09 November 2024
15:41 WIB
RUU Perampasan Aset Tak Masuk Prolegnas, Komitmen DPR Soal Korupsi Dipertanyakan
Indonesia harus belajar dari negara-negara seperti AS dan Inggris, di mana mekanisme perampasan aset berbasis perdata terbukti sangat efektif dalam melawan korupsi dan kejahatan finansial yang rumit
Pengamat Hukum dan Pegiat Antikorupsi Hardjuno Wiwoho. dok. HMS Center
JAKARTA – Komitmen politik serta keseriusan DPR RI periode 2024-2029 untuk menjadikan pemberantasan korupsi sebagai agenda prioritas, kembali dipertanyakan. Hal ini seiring dengan sikap politik parlemen yang tidak memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dalam daftar usulan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029.
Padahal, Menurut Pengamat Hukum dan Pegiat Antikorupsi Hardjuno Wiwoho, keberadaan UU Perampasan aset ini menjadi instrumen yang sangat esensial dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia melihat ketidakseriusan DPR membahas RUU ini, makin terlihat tatkala muncul wacara perubahan diksi dalam RUU tersebut dari “perampasan” menjadi “pemulihan” aset.
Menurutnya, perubahan diksi tersebut bisa menghilangkan roh utama dari RUU tersebut. “Karena bagi saya, elemen esensial dari RUU ini adalah soal perampasan aset dan bukan hanya pada pemulihan aset tanpa memperhatikan asal-usul harta tersebut. Yang kita kejar kan, dari mana sumber-sumber aset itu,” kata Hardjuno dalam keterangannya, Sabtu (9/11).
Meski begitu, Hardjuno mengaku tidak mau terjebak dalam polemik soal nama atau judul RUU itu nantinya. Menurutnya, hal yang terpenting adalah, UU ini adalah instrumen penting untuk memperkuat langkah negara dalam menyita aset yang diduga hasil kejahatan, tanpa harus melalui proses pidana yang panjang.
“Jujur, saya tidak mau terjebak dalam polemik diksi itu. Hal terpenting bagi saya adalah RUU itu disahkan menjadi UU. Saya tantang DPR, ayo segera sahkan RUU itu menjadi UU dalam waktu dekat, untuk memberikan efek jera bagi koruptor,” serunya.
Lebih lanjut, Hardjuno berarap RUU ini menjadi alat efektif untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas para penyelenggara negara. Karenaya, RUU Perampasan Aset ini segera disahkan, tanpa lagi terjebak dalam polemik diksi semata.
Menurut Hardjuno, ketakutan ini mungkin berasal dari kerumitan konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) yang diusung dalam RUU tersebut. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, NCB telah diterapkan secara efektif untuk menyita aset yang diduga terkait dengan kejahatan, tanpa menunggu vonis pidana.
Di Amerika Serikat, misalnya, pemerintah dapat menyita aset yang dicurigai dari hasil aktivitas kriminal, melalui Civil Asset Forfeiture Reform Act. Beleid ini memungkinkan penyitaan aset secara perdata, dalam kasus-kasus di mana bukti pidana sulit diperoleh.
Sedangkan di Inggris, pemerintah bahkan dapat menyita properti yang diduga terkait kejahatan terorganisir melalui mekanisme serupa. Hal seperti ini, lanjut Hardjuno, sangat berguna dalam menghadapi kasus-kasus dengan bukti tidak langsung atau saksi yang enggan bersaksi.

Lebih Progresif
Hardjuno menyatakan, Indonesia harus belajar dari negara-negara tersebut, di mana mekanisme perampasan aset berbasis perdata terbukti sangat efektif dalam melawan korupsi dan kejahatan finansial yang rumit.
"Jika DPR memahami betul manfaat RUU ini, mereka seharusnya lebih progresif dan berani dalam memasukkan RUU Perampasan Aset ke dalam Prolegnas," tegasnya.
Dengan regulasi yang mendukung, negara dapat mengambil kembali kekayaan publik yang diselewengkan. Bahkan dalam kasus-kasus yang kompleks seperti temuan uang Rp1 triliun di rumah mantan hakim Mahkamah Agung.
Hardjuno juga mengingatkan, pembahasan RUU ini tidak hanya bertujuan untuk memperkuat pengembalian aset negara, tetapi juga untuk memperkuat supremasi hukum di Indonesia. Ia pun menyoroti pentingnya adanya standar pembuktian tinggi dalam penerapan NCB untuk melindungi hak-hak sipil, sambil tetap memberikan wewenang kepada negara untuk menyita aset yang mencurigakan.
Menurutnya, prinsip kehati-hatian dalam penerapan NCB, seperti yang dilakukan di Inggris, dapat diadopsi di Indonesia, agar mekanisme ini sejalan dengan prinsip hak asasi manusia dan prinsip hukum yang adil. Di tengah kerugian negara akibat korupsi yang mencapai ratusan triliun rupiah, Hardjuno menekankan, RUU Perampasan Aset dapat menjadi solusi untuk mempercepat pemulihan aset.
Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), kerugian negara akibat korupsi yang dipulihkan melalui mekanisme pidana saat ini hanya mencakup sebagian kecil dari total kerugian.
“Dengan adanya RUU ini, negara diharapkan dapat mengambil langkah yang lebih tegas dan efisien dalam menyita aset korupsi, yang secara langsung akan memperkuat anggaran publik untuk kepentingan masyarakat luas,” tandasnya.
Bisa dibilang, imbuhnya, penundaan pembahasan RUU Perampasan Aset adalah suatu kehilangan peluang bagi Indonesia untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi. "Kita butuh keberanian dan pemahaman yang lebih mendalam dari para wakil rakyat agar regulasi ini bisa segera terwujud," ucap Hardjuno.
Dengan adanya RUU ini, tegasnya, Indonesia dapat membangun sistem hukum yang lebih tangguh dalam menghadapi korupsi. “Sekaligus memperkuat kepercayaan publik terhadap komitmen negara dalam menjaga kekayaan publik dari tindakan kriminal,” pungkasnya.
Jadi Pendorong
Terpisah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra bisa menjadi pendorong disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.
"Tentunya sebagai bagian dari eksekutif, untuk Menko Kumham Imipas Bapak Yusril, dengan janji tersebut kami mengapresiasi dan berharap hal tersebut dapat menjadi booster di teman-teman atau kawan-kawan kita di DPR untuk bisa mempercepat prosesnya. Jadi kami mengapresiasi," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika, Sabtu.
Tessa mengatakan KPK berharap RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal untuk bisa segera disahkan oleh DPR. Pasalnya, kedua RUU tersebut akan memperkuat upaya pemberantasan korupsi dan pemulihan kerugian keuangan negara (assets recovery).
"Ya, sebagaimana yang sudah sering kami dengungkan, KPK mendorong pembahasan RUU perampasan aset, termasuk pembatasan uang kartal ini untuk menjadi salah satu prioritas dibahas di DPR," tuturnya.
Sebelumnya, pemerintah menegaskan tidak akan menarik Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyebutkan, saat ini pemerintah sudah menyampaikan surat presiden (surpres) kepada DPR dan menunggu kapan pembahasan RUU tersebut akan dilaksanakan.
"Kalau sudah disampaikan, maka pemerintah tidak akan menarik," ujar Yusril saat menerima kunjungan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Jakarta, Kamis (7/11).
Sebagai menteri koordinator, dia akan mengoordinasikan dengan Menteri Hukum terkait beberapa isu dalam RUU Perampasan Aset. Demikian pula dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang akan dilakukan perubahan atau penggantian, khususnya untuk penegakan hukum.
"Akan kami koordinasikan demi terwujudnya kepastian hukum dan pertumbuhan ekonomi," ucap Yusril.