JAKARTA - Direktur Centra Initiative, Muhammad Hafiz, menilai Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) tidak menempatkan kelompok penyandang disabilitas sebagai kelompok yang penting untuk dilindungi.
Ia menyayangkan RKUHAP hanya menyinggung hak disabilitas dalam Pasal 137. Ayat 1 menyebutkan penyandang disabilitas berhak atas pelayanan dan sarana-prasarana. Lalu ayat 2 menyatakan, ketentuan mengenai pelayanan ini akan diatur dan lebih lanjut di dalam peraturan pemerintah (PP).
“Seakan-akan semua sudah masuk di situ. Jadi tidak ada perspektif disabilitas sama sekali di dalam KUHAP kita,” jelasnya, dalam diskusi Konstitusionalisme KUHAP di kawasan Tebet, Jakarta, Jumat (15/8).
Penyusunan RKUHAP ini, kata Hafiz, tidak belajar dari peristiwa pidana yang pernah terjadi, misalnya terhadap warga negara asing penderita skizofrenia, Rodrigo Gularte, yang dihukum mati. Dalam prosesnya ada hak-hak Rodrigo yang terabaikan.
Selain itu, hampir semua pasal dalam RKUHAP diamati Hafiz hanya bicara soal aksesibilitas, tapi tidak pernah bicara akomodasi yang layak.
“Penerjemah bahasa isyarat itu memang disebutkan di dalam KUHAP (pasal 134), tapi kemudian tidak pernah mempertimbangkan para disabilitas mental, kelompok-kelompok disabilitas intelektual atau psikososial yang memang hanya bisa berkomunikasi dengan orang-orang dekatnya, dengan orang tua mereka,” paparnya.
Hal lain yang menjadi sorotannya adalah mengenai barang sitaan. Dalam konteks disabilitas dikhawatirkan yang disita adalah alat bantu.
Hafiz menegaskan, alat bantu bagi disabilitas bagian dari tubuh. Namun, disayangkan hal ini luput dalam RKUHAP.
“Ketika penyandang disabilitas memukul dengan tongkat, itu sama halnya kita yang memukul atau menendang dengan tangan atau dengan kaki. Yang konsekuensinya kalau itu bisa dilakukan, itu artinya penegak hukum menyita tangan dan kaki kita,” ujarnya.