05 Oktober 2021
08:51 WIB
JAKARTA – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengaku terus berupaya meningkatkan pelindungan terhadap awak kapal perikanan di dalam dan luar negeri. Salah satu langkah kongkretnya adalah berkomitmen meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) Nomor 188, tentang Pekerjaan Dalam Penangkapan Ikan.
Sekjen Kemanker Anwar Sanusi menjelaskan, konvensi itu merupakan standar ketenagakerjaan internasional yang ditujukan untuk memastikan para pekerja yang bekerja di atas kapal perikanan, memiliki kondisi kerja yang layak.
"Pertemuan pada hari ini merupakan rapat konsolidasi internal Kemnaker dalam rangka menyikapi, perlu tidaknya Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO Nomor 188," ujar Sekjen Kemanker Anwar saat memimpin rapat pembahasan Konvensi ILO No.188 secara virtual, Senin (4/10).
Dia menegaskan, pentingnya pelindungan bagi awak kapai perikanan melalui mekanisme penguatan kerangka hukum nasional maupun dengan meratifikasi ketentuan internasional.
Wacana ratifikasi juga dilatarbelakangi beberapa permasalahan yang dihadapi oleh pekerja di sektor penangkapan ikan. Seperti tindakan kerja paksa atau perbudakan dan adanya beberapa kasus ketenagakerjaan yang menimpa Awak Kapal Perikanan Indonesia (AKPI)
Berdasarkan data ILO, sampai saat ini baru 19 negara anggota ILO yang meratifikasi Konvensi ILO No.188 itu. Namun, Anwar mengatakan, ke-19 negara tersebut bukan merupakan negara tujuan penempatan AKPI.
Di tingkat nasional sendiri, sejatinya pengaturan bagi awak kapal perikanan sebagian telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Sedangkan untuk awak kapai perikanan migran, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, telah disusun Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapai Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran.
Posisi akhir RPP itu sendiri telah disampaikan kepada Sekretaris Negara untuk penetapan oleh Presiden pada 20 Mei 2020. "Dalam beberapa kali, Kemenaker kembali menyampaikan sikap belum berencana meratifıkasi Konvensi ILO tersebut. Hal ini dikarenakan adanya beberapa pertimbangan seperti tersebut di atas," ujarnya.
Namun, dia menegaskan, pemerintah senantiasa mendorong ratifikasi dan implementasi instrumen hukum internasional terkait mobilitas tenaga kerja internasional dan hak-hak pekerja migran.
"Untuk tujuan tersebut, diperlukan sinergitas, regulasi antar kementerian terkait, penguatan aspek regulasi agar patuh terhadap konvensi. Termasuk koordinasi lintas sektoral dan penguatan kerangka hukum nasional harus dikedepankan sebagai upaya dalam mengatur dan memberikan perlindungan bagi awak kapal perikanan," tutur Anwar.
Ilustrasi. Evakuasi jenazah Anak Buah Kapal (ABK) yang meninggal dunia. dok Antara Foto
Rencana Aksi
Sebelumnya, Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim di Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo mengatakan, pemerintah sedang menyiapkan rencana aksi nasional pelindungan awak kapal perikanan 2020–2024.
"Hal tersebut dilakukan untuk melindungi awak kapal perikanan Indonesia karena bekerja di sektor perikanan kotor, berbahaya dan sulit," ujar Basilio Dias Araujo, Juli lalu.
Ia mengatakan, pemerintah membentuk tim nasional pelindungan awak kapal perikanan Indonesia. Anggota dari Kemenko Kemaritiman, Kemenko PMK, Kemenko Ekon, Kemenaker, Kemenhub, KKP, dan K/L terkait lainnya. Termasuk asosiasi nelayan/pelaut/pemilik kapal/LSM, dan perwakilan Organisasi Buruh Internasional Indonesia.
"Tim nasional ini aktif menangani kasus-kasus yang dialami oleh awak kapal Indonesia baik di dalam dan luar negeri melalui jaringan ke Organisasi Migran Internasional (IMO), Organisasi Buruh Internasional (ILO), perwakilan RI di seluruh dunia, dan LSM di tingkat nasional dan internasional.
