ada aset, ada kewajiban. Asetnya harus kita likuidasi, kita cairkan. Kalau ada sisa, nanti sisanya itu salah satunya untuk membayar nasabah yang tidak layak bayar,” tambahnya.

Sepanjang 2024, LPS sudah menangani 10 BPR. Lebih dari 95% nasabahnya layak bayar. Jika dari hasil likuidasi tidak mencukupi simpanan nasabah, mereka bisa menagih ke si pemilik bank sebagai penanggung jawab usaha. 

Soal pengembalian dana dan hirarki tanggung jawab, Pasal 54 UU LPS menerangkan, setelah mengembalikan dana nasabah, saat BPR bangkrut, urutan giliran pembayaran mulai dari gaji pegawai, biaya LPS, pajak, nasabah tidak layak bayar, terakhir kreditur lainnya atau pemegang saham.

Hermawan mengungkapkan, saat likuidasi, aset BPR biasanya hanya 40% dari total dana LPS untuk mengembalikan simpanan nasabah. Meski demikian, dia menegaskan, nasabah tak perlu khawatir LPS tidak sanggup bayar karena kekurangan biaya. Karena, aset LPS kini mencapai Rp224 triliun.

Jumlah itu bersumber dari iuran bank dan dari uang yang diputarkan di Surat Berharga Negara (SBN). Hasilnya, setiap tahun aset LPS rata-rata bertambah Rp20 triliun. 

Pada saat sama, LPS memastikan mengejar orang-orang pemilik BPR dan pengurus untuk dimintai pertanggungjawaban. Untuk hal ini, LPS bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

“Kalau ada unsur pidana, tetap dihukum, kita miskinkan. Kalau ada tindak pidana pencucian uang (TPPU) kita kejar, mirip kayak KPK. Alat kita juga tidak kalah canggih sama KPK,” tegas Hermawan,

BPR Tumbang
Pada 2024 ini, OJK memperkirakan akan ada 20 BPR tumbang 2024. Namun, Ketua Umum Perhimpunan BPR (Perbarindo) Tedy Alamsyah mengatakan sebaliknya. Dia menilai, industri BPR baik-baik saja. Pasalnya, secara nasional industri BPR tumbuh.

“Terbukti penghimpunan dana dapat tumbuh per Januari 2024, tumbuh 9,82% untuk deposito dan tabungan tumbuh sebesar 7,45%. Sedangkan kredit yang disalurkan juga tumbuh positif sebesar 9,27%,” jelasnya, Sabtu (4/5).

Dia juga meminta masyarakat tetap tenang, karena dana masyarakat aman dijamin LPS.

Ketua Kompartemen BPRS Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Cahyo Kartiko mengatakan BPR dan BPRS adalah lembaga bisnis. Wajar jika ada yang hidup dan mati.

“Sifatnya ini individual, bukan industri BPR. Kalau industri itu, pasti ada tukang bakso setiap harinya yang tutup jualan,” jelasnya, Kamis (2/5).

Adapun berdasarkan catatan OJK, pada 2021 aset BPR sebanyak Rp185,5 triliun, DPK Rp128,6 triliun, dan kredit Rp129,84 triliun. Sementara pada 2022 asetnya mencapai Rp202,46 triliun, lalu DPK Rp140,39 triliun, dan kredit Rp145,17 triliun.

Kemudian pada 2023 asetnya Rp218,16 triliun, DPK Rp153,18 triliun, dan kredit Rp159,34 triliun. Lalu per Maret 2024, asetnya Rp216,74 triliun, DPK Rp152,78 triliun, dan kredit Rp163,42 triliun.

Dari segi jumlah BPR, 2021 ada 1.632 BPR, 2022 sebanyak 1.608 BPR, 2023 terdapat 1.575 BPR, dan Maret 2024 tersisa 1.566 BPR.

Fokus Tata Kelola
Pengamat Perbankan Paul Sutaryono juga mencermati bangkrutnya banyak BPS. Dia sepakat akan penilaian LPS bahwa kebanyakan penyebab BPR bangkrut tahun ini adalah mismanajemen. Untuk memperbaikinya, BPR harus menerapkan tata kelola perusahaan yang baik.

“Hal itu termasuk penataan manajemen, manajemen risiko dan pengawasan internal. Selain itu, BPR juga harus menambah modal hingga mencapai modal inti minimal Rp6 miliar paling lambat akhir 2024,” tutur dia pada Kamis (2/5).

BPR juga wajib memperkaya kompetensi SDM untuk mampu memenangi persaingan yang semakin sengit. 

Ekonom Indef Nailul Huda juga berpersepsi sama. Di kacatamanya,  banyak BPR yang memang tergerus oleh persaingan dan tata kelola yang buruk dari pengurus BPR. Selain itu, secara persaingan, BPR memang mempunyai keterbatasan, yaitu wilayah dan permodalan. 

Harus diingat, BPR tidak dapat memperluas nasabah di luar wilayah kerjanya. Akibatnya, banyak juga yang kalah bersaing dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang lebih luar dengan jangkauan luas dan plafon yang bisa dibilang lebih kecil.

“Belum permodalan yang kalah bersaing dalam penguatan teknologi. Akibatnya ya pertumbuhan BPR jalan di tempat. Banyak juga akhirnya yang berdampak pada tata kelola yang buruk dari pengurus BPR. Banyak fraud yang akhirnya terjadi di BPR,” paparnya, Rabu (8/5).

Karena itu, konsolidasi BPR bisa menjadi salah satu jalan keluar dari krisis ini sehingga modal akan jauh lebih kuat dan bisa lebih efisien.

Namun, konsolidasi BPR tidak mudah. Karena, BPR memiliki peraturan berbeda dibandingkan perbankan umum. Nailul menekankan, peraturan mengenai luasan zona operasional bisa menjadi penghalang konsolidasi. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar