28 Januari 2023
17:45 WIB
Penulis: James Fernando, Gisesya Ranggawari
Editor: Leo Wisnu Susapto
JAKARTA – Layar Sari (55), petani warga Desa Setanggor, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) jadi terkenal di media sosial. Bukan karena aksi menggarap sawah sebagai pekerjaan utamanya, tapi publik justru lebih mengenalnya sebagai pelaku ‘ngemis online’.
Nenek Sari adalah sosok orang yang mandi lumpur lalu diunggah di media sosial TikTok dengan akun @TM Mud Bath. Aksinya mengundang simpati sekaligus banjir donasi, meski tak sedikit juga yang mencaci.
Bukan tanpa alasan ia melakukan hal tersebut. Ketimbang menggarap sawah yang maksimal hanya datangkan uang Rp300 ribu sekali panen, ’ngemis’ di media sosial bisa datangkan rupiah berkali-kali lipat. Bahkan, bisa mencapai Rp1 juta sekali live.
Miris? Bisa dibilang begitu. Namun, inilah kenyataannya. Kini, lewat media sosial, banyak orang berharap dapat penghasilan yang sangat praktis. Apalagi, pekerjaan sehari-hari tak bisa mengerek pendapatan dengan gampang.
Ya, berkaca pada kasus Nenek Sari, kesejahteraan petani di Indonesia jadi tanda tanya. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, upah nominal harian buruh tani nasional pada Desember 2022 naik sebesar 0,22% dibanding upah nominal buruh tani November 2022, yakni dari Rp59.096 menjadi Rp59.226 per hari.
Namun, upah riil buruh tani justru mengalami penurunan sebesar 0,73%. Singkatnya, dalam kondisi nyata, buruh masih tekor karena daya belinya justru menurun.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, menilai kesejahteraan petani masih jadi soal. Menurut Henry, bagi petani yang lahannya tidak sampai satu hektare (ha), bertani itu hampir dipastikan justru bakal merugi.
Hal ini memengaruhi minat untuk bertani. Tak heran, banyak petani memilih menjual lahan pertaniannya demi menghidupi keluarga atau untuk membiayai pendidikan anak.
“Jadi, mending melepas tanahnya dengan harga tinggi, karena kesejahteraan petani sulit didapat,” kata Henry, Senin (23/1).
Uang yang didapat dari menjual lahan, bisa digunakan untuk kebutuhan mendesak. Seperti biaya pendidikan anak dan juga biaya kesehatan.
Sayangnya, Henry mencatat, seringkali pembeli lahan bukanlah seorang petani. Tak ayal, setelah membeli, lahan tani pun beralih fungsi, umumnya dibangun untuk proyek properti atau infrastruktur. Konversi seperti inilah yang menurut Henry membuat kuantitas dan kualitas produk pertanian kian lama kian menurun.
Alih Fungsi Lahan
Kekhawatiran itu terbukti dengan pernyataan Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo, pada satu kesempatan di awal 2023. Kali itu, ia menyampaikan bahwa alih fungsi lahan pertanian mencapai kisaran 90 ribu hingga 100 ribu hektare (ha) per tahun.
Pernyataan tersebut selaras dengan data Badan Pusat Statistik (BPS). Periode 2013 sampai 2018, luas lahan baku sawah menyusut sekitar 635 ribu ha akibat alih fungsi lahan.
Uniknya, di sisi lain, pemerintah era Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru banyak membangun infrastruktur untuk mendukung pertanian. Setidaknya, periode 2015 sampai 2024, Jokowi menargetkan untuk membangun 61 bendungan.
Kemudian, per Januari 2023, setidaknya sudah 31 bendungan diresmikan. Terakhir, bendungan Kuwil Kawangkoan, Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara.
Harapannya, ketersediaan air yang terjamin akan memengaruhi produktivitas pertanian. Asal tahu saja, menurut Kementan, konsumsi beras di Indonesia yang mencapai 114,6 kilogram (kg) per orang per tahun. Terbesar kelima di dunia.
Muncul kekhawatiran, jika lahan untuk tanaman padi makin menyusut, produksi padi juga akan seiring sejalan. Pertanyaannya, buat apa infrastruktur pendukung pertanian seperti bendungan, embung, atau irigasi itu dibangun, jika lahan pertanian sendiri terus menyusut?
Menurut Henry, kebijakan pemerintah untuk menjaga lahan pertanian sebenarnya sudah jelas. Setidaknya, sejak ada Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Belum lagi, ada sederet aturan turunan terkait hal tersebut.
Sebut saja, peraturan pendukung berupa empat peraturan pemerintah, dan empat peraturan menteri pertanian. Kemudian, didukung juga dengan Perpres Nomor 59 Tahun 2019 tentang pengendalian alih fungsi lahan.
Lalu, Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN yang mengamanatkan agar lahan baku sawah 100% ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Aturan ini mengatur penetapan LP2B di dalam Perda Rencana Tata Ruang.
Sayangnya, regulasi seolah hanya menjadi ‘macan kertas’. Menurut Henry, implementasi UU 41 Tahun 2009 belum maksimal. Sekalipun di beberapa daerah sudah ada peraturan daerah, bahkan hingga peraturan desa, untuk melindungi lahan-lahan pertanian yang produktif.
Tetap saja, laju alih fungsi lahan pertanian terus berjalan. Pada periode 2013-2018 saja, BPS mencatat ada 635 ribu ha lahan pertanian beralih fungsi. Beberapa daerah juga mencatat penurunan luasan lahan pertanian.
“Tetap ada celah yang kerap kali digunakan untuk alih fungsi lahan pertanian yang produktif dengan mengatasnamakan kepentingan umum seperti pembangunan infrastruktur,” cetus Henry.
Henry menyebut, kontrol pemerintah pusat masih lemah. Pasalnya, banyak daerah yang bisa mengakali aturan-aturan itu dengan menurunkan batasan lahan sawah dilindungi per tahunnya lewat penerbitan peraturan daerah.
Bahkan, ia menilai, hadirnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja membuat lahan pertanian semakin ’diobral’. Justifikasi pengadaan tanah untuk ‘kepentingan umum’ dapat dengan mudah mengonversi lahan-lahan pertanian produktif.
Henry hanya berharap, pemerintah bisa konsisten menjalankan peraturan perundang-undangan, khususnya yang berpihak terhadap petani kecil. Menurutnya, untuk menjaga lahan tani dan mengatasi ketimpangan penguasaan kepemilikan tanah, sudah seharusnya dilakukan reforma agraria.
”Reforma agraria harus dijalankan dengan meredistribusi tanah bagi petani. Pemerintah sebenarnya menargetkan redistribusi sembilan juta ha tanah bagi petani, tapi realisasinya menurut kami masih jauh dari harapan,” tuturnya.
Kewenangan Daerah
Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan, Ditjen Sarana dan Prasarana (PSP), Kementerian Pertanian (Kementan), Baginda Siagian, menjawab persoalan ini. Dalihnya, saat ini kewenangan Kementan memang hanya memberikan rekomendasi. Sementara itu, kewenangan penuh ada di pemerintah daerah.
Jadi, menurutnya, kunci penegakan aturan untuk menjaga lahan pertanian, ada pada dukungan para gubernur, bupati, dan wali kota setempat.
Ia meminta para kepala daerah tersebut punya kepedulian untuk menentukan terwujudnya keberlanjutan pangan nasional. Dalam hal ini, dengan menjaga lahan pertanian.
Ia menyebut, Kementan sejak UU 41 Tahun 2009 ini diberlakukan, sudah melakukan upaya pengawalan dan kontrol. Di antaranya, dengan melengkapi regulasi turunan berupa empat PP, empat permentan, dan dua perpres.
Kementan juga melakukan sosialisasi tentang UU 41 Tahun 2009 beserta turunannya baik di pusat, provinsi, kabupaten/kota. Selain itu, Kementan terlibat dalam penyelamatan sawah melalui kegiatan Lahan Sawah Dilindungi di Kementerian ATR/BPN.
”Kementan memberikan arahan dan kebijakan terkait percepatan penetapan LP2B di dalam dokumen Perda melalui surat edaran dari Menteri Pertanian dan jabatan terkait,” ucap Baginda, Kamis (26/1).
Ia mengakui, pembangunan dan ketersediaan lahan pangan seharusnya berjalan seiring. Namun, lahan sawah sebagai pemasok pangan, tak jarang memang terkorbankan.
”Kita perlu tumbuh berkembang (dengan pembangunan), namun kita perlu pangan. Pangan tidak bisa dihasilkan secara optimal jika lahan sawah hilang. Semoga semua pihak bisa bersinergi,” ucapnya.
Lebih lanjut, Baginda menerangkan, lahan adalah media utama yang dibutuhkan dalam budidaya pertanian. Upaya melindungi lahan merupakan salah satu upaya termudah daripada membuka lahan baru untuk dijadikan persawahan.
Salah satu upayanya yaitu perlindungan lahan pertanian dengan melakukan penetapan PLP2B. Selain itu, kata dia, Kementan juga terus berupaya untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian dan Indeks Pertanaman, di antaranya dengan program optimasi lahan dan intensifikasi lahan.
”Pengendalian alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan perlu didorong pelaksanaan insentif dan disinsentif LP2B,” jelasnya.
Direktur Pangan dan Pertanian Badan perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Anang Noegroho Setyo Moeljono, sepakat bahwa penerapan UU Nomor 41 Tahun 2009 perlu ditingkatkan. Karena itu, pihaknya akan menyusun peta kesesuaian lahan bersama Kementan.
Menurut dia, semua pihak terkait perlu bekerja sama dalam memperkuat pelaksanaan UU tersebut. Harapannya nanti, bisa mengintegrasikan kebutuhan ruang lahan pangan dan pertanian dalam kebijakan penataan ruang.
”Kami juga akan lakukan penyuluhan tentang penerapan teknologi pertanian konservasi lahan dan air,” cetusnya.
Beleid Mandul
Terlepas dari saling tuding tanggung jawab tersebut, Anggota DPR Daniel Johan menilai pelaksanaan UU 41 Tahun 2009 memang masih lemah. Hal ini karena sanksi dari UU tersebut tidak tegas.
Pasal 70 beleid tersebut misalnya, menyebutkan pelaku alih fungsi lahan hanya terancam sanksi administrasi. Tahapan sampai dikenai sanksi pun juga cukup panjang, dari peringatan tertulis sampai pembongkaran lahan dan denda administratif.
Menurut dia, seharusnya, dengan UU ini, pemerintah bisa bersikap tegas untuk melindungi lahan pertanian agar tidak dialihfungsikan untuk kepentingan di luar pertanian.
Daniel bahkan menyarankan pemerintah membeli tanah-tanah produktif sebagai lahan baku pertanian menjadi tanah negara, sehingga tidak bisa dialih fungsikan. Hal ini juga sebagai upaya negara hadir melindungi dan mensejahterakan petani.
”Kalau pun petani terpaksa harus menjual tanahnya maka negara harus hadir memastikan lahan tersebut berpindah tangan bukan untuk fungsi yang lain. Di sini pengawasan harus dijalankan,” kata Daniel saat dihubungi Validnews, Jumat (27/1).
Menurut Daniel, kebanyakan petani juga berharap tanah pertanian saat ini tetap ada dan dilindungi. Sebab, banyak yang menyadari, lahan pertanian sebagai basis pangan memang perlu ada selamanya.
Ke depannya, sebagai anggota legislatif Daniel mengusulkan agar UU Nomor 41 tahun 2009 direvisi. Menurutnya ada beberapa pasal yang perlu diubah, utamanya pasal soal sanksi agar lebih dipertegas. Misalnya, ditambah sanksi pidana atau denda yang sangat besar.
”UU ini perlu dilakukan revisi dan pembahasan ulang agar sanksi diterapkan lebih tegas. Ini sebagai upaya dalam menjaga dan melindungi lahan pertanian yang ada,” ucap politisi PKB ini.
Sementara itu, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, mengatakan bahwa UU 41 Tahun 2009 merupakan UU yang mandul. Lantaran, penerapannya yang sudah ada hampir 15 tahun ini tidak terlihat, baik di pusat maupun daerah.
Dia menilai antara pusat dan daerah tidak sinkron soal penerapan UU ini, karena yang menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) adalah pemerintah daerah. Tak heran, pemda akan mencari sumber pendanaan untuk mendanai pembangunan, yang tentunya bukan dari sektor pertanian.
Imbasnya, jumlah lahan sawah yang dilindungi semakin tipis. Lahan-lahan sawah juga bisa dialihfungsikan lewat perda masing-masing daerah, tidak mengacu pada UU.

”Ini UU mandul. Dari tahun 2012 sampai 2019 lahan sawah hilang 1 juta hektare, lalu dimana fungsi UU tersebut? Nggak ada manfaatnya,” tegas Dwi kepada Validnews, Kamis (26/1).
Kesejahteraan Petani
Dwi menjabarkan, persoalan utamanya sejatinya bukan semata-mata alih fungsi lahan. Namun, masalah besarnya adalah kemiskinan petani. Para petani, menurutnya, sudah jarang menerima untung dari menanam padi, karena seringnya merugi.
Ia menyebut, rata-rata, per sekali musim tanam para petani rugi lebih dari Rp 1 juta per 2.000 meter persegi (m2). Dampaknya, mereka tidak bisa survive untuk sekadar membeli pupuk. Daripada terus merugi, mau tidak mau sawah dijual, meskipun ke bukan sesama petani.
”Persoalannya yang paling besar adalah konversi kepemilikan. Jadi baik itu pemerintah pusat, pemda atau UU tidak bisa melarang karena memang hak mereka yang memiliki tanah (bisa menjual),” terang Dwi.
Ia meyakini, selama tidak ada upaya pemerintah mensejahterakan petani pangan atau paling tidak membuat tanaman pangan itu menarik bagi usaha tani, alih fungsi lahan akan terus terjadi, sampai kapanpun. Menurut dia, pemerintah perlu mengubah kebijakan nasional terkait pangan.
Ia merasa, kebijakan pemerintah selama ini terlalu menguntungkan konsumen, bukan ke petani.
”Harusnya memperhatikan kesejahteraan petani pangan. Selama ini, hal itu hanya jargon dan wacana. Kenyataannya tidak demikian,” kata Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) ini.
Jika benar-benar pro kepada petani, ia pun menyarankan pemerintah memulai dari mengubah HPP beras agar seimbang dengan biaya produksi. Kemudian, dana subsidi pupuk perlu transparan dan ditransfer langsung ke petani, tidak boleh lewat pihak ketiga.
Masyarakat, lanjutnya, juga harus diedukasi terkait harga, jangan terlalu sering ’teriak’. Menurutnya, jika harga beras semakin turun, petani lah yang akan paling terdampak.
Jika petani sudah enggan bertani lagi, tinggal siap-siap saja, kita tak bisa lagi protes dengan harga yang seenaknya ditentukan produsen negara lain.
”Itu poin utama yang bisa mensejahterakan petani. Kalau petani tidak sejahtera, UU seberapa banyak pun tidak bisa mencegah alih fungsi lahan,” pungkasnya.