"Beberapa kasus antara lain Kapal Long Xin 629 (China), Percamaro Dos (Panama), Wadani 1 (Thailand), Kapal Fon Tai (China), maupun kapal Spanyol," ujar dia.
Selain itu, Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, membuat media pelaporan bagi awak kapal Indonesia yang mengalami kasus penelantaran.
"Dikelola oleh Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi untuk menindaklanjuti kasus yang dilaporkan sebagai bahan koordinasi ke K/L terkait (Kemlu, Kemenaker, Kemhub, KKP, BP2MI), organisasi internasional (IMO, ILO, FAO), dan jaringan LSM.
"Baru buka sekitar 2 minggu lalu. Sejauh ini ada tiga laporan dan kita juga sudah berhubungan dengan K/L terkait," kata Ketua Tim Nasional Perlindungan Awak Kapal Perikanan itu.
Basilio Dias mengatakan, media pelaporan itu telah disesuaikan dengan format standar ILO untuk mempercepat proses pelaporan kasus ke tingkat internasional.
"Dapat diakses melalui laman Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, atau melalui link bit.ly/LaporPAKP," ujar dia.
Di samping itu, lanjut dia, Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi mendorong inisiatif integrasi data lintas Kementerian/Lembaga untuk dapat meningkatkan pengawasan pergerakan awak kapal perikanan.
"Kalau indonesia memiliki integrasi data yang bisa menghubungkan/ mengumpulkan semua data yang ada, kita bisa menelusuri mekanisme identifikasi ABK perikanan mulai dari sekolah hingga bekerja di kapal perikanan baik domestik maupun luar negeri," ujar dia.
Personel Polair Polres Indramayu memeriksa data Anak Buah Kapal (ABK) nelayan saat melakukan penyeka tan jalur laut di perairan Indramayu, Jawa Barat, Minggu (9/5/2021). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara. Kekerasan dan Ancaman
Asal tahu saja, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menyebutkan, sebanyak 11 ABK Indonesia yang wafat dan 2 orang hilang, ketika bekerja di kapal ikan berbendera China selama periode 22 November 2019–19 Juli 2020 atau kurang lebih selama 7 bulan terakhir.
"Mereka yang meninggal mayoritas disebabkan karena kekerasan fisik, intimidasi dan ancaman, kondisi kerja dan kehidupan yang kejam di atas kapal," kata Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan dalam keterangannya beberapa waktu lalu.
Ia mengungkapkan, kasus terbaru adalah ABK Indonesia asal Bitung bernama Fredrick Bidori pada tanggal 19 Juli 2020 meninggal di rumah sakit Peru, setelah mengalami kecelakaan kerja di kapal ikan berbendera China Lu Yan Tuan Yu 016.
Atas banyaknya korban ABK meninggal tersebut, Abdi mendesak pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah progresif, guna melakukan perbaikan secara total untuk melindungi ABK migran Indonesia.
"Berikan perlindungan kepada ABK migran Indonesia dari tahap sebelum bekerja, selama bekerja dan setelah bekerja sesuai ketentuan UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia," katanya.
Dalam melakukan profiling kasus yang menimpa ABK perikanan Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera China, DFW Indonesia menemukan pula adanya indikasi kerja paksa, perdagangan dan penyelundupan orang.
Ia bercerita, modus penyeludupan orang juga ditemukan pada kasus yang menimpa korban bernama Eko Suyanto yang dalam kondisi sakit ditransfer dari kapal ikan FV Jin Shung ke kapal nelayan Pakistan. Eko kemudian telantar dan meninggal di pelabuhan Karachi Pakistan pada Mei 2020 lalu.
“Setelah wafat, masalah yang dihadapi belum selesai sebab para korban tersebut masih mengalami pemotongan upah dan gaji yang tidak dibayarkan," kata Abdi.
Menurut Abdi, saat ini masih ada puluhan orang ABK Indonesia yang terjebak dan bekerja di kapal China sedang melakukan operasi penangkapan ikan di laut internasional.
Untuk itu, ujar dia, pemerintah Indonesia perlu segera mencegah dan menghentikan praktik kekerasan yang menimpa ABK Indonesia di kapal berbendera China.