c

Selamat

Jumat, 7 November 2025

NASIONAL

01 Agustus 2024

13:08 WIB

Restorasi Gambut di Indonesia Tak Serius

Restorasi gambut tak serius oleh pemerintah dan korporasi akan mengundang karhutla.

Penulis: Aldiansyah Nurrahman

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>Restorasi Gambut di Indonesia Tak Serius</p>
<p>Restorasi Gambut di Indonesia Tak Serius</p>

Foto udara lanskap lahan gambut di kawasan Sumatra. Shutterstock/Bagus Park.

JAKARTA - Pantau Gambut menilai pemerintah dan korporasi di Indonesia kurang serius merestorasi gambut. Pasalnya, banyak infrastruktur restorasi gambut tidak sesuai standar.

Demikian laporan Pantau Gambut bertajuk "Gelisah di Lahan Basah: Korporasi, Pemerintah, dan Semua Komitmen Kosong Restorasi Gambutnya".

Data analis Pantau Gambut, Almi Ramadhi menguraikan temuan banyak infrastruktur pembasahan seperti sekat kanal dan sumur bor yang rusak.

“Di beberapa sampel titik pengamatan juga ditemukan gambut yang kering karena tidak memenuhi standar tinggi muka air tanah (TMAT) agar tidak lebih dari 40 centimeter,” jelasnya, dalam keterangan tertulis Kamis (1/8).

Dalam studi ini, Pantau Gambut memantau restorasi gambut pada Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang tersebar di tujuh provinsi, yaitu Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Papua Barat.

Lokasi studi dibedakan berdasarkan dua jenis lokasi. Pertama, area konsesi yang menjadi tanggung jawab perusahaan. Kedua, area non-konsesi yang menjadi kewajiban pemerintah untuk melakukan restorasi gambut.

Tercatat 95% dari 289 titik sampel gambut non-konsesi di area restorasi pemerintah yang pernah terbakar dan kehilangan tutupan pohon (tree cover loss/TCL), telah berubah menjadi perkebunan jenis tanaman lahan kering dan semak belukar. Sawit menjadi komoditas paling dominan.

“Yang menyedihkan, penutupan lahan menjadi hutan tidak mendapatkan perhatian karena hanya ditemukan pada tiga persen area sampel,” kata Almi.

Almi mengungkapkan, kondisi yang jauh memprihatinkan ditemukan pada area konsesi perusahaan. Hanya satu persen dari 240 titik sampel area konsesi yang kembali menjadi hutan meski pernah terbakar dan mengalami kehilangan tutupan pohon.

Ironisnya, kata dia, kondisi tersebut terjadi di beberapa area perusahaan yang kerap memiliki masalah konflik sosial seperti PT Mayawana Persada (MP) di Kalimantan Barat dan PT Bumi Mekar Hijau (BMH) di Sumatera Selatan.

Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana menegaskan, kewajiban pencegahan, penanganan saat kebakaran, hingga pemulihan area yang telah terbakar menjadi tanggung jawab pemerintah dan perusahaan, bukan malah dilimpahkan kepada masyarakat.

Kewajiban untuk mengembalikan lahan gambut yang rusak kembali menjadi hutan mengacu pada PP Nomor 57 Tahun 2016 juncto PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

“Semua temuan yang ada pun berkontradiksi dengan klaim keberhasilan pemerintah Indonesia dalam merestorasi gambut seperti yang dijelaskan pada dokumen The State of Indonesia’s Forest 2024 yang baru dirilis KLHK pada 20 Juli 2024,” urai dia.

Wahyu menambahkan, selama dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, restorasi gambut telah menjadi ujian dalam upaya pelindungan lingkungan.

Menurut dia, klaim keberhasilan tidak hanya dilihat dari angka pelaksanaan proyek semata, namun juga betul-betul memperhatikan dampak kepada sebanyak-banyaknya pihak.

“Jangan sampai klaim keberhasilan ini hanya menjadi alat pencitraan pada komitmen global,” jelas Wahyu.

Menurut dia, kontradiksi antara klaim dengan temuan di lapangan ini menjadi bukti semakin menebalnya kesenjangan antara kebijakan restorasi dan realitas implementasi strategi perlindungan ekosistem gambut di Indonesia.

Pantau Gambut mendorong lima hal. Pertama, pemerintah harus memenuhi asas tanggung jawab negara. Kedua, pemerintah melakukan pencegahan sebagai upaya penegakan hukum. Langkah penegakan hukum harus menjadi prioritas utama tanpa perlu menunggu terjadinya karhutla terlebih dahulu.

Ketiga, korporasi harus bertanggung jawab mutlak pada area konsesinya. Korporasi harus segera menangani kerusakan ekosistem gambut sesuai standar yang berlaku. Hal ini mencakup pemulihan ekosistem secara menyeluruh.

Keempat, korporasi harus membuktikan klaim keberlanjutan secara berkala dan transparan. Klaim keberlanjutan tidak bisa hanya diukur berdasarkan angka pelaksanaan proyek maupun sertifikasi keberlanjutan saja.

Kelima, lembaga pembiayaan harus mengetatkan audit lingkungan. Lembaga pembiayaan harus membatasi perusahaan yang tercatat pernah melakukan perusakan ekosistem gambut. Audit lingkungan yang ketat harus dilakukan sebelum perusahaan dapat mengakses pembiayaan baru.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar