c

Selamat

Jumat, 26 April 2024

NASIONAL

28 Oktober 2021

21:00 WIB

Riset dan Inovasi; Pasokan Berlimpah Minim Faedah

Lomba riset dan inovasi mahasiswa, baru sebatas ajang meraih prestasi. Hasil riset dan inovasi minim terimplementasi oleh industri

Penulis: James Fernando,Wandha Nur Hidayat,Seruni Rara Jingga,

Editor: Leo Wisnu Susapto

Riset dan Inovasi; Pasokan Berlimpah Minim Faedah
Riset dan Inovasi; Pasokan Berlimpah Minim Faedah
Ilustrasi kegiatan penelitian ilmiah. Ist

JAKARTA – Sebanyak 735 judul Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dari 108 perguruan tinggi, lolos seleksi untuk ikut berkompetisi di tingkat nasional pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-34, tahun 2021. Universitas Sumatera Utara (USU) menjadi tuan rumah perhelatan yang digelar secara daring sejak 25–29 Oktober 2021.

Ajang ini merupakan kalender kegiatan tetap Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Pusat Prestasi Nasional (Puspresnas). Kegiatan ini juga tidak terpisahkan dari pelaksanaan PKM yang sudah melewati tahapan Penilaian Kegiatan Pelaksanaan PKM (PKP2) tahun 2021 secara daring. Dari proses itu, dipilih beberapa tim PKM yang karyanya diikutsertakan dalam PIMNAS.

Sekadar mengingatkan, PIMNAS merupakan ajang kompetisi riset dan inovasi yang diselenggarakan dan dilaksanakan setiap tahun dengan melibatkan perguruan tinggi negeri/swasta di seluruh tanah air. 

Pemerintah menaruh harap, melalui ajang ini, perguruan tinggi bisa menghasilkan lulusan berkualitas di segala bidang ilmu sehingga mampu bersaing di tingkat nasional dan internasional.

Terbukti, PIMNAS memang melahirkan banyak karya dan hasil inovasi mahasiswa. Tak terbilang potensi yang bisa dimanfaatkan kepentingan khalayak banyak.

Sayangnya, karya-karya tersebut seolah hanya teronggok begitu saja di pojok ruang penyimpanan arsip, usai hajatan selesai. Jarang sekali terdengar karya-karya tersebut diaplikasikan atau dikembangkan sesuai dengan kebutuhan.

Hal ini bukan tak disadari pemerintah, tapi pemerintah sendiri selama ini seakan tak punya cara untuk mengoptimalkan buah pikir dari anak-anak bangsa.

“Keadaannya memang seperti itu. Masih sedikit inovasi mahasiswa yang dihilirisasi,” jelas Dirjen Pendidikan Tinggi, Kemendikbud-Ristek Nizam kepada Validnews, Selasa (26/10).

Menurut dia, hal itu terjadi, karena orientasi PIMNAS hanya sekadar perlombaan antar mahasiswa saja. Riset atau inovasi yang dihasilkan tidak memperhitungkan kebutuhan industri yang bisa dimonetisasi.

"Ini yang selama ini menjadi masalah, karena orientasinya hanya untuk lomba. Makanya sekarang kita buat Platform Kedaireka agar industri terlibat dalam pengembangan inovasi," lanjut Nizam.

Asal tahu saja, Kedaireka merupakan wadah untuk menjembatani pengembangan ilmu dan teknologi (ciptareka) yang dihasilkan oleh perguruan tinggi, dengan kebutuhan teknologi dan pengembangan di industri. 

Jadi, inovasi yang dihasilkan perguruan tinggi memang sesuatu yang dibutuhkan oleh industri, bukan hanya ide dari mahasiswa atau dosen semata tanpa bisa diaplikasikan dengan optimal.

Kedaireka diluncurkan Kemendikbudristek pada 12 Desember 2020 lalu. Platform ini diluncurkan dalam rangka mewadahi skema insentif pendanaan (matching fund) antara industri dan perguruan tinggi.

Nah, proposal-proposal yang diajukan perguruan tinggi itu akan melalui seleksi ketat Kemendikbudristek. Tahun ini, Kemendikbudristek mengalokasikan anggaran sebesar Rp250 miliar untuk program tersebut. Hingga saat ini ada 427 proposal yang telah disetujui dan mendapatkan pembiayaan.

Selain untuk industri yang orientasinya berupa produk atau ekonomi, Kedaireka juga digunakan sebagai platform untuk menghasilkan inovasi sosial. Misalnya, inovasi untuk mengatasi stunting, kekurangan gizi, kesehatan, lingkungan, dan sebagainya.

