04 Oktober 2025
10:13 WIB
RUU Keamanan Siber Tambah Dominasi Militer di Ruang Sipil
RUU Keamanan Siber atur kewenangan militer jadi penyidik dalam perkara pidana.
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi seorang peretas tak menggunakan peralatan komputer dengan kode pemrogaman di layar. Envato/seventyfourimages.
JAKARTA - Koalisi masyarakat sipil menilai substansi materi RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) menilai menjadi ancaman terhadap demokrasi dan negara hukum. Lantaran, RUU ini mengakomodir TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat 1 huruf d.
Menurut Direktur Kebijakan Publik Raksha Initiatives, Wahyudi Djafar, rumusan itu bertentangan dengan Pasal 30 ayat 3 UUD 1945, yang menegaskan TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. TNI tidak memiliki tugas dan fungsi sebagai penegak hukum.
Dia menilai, perumusan pasal ini kian menunjukan semakin besarnya intervensi militer dalam kehidupan sipil. Bahkan, mencederai prinsip supremasi sipil dalam sistem hukum negara demokratis, bahwa proses penegakan hukum pidana menjadi ranah kekuasaan sipil, bukan militer.
Wahyudi menjelaskan, keterlibatan militer dalam proses penyidikan perkara pidana—termasuk pidana keamanan dan ketahanan siber—tidak hanya bertentangan dengan konstitusi dan UU TNI, tetapi juga mengancam kebebasan sipil dan demokrasi.
“Perumusan pasal ini menjadi indikasi semakin menguatnya upaya militerisasi ruang siber, sejak revisi UU TNI yang menambahkan tugas operasi militer selain perang, yang berkaitan dengan penanganan ancaman pertahanan siber,” jelas dia, dalam keterangannya, Jumat (3/10).
Penambahan tugas ini, menjadi problematis dengan kondisi ketidakjelasan mengenai gradasi ancaman. Ketidakjelasan ini akan memberikan ruang bagi militer untuk terlibat dalam semua tingkatan penanganan ancaman keamanan siber, tidak terbatas pada aspek yang berkaitan dengan ancaman perang siber.
Selain itu, lanjut dia, pertahanan siber yang menjadi tugas dari TNI, fokus dan lingkupnya semestinya lebih menekankan pada tindakan defensif yang diambil untuk menghancurkan, meniadakan, atau mengurangi keefektifan ancaman siber terhadap pasukan dan aset, atau sebaliknya dengan tindakan yang diambil untuk meminimalkan keefektifan ancaman siber terhadap pasukan dan aset.
Selain itu, besarnya risiko penyalahgunaan kekuasaan dalam penyidikan tindak pidana keamanan dan ketahanan siber, juga dinilai dia belum disertai dengan mekanisme akuntabilitas yang memadai. Mengingat sampai dengan saat ini belum dilakukan pembaruan terhadap UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Akibatnya, setiap pelanggaran pidana, baik pidana militer maupun pidana umum, termasuk pidana keamanan dan ketahanan siber, yang dilakukan oleh anggota TNI, penuntutannya harus melalui peradilan militer.
“Oleh karenanya pelibatan TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber, justru akan semakin mengancam hak asasi manusia dan negara hukum,” urai dia.