"Jadi kolaborasi yang bisa masuk Kedaireka luas. Tidak hanya produk hard science, tapi juga social science," kata dia.

Hilirisasi Harapan
Plt Kepala Pusat Prestasi Nasional (Puspresnas) Asep Sukmayadi mengatakan, pemerintah kini mulai punya harapan agar hasil penelitian dan inovasi dari mahasiswa dilirik dunia industri. Termasuk juga, riset-riset unggulan yang dihasilkan dari PIMNAS. Dengan begitu, manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dan industri.

Asep mengatakan, hal ini menjadi tantangan ekosistem riset nasional dan peran perguruan tinggi dalam kerangka kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM). Program-program MBKM merupakan salah satu ekosistem untuk mengakselerasi inovasi dari perguruan tinggi. 

Misalnya, melalui Program Penelitian Mahasiswa, Project Mandiri dan Kewirausahaan Mahasiswa.

"Namun, yang terpenting juga adalah bagaimana ajang PIMNAS menjadi medan kreativitas mahasiswa yang harus terus belajar dan berlatih mempersiapkan diri menjadi calon-calon intelektual muda, calon-calon pemimpin bangsa di bidangnya," ujar Asep kepada Validnews, Rabu (27/10).

Menurutnya, Kedaireka dan PIMNAS bisa saling bersinergi. Kedaireka sebagai inkubator akan mengelaborasi karya-karya riset dan penelitian yang dihasilkan PIMNAS sebagai wahana penjaringan talenta (talent scouting).

"Memang ada sejumlah hasil karya PIMNAS dalam berbagai variasinya yang sampai dihilirisasi. Namun demikian, masih perlu ada upaya lebih kuat dan terintegrasi, terkait bagaimana melakukan kurasi atas karya PIMNAS sebagai ‘embrio’ untuk pengembangan riset lebih lanjut," ucap dia.

Sinergi hilirisasi hasil riset dan inovasi mahasiswa dalam kaitannya dengan dunia industri penting dilakukan. Karena tujuan dari riset dan inovasi adalah untuk menjawab persoalan dan solusi yang dapat bermanfaat bagi industri dan masyarakat.

Sementara itu, Rektor Institut Teknologi Surabaya (ITS) Mochamad Ashari mengatakan, kerja sama antara perguruan tinggi dan industri penting dilakukan. Tidak hanya untuk mendukung sumber daya manusia yang berkualitas ke dalam dunia industri, tetapi juga untuk mendukung invensi dan inovasi yang dapat dimanfaatkan bagi masyarakat.

"Jadi dua entitas ini memang harus bergandengan," kata Ashari kepada Validnews, Selasa (26/10).

Menurutnya, sedikit riset dan inovasi dari perguruan tinggi yang dilirik industri, karena belum banyak industri di Indonesia yang membuat perencanaan riset untuk pengembangan produk ke depan. 

Kebanyakan, penelitian dan pengembangan industri di Indonesia dilakukan dalam rangka strategi pemasaran produk. Ini lantaran industri yang ada di Indonesia sebagian besar adalah pemegang lisensi dari perusahaan di luar negeri.

"Di Indonesia, masih sedikit sekali industri yang memulai, menginisiasi, meriset, hingga memproduksi sendiri," kata Ashari.

Polytron, sebut Ashari, jadi salah satu dari segelintir industri di Indonesia yang membuat perencanaan riset untuk pengembangan produk sendiri. Dia menilai, tidak mudah bagi industri tersebut melakukan pengembangan produk sendiri tanpa dukungan dari pihak lain, lantaran mereka harus bersaing dengan produk-produk dari luar negeri yang riset dan pendanaannya jauh lebih besar.

Berbeda dengan Indonesia, mayoritas negara-negara industri maju memiliki penelitian dan pengembangan industri berbasis inovasi dan teknologi. Dalam artian, teknologi inti berasal dari karya periset di negara tersebut.

"Seperti Samsung misalnya. Samsung produksinya bisa di mana saja, bisa di Thailand, Indonesia, dan sebagainya. Tapi kunci utamanya ada di negara pemegang lisensi, yakni di Korea Selatan," tuturnya.

Dana Minim
Ashari mengatakan, pendanaan yang besar juga mendukung riset dan inovasi di negara maju, sehingga mereka mampu menciptakan teknologi baru, memproduksi, hingga mendistribusikannya ke seluruh dunia.

"Salah satu tantangan kita, dana riset di Indonesia tidak semasif di luar negeri," ujar Ashari.

Rektor Universitas Pertamina I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja dalam sebuah diskusi di pertengahan tahun ini menyebut, dengan total 270 juta penduduk, Indonesia hanya menyiapkan US$2 miliar (Rp28,6 triliun) untuk mendanai kegiatan riset.

Jauh dibandingkan dengan Malaysia yang jumlah penduduknya 32 juta jiwa, mampu mengalokasikan US$9,7 miliar. Apalagi dengan Korea Selatan dengan total 51 juta jiwa bisa mengalokasikan dana US$73 miliar sebagai pembiayaan riset.

Mirisnya lagi, selama ini anggaran belanja riset dan pengembangan dalam negeri didominasi dari dana pemerintah sebesar 85,83%. Sebaliknya, di banyak negara, peran sektor swasta justru lebih dominan, di atas 70% digelontorkan pihak swasta.

Senada, Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Panut Mulyono menilai, dana riset yang dialokasikan pemerintah masih cukup kecil. Padahal, lanjutnya, dalam urusan riset, dana menjadi salah satu hal yang paling utama.

"Dana riset itu ada, tapi jumlahnya kecil jika dibanding negara lain dan belum sepadan dengan target-target kemajuan yang ada," ucap dia kepada Validnews, Selasa (26/10).

Untuk mendukung riset dan inovasi dalam negeri, Panut pun berharap pemerintah mempunyai perencanaan (roadmap) yang jelas terkait dengan pengembangan riset dan pendanaan riset.

Negara maju, sambung dia, tidak lepas dari riset dan penguasaan teknologi. Oleh sebab itu, dibutuhkan perencanaan riset yang jelas secara nasional.

Insentif Pajak
Selain Kedireka, pemerintah sejatinya juga juga mendorong kerja sama antara perguruan tinggi dan industri melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 153/PMK.010/2020 tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto atas Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Tertentu di Indonesia.

Dalam PMK ini, pemerintah memberikan insentif super tax deduction untuk kerja sama kegiatan penelitian dan pengembangan bagi industri. Insentif yang diberikan berupa pengurangan penghasilan bruto sebesar 300% dari jumlah biaya yang dikeluarkan.

Meski pemerintah telah mengeluarkan kebijakan ini, minat industri belum besar untuk menggandeng perguruan tinggi di dalam pengerjaan produk baru. Sebab, dalam regulasi tersebut belum dijelaskan secara rinci terkait dengan insentif bagi industri yang mengeluarkan dana untuk riset.

"Peraturan sudah ada, tapi implementasi sampai yang rinci, yang detail," ujar Panut.


Dari sisi industri sebagai pengguna akhir, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, riset atau penelitian itu perlu proses sampai pada tahap siap diproduksi atau diimplementasikan. Biasanya, riset harus memenuhi tingkat kesiapan teknologi (Technology Readiness Level/TRL) hingga tingkat ke sembilan atau terbukti secara operasional.

TRL sendiri adalah tingkat kondisi kematangan atau kesiapterapan suatu hasil penelitian agar dapat diadopsi oleh pengguna, salah satunya industri. Apabila penelitian masih berbentuk prototipe, sambung dia, masih ada kemungkinan bahwa penelitian itu gagal untuk diimplementasikan. Sehingga perusahaan menunggu sampai riset tersebut mendapat paten terlebih dulu.

"Hal-hal ini menjadi kendala juga. Karena perusahaan kan tidak siap menanggung rugi. Bukan tidak mau. Tapi kalau tidak terbukti, kan repot. Secara sistem perpajakan kita mengukurnya (hak) paten. Kalau sudah paten berarti teruji secara keilmiahannya," kata dia kepada Validnews, Rabu (27/10).

Pendeknya, peneliti harus mampu meyakinkan hasil risetnya selesai dan bisa dipakai, salah satunya melalui paten tersebut. Fitrahnya pengusaha memang begitu, pragmatis saja lah, apakah inovasi itu sudah bisa langsung diterapkan dan berdaya guna atau masih sekadar coba-coba?  

Apalagi, kebanyakan dari industri kita bukan ‘pencipta’ produk yang sengaja mengincar dan bersaing di pasar dunia seperti Samsung, Apple, Tesla dan sebagainya.

So, sisi mana dalam ‘lingkaran setan’ yang harus terlebih dulu dibenahi? Pasokan inovasi, pendanaan, paten atau implementasi buat industri dan kepentingan sosial? Wallahualam. Mungkin perlu konsensus nasional untuk merumuskannya